Oleh Winda Yovana Supraba
Ada seorang pelacur muda yang laris, dan ia hidup lebih dari sekedar cukup melalui profesi yang digelutinya itu. Akankah ia mau berhenti menjadi pelacur? Hampir bisa dipastikan tidak. Kecuali, jika ia sudah tua, tidak laku lagi, atau keburu diterjang penyakit kotor yang ganas dan membawanya kepada kematian yang tragis.
Kalau ternyata sang pelacur muda yang sedang berada di puncak keemasannya ini mau berhenti sebagai pelacur, akankah keinginan itu mudah dilaksanakan? Tentu tidak mudah. Pertama, ia harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Dengan berhenti sebagai pelacur, maka otomatis penghasilannya menjadi tidak menentu, setidaknya untuk sekian waktu yang tak tertentu. Ia harus bisa mengubah gaya hidupnya secara radikal, tidak sekedar menyesuaikan dengan tingkat penghasilannya yang jauh melorot.
Kedua, ia harus berhadapan dengan pelanggan setianya yang tidak begitu saja rela atas keputusan yang telah dibuat sang pelacur muda.
Ketiga, ia harus berhadapan dengan sang Germo, yang tidak mau begitu saja kehilangan salah satu sumber penghasilannya.
Keempat, ia harus berhadapan dengan intimidasi, teror dan sebagainya (termasuk tindak kekerasan) yang dilakukan para preman atas suruhan sang Germo.
Sang Pelacur Muda tadi adalah personifikasi dari Pornografi dan Pornoaksi yang sudah menjadi bagian dari ‘budaya’ bangsa Indonesia, yang selama puluhan tahun tidak diatur secara tegas. Akibatnya sudah terlalu banyak pihak yang hidup dan sejahtera dari kegiatan maksiat ini. Antara lain Tommy Winata.
Para pelaku unjuk rasa menolak RUU APP, ibarat preman tolol yang dibayar sang Germo, semata-mata demi sejumlah uang recehan. Mereka sama sekali tidak peduli dengan aspek moral, yang penting duit.
Bila dulu Bambang Harimurti pernah berseteru dengan Tommy Winata soal Tenabang, kini ia nampak menyatu. Melalui sikap antinya terhadap RUU Pornografi dan Pornoaksi, menunjukkan bahwa ia serius mendukung berbagai bisnis maksiat yang dikelola Tommy Winata.
Bisa dimengerti, karena bisnis media yang dikelola Bambang dananya berasal dari Tjiputra, yang pada masa Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI dipercaya mengubah kawasan utara Jakarta menjadi tempat hiburan sekaligus tempat plesiran dan maksiat (Bina Ria, Ancol).
Untuk urusan Tenabang, Bambang dan Tommy berseteru. Tapi untuk urusan maksiat, mereka bersatu.
Begitulah keadaan yang terjadi di Indonesia. Masyarakatnya sudah terbiasa dengan budaya permissif, pornografi, pornoaksi, korupsi, illegal logging, uang palsu, perkosaan, perampokan, pencurian, menyelundupkan minyak tanah-bensin-solar, menjual pasir dan pulau kepada pihak asing, menjual aset strategis kepada kapitalis asing dan sebagainya.
Sudah sekian lama hidup enak bersama maksiat, koq tiba-tiba mau diatur-atur segala. Maka, terjadilah gelombang penolakan yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi, kebebasan berkreasi, kebebasan berkesenian. Kalau RUU APP disahkan, apakah nantinya rakyat Indonesia mau kekeringan kreativitas seperti gurun pasir? Begitulah dalih para pendukung maksiat.
Industri maksiat adalah salah satu bentuk penjajahan yang tidak terasa berat seperti ketika Belanda menjajah secara fisik. Ini namanya neo kolonialisme. Bila Pembukaan UUD 1945 menentang segala bentuk penjajahan, maka semangat melawan penjajahan melalui RUU APP ini seharusnya didukung oleh semua komponen bangsa.
Kenyataannya koq tidak. Mengapa? Begitulah mentalitas bangsa budak, bangsa yang sudah biasa terjajah, nggak pernah mau merdeka. (https://manqul.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar