Minggu, 23 November 2014

Wisata Malam Surabaya tanpa Dolly



Jam menujukkan pukul 23.00 WIB, hari itu, Rabu 29 Oktober 2014. Surabaya, ibu kota Jawa Timur itu berlahan mulai berkurang aktivitasnya. Di kota yang dikenal sebagai rumah bagi para pejuang kemerdekaan, sehingga ditambalkan nama Kota Pahlawan, sudah mulai merambat sunyi.
Kota ini dahulunya merupakan pusat perdagangan bagi kerajaan Majapahit, Singosari, dan Kediri. Terletak di muara sungai Brantas, Surabaya secara resmi didirikan pada tahun 1293 di tempat pertarungan legendaris antara hiu (sura) dan buaya (baya).
Hari itu, hari ketiga kami para peserta pertemuan organisasi mitra pendamping dalam layanan publik yang melibatkan jurnalisme warga yang difasiltasi Kinerja-USAID melakukan pertemuan disebuah hotel mewah di jantung kota tersebut.
 Kota Surabaya memang maju pesat dibandingkan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Maka tak salah, bila kota ini merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Sebagai kota besar, tentunya banyak cerita disana. Salah satunya lokasikasi yang terkenal dengan nama Gang Dolly.
Bicara tentang Kota Surabaya, memang tak bisa lepas dari cerita gang Dolly, lokalisasi pelacuran yang konon disebut-sebut sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Benar atau tidak, belum ada catatan perbandingan resmi dengan komplek lokalisasi di negeri lain, misalnya; kawasan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.
Namun demikian, image bahwa Dolly disebut yang terbesar di Asia Tenggara, itu agaknya diamini sebagian orang yang pernah berkunjung ke sana. Lokalisasi ini hampir menyelimuti seluruh jalan di kawasan itu.
Lokalisasi yang melegenda tersebut akhir ditutup secara resmi oleh Pemerintah Kota (Pemko) Surabaya. Walikota Surabaya Risma, menutup gemerlap “wisata” malam yang didirikan perempuan keturunan Noni Belanda yang katanya sebagai perempuan pertama yang membuat kawasan itu.
Sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, ini maka perempuan dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal sebagai tokoh melegenda tentang asal muasal terbentuknya gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme dalam mengais rezeki dari bisnis esek-esek.
Berlatar belakang hal itu, dan guna membuktikan bahwa Dolly benar-benar tiada, saya bersama dua rekan ingin melihat langsung pembuktiannya. Dengan menyewa taxi, kami menelusuri sepanjang jalan atau Gang yang dulu sangat terkenal tersebut.
Kesan yang pertama muncul memperlihatkan, bahwa kawasan Dolly itu kini layaknya perkampungan biasa. Malam itu, meskipun sudah tergolong larut, masih ada juga sekelompok anak muda yang kongkow di teras yang konon dulu disebut sebagai “akuarium” manusia malam tersebut.
Ada juga kelompok bapak-bapak yang juga masih duduk-duduk di depan toko. Bahkan ada diantara mereka yang terselip peci di kepalanya. Saat taxi melintas, mata mereka tajam, seakan mau mengintai mangsa. Sayangnya saya tak bisa mengabadikan suasana tersebut, sebab Pak Junadi yang menjadi supir taxi melarang untuk memotret.
“Lebih baik jangan di foto, masyarakat disini masih sensitif, pascapenutupan dolly,” ujar Junaidi.
Setidaknya dengan suasana yang terlihat, memang tidak ada lagi aktifitas yang mengarah berbau mesum lagi. Apalagi Pemko Surabaya menetapkan peraturan, bila ada rumah yang masih buka untuk lokasikasi, maka rumah itu akan beli oleh Pemko Surabaya dan penghuninya dipersilahkan cari rumah lain.
Lalu, apakah dengan ditutup Dolly, Surabaya menjadi kota mati? Tentu tidak. Masih banyak objek wisata yang bisa dikunjungi sambil menikmati indahnya kota Surabaya. Salah satunya yakni Taman Bungkul. Di lokasi merupakan objek wisata yang banyak dikunjungi orang pada malam hari.
Disamping itu, banyak sejumlah objek wisata kuliner yang menyajikan berbagai makanan yang bisa dinikmati. Seperti halnya Rawon Setan. Makanan seperti soto atau sop daging ini selalu dikunjungi banyak orang, bahkan hingga larut malam.
Sejumlah tokoh dan artis terkenal di Indonesia yang pernah berkunjung ke Surabaya, pernah menikmati Rawon setan yang terletak di jalan Embong Malang, Surabaya ini. Rawon Setan Surabaya ini sudah sangat terkenal karena kelezatanya, masakan ini dibuat oleh orang surabaya bernama Mba Endang.
Seperti Rawon pada umumnya, rawon yang satu ini memiliki warna yanng dominan gelap atau coklat tua karena ada kluwek ciri khas orang Surabaya Jawa Timur. Berbeda dari masakan rawon yang lain, masakan ini menggunakan potongan daging ukuran besar sehingga lebih terasa mantap dan rawon ini menggunakan daging khas untuk rawon, tidak menggunakan daging jeroan. Sayuran yang digunakan yaitu tauge/toge dan timun segar untuk mengimbangi daging agar rawon terasa lebih nikmat.
Ada juga pusat jajanan yang menarik di pasar Kembang Surabaya. Dimana, hampir seribuan jenis jajanan ditawarkan oleh sekitar 100 pedagang, yang mulai berjualan lewat tengah malam, sekitar pukul 02.00 hingga pagi hari. Menurut informasi kebanyakan yang datang memang pedagang kue dari berbagai penjuru Surabaya bahkan ke luar kota. Pedagangnya juga bukan hanya dari Surabaya, tetapi ada yang dari Gresik.
Jika suntuk dengan kuliner, anda bisa mencoba jalan-jalan menyelusuri jembatan Suramadu yang menghubungkan Kota Surabaya dengan Madura. Jembatan Suramadu adalah jembatan di atas perairan selat Madura. Sesuai dengan namanya, Jembatan Suramadu menghubungkan Surabaya dan Madura.
Dengan panjang hampir mencapai 5,500 meter, Jembatan Suramadu adalah jembatang yang terpanjang di Indonesia. Dibangung dengan tujuan awal mempercepat pembangunan Madura, sekarang ini Jembatan Suramadu telah menjadi ikon sekaligus tempat wisata di Surabaya yang sangat terkenal.
Dari jembatan Suramadu ini, kita bisa melihat suasana dan gemerlap kota Surabaya. Sungguh pemandangan yang indah di malam hari. Rasanya, rugi bila tak menikmati suasana ini bila berpergian ke Surabaya. (http://analisadaily.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar