Minggu, 25 Mei 2014

Apa jadinya jika WTS menjadi PSK?

Pelacur. Satu kata yang memang bisa dianggap memiliki "tekstur" yang kasar. Akan tetapi memang demikianlah. Pelacur yang bisa diedentikkan dengan sebuah profesi, secara fakta memang sebuah profesi yang biasa dijalankan oleh kaum hawa yang "terpaksa".

"Terpaksa" bisa dalam arti kata sebenarnya dan kiasan. Akan tetapi yang bisa dipastikan adalah mereka (yang semula meng-claim-kan diri karena "terpaksa") "terbiasa" menjalankan profesi itu pada akhirnya. Salah siapa? Janganlah gemar mencari kambing hitam, atau kambing bule sekalipun.


Marilah sedikit menengok ke belakang. Jaman dulu ada singkata WTS (Wanita Tuna Susila) untuk mendiskripsikan para pelacur. Istilah-istilah jaman sekarang sih banyak: Jablay, Pecun, Bispak, Bisyar, dan sebagainya. SETUJU! Terlalu kasar? Jika memang dilarang menggunakan deskripsi yang dinilai kasar, bagaimana kita bisa membedakan tepun terigu dan pasir pantai?

Seiring perkembangan jaman, WTS diubah menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Lha? Yang ngusulin sapa, ya? Bukan masalah apa-apa, sih... Hanya saja bagaimana mereka bisa dianggap sebagai pekerja?  Dengan menganggap mereka sebagai pekerja, legal dong pekerjaan mereka... Kalo legal, ngapain juga mereka masih dirazia? Tidak terkoordinir? Lebih-lebih lagi... Apakah dengan mengkoordinir mereka bisa merubah akibat-akibat dari profesi tersebut? Penyebaran penyakit? Keutuhan rumah tangga? Kesucian sebuah pernikahan? Kaga perlu diomongin lagi... POIN-nya: berani berbuat berani bertanggung jawab... Laki-laki hidung belang kok dilindungi. Dengan lokalisasi, langsung atau tidak langsung juga melindungi para hidung belang. Banyak juga cerita-cerita (baca: fakta) tentang hancurnya rumah tangga yang diakibatkan oleh pelacur. "Zinah legal" jelas menodai kesucian sebuah pernikahan!

Mau diarahkan ke sisi agama? Wah... Jelas dan gamblang, kaga perlu dibahas juga... (obwarkop.blogspot..com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar