Pelacuran
dipandang sebagai profesi yang paling tua bagi manusia di dunia, yaitu perilaku
yang sudah ada sejak awal kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran merupakan
masalah sosial sehingga apabila membicarakan masalah pelacuran mencakup ruang
lingkup yang luas. Hal ini disebabkan tidak hanya menyangkut diri pelacur,
tetapi menyangkut masyarakat lain, dan juga melibatkan pemerintah. Kartini
Kartono (1988) menyatakan masalah sosial adalah: (1) Semua bentuk tingkah laku yang melanggar
atau memperkosa adat istiadat masyarakat, sedang adat istiadat tersebut
diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup ber-sama; (2) Situasi sosial yang
dianggap oleh sebagian besar dari masyarakat sebagai pengganggu, tidak
dikehendaki, berbahaya dan merugikan orang banyak.
Berdasarkan pernyataan tersebut, nyata bahwa tindak pelacuran
dapat mengganggu, merugikan keselamatan, ketenteraman dan kemakmuran baik
jasmani dan rohani maupun sosial dari kehidupan masyarakat secara umum. Hal ini
karena tindak pelacuran melanggar adat istiadat dan norma yang berlaku dalam
masya-rakat, yaitu norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama, dan norma
hukum.
Tujuan pembangunan nasisional Indonesia adalah membangun manusia
Indonesia seutuhnya. Pembangunan nasional berasaskan Pancasila, sila pertama
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu sudah selayaknya kalau perilaku
pelacuran itu tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat Indonesia. Untuk
mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut, maka perlu
memperhatikan pembangunan di bidang hukum, yang salah satunya, adalah tentang
pelaksanaan hukum pidana. Hukum pidana bagi suatu bangsa merupakan indikasi
yang penting tentang tingkat peradaban bangsa itu, karena di dalamnya tersirat
bagaimana pan-dangan bangsa tersebut tentang etika (tata susila), moralitas,
sistem masyarakat, dan norma-norma sosial (Sudarto,1990).
Dalam menanggulangi atau paling tidak mengurangi kuantitas
dari perilaku pelacuran, Pemerintah melalui Kementerian Sosial c.q. Direktorat
Jendral Reha-bilitasi dan Pelayanan Sosial telah menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan yang ber-sifat dan bertujuan memberi kesadaran dan
tanggungjawab sosial, pencegahan terhadap tuna susila dan peningkatan pelayanan
sosial masyarakat yang sudah ada. Rehabilitasi wanita mengenai pelacuran ini
dibutuhkan dalam rangka untuk meng-usahakan kesejahteraan sosial dalam mencapai
aspirasi bangsa Indonesia pada umumnya, yaitu suatu masyarakat yang adil dan
makmur spiritual dan mental berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini juga berarti bahwa setiap warganegara, setiap anggota masyarakat
mempunyai tanggungjawab moral dengan bersama-sama Pemerintah untuk mencari
jalan keluar atau yang paling tepat dalam menanggulangi dan memberantas para
pelacur, sehingga diharapkan dari hari ke hari, bulan dan tahun semakin menurun
tindak pelacuran.
Sasaran pembangunan hukum diarahkan pada terbentuk dan
berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumber pada Pancasila dan
UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang
mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang
berisi-kan keadilan yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana
memadai, dan masyarakat yang sadar dan taat pada hukum. Pembangunan hukum
Indonesia harus didasarkan dan bersumber pada Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, yang meliputi penerapan hukum dan penegakan hukum yang dilaksanakan
secara menyeluruh kepada manusia atas dasar keadilan dan kebenaran. Pembangunan
sarana dan prasarana hukum diarahkan pada terwujudnya dukungan perangkat yang
mampu menjamin kelancaran dan berlangsungnya peranan hukum yang merupakan
pedoman dan ukuran untuk mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat dan
negara. Selanjutnya pembangunan aparatur hukum diarahkan pada terciptanya
aparatur hukum yang profesional di bidangnya dan memiliki kemampuan untuk
mengayomi masyarakat, termasuk pembangunan moral dan etika bangsa Indonesia.
Atas dasar latar belakang yang dipaparkan di depan, timbul
permasalahan yang akan dikaji. Adapun permasalahannya adalah: (1) Apa saja
faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya pelacuran? (2) Apa dampak atau
akibat dari aktivitas pelacuran? (3) Apa usaha-usaha yang perlu dilakukan guna
mengatasi dan menang-gulangi pelacuran? Permasalahan tersebut hendak dianalisis
dengan pendekatan sosiologi-empiris.
B. STUDI
TENTANG PELACURAN.
Keseimbangan dalam masyarakat merupakan suatu keadaan yang
diidam-idamkan oleh setiap warga masyarakat. Dalam keadaan demikian itu para
warga masyarakat merasa akan ada ketenteraman karena tidak ada pertentangan
pada kaidah-kaidah dalam nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat, tetapi
adakala-nya keseimbangan itu mengalami ketegangan karena tidak ada kesusilaan
atau terjadi benturan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga
dengan demikian masyarakat dalam keadaan sakit. Gejala-gejala sosial seperti
ini yang termasuk penyakit masyarakat yang sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Soedjono (1988) menyatakan penyakit masyarakat itu meliputi: (1)
Gelandangan (tuna wisma dan tuna karya); (2) Penyalahgunaan narkotika dan
alkoholisme; (3) Prostitusi atau penyimpangan/abnormal di bidang seksual; (4)
Penyakit jiwa; (5) Tuna netra kriminal; dan (6) Kolerasi antar penyakit
masyarakat dan kriminalitas.
Atas dasar keterangan tersebut tampak bahwa pelacuran atau
prostitusi termasuk salah satu penyakit masyarakat, karena terjadinya
kemorosotan di bidang pendidikan dan agama bisa mengakibatkan kemerosotan
moral, pelacuran, ke-nakalan anak-anak, dan sebagainya, sehingga norma-norma
sosial yang ada dalam masyarakat mengharamkan adanya tindak pelacuran dalam
segala bentuknya. Misalnya, pelacuran tidak hanya dalam bentuk rumah-rumah
bordil atau sering disebut lokalisasi pelacuran, tetapi juga dalam bentuk
pelacuran terselubung. Sudah menjadi rahasia umum, tempat-tempat seperti klab
malam, panti pijat, tempat dansa, bahkan ada salon kecantikan yang dipergunakan
sebagai tempat pelacuran.
Poerwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1998:548)
me-nyebutkan bahwa pelacuran adalah perihal menjual diri, dan pelacur berarti
wanita tuna susila. Jadi, kata pelacuran menunjukkan pada perbuatannya sedang
pelacur menunjukkan pada orang yang melakukannya. Adapun WA Bonger sebagaimana
dikutip oleh Bosu (1998:43) menyatakan pelacuran adalah gejala kemasyarakatan,
di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata
pencahariannya. Sementara itu, Iwan Block dalam Bosu (1998:43) mengungkapkan pelacuran
adalah suatu bentuk hubungan kelamin di luar perkawinan, dengan pola tertentu,
yaitu kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pem-bayaran, baik
untuk persebadanan maupun kegiatan seks lainnya demi kepuasan yang
bersangkutan. Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten-tang
Perkawinan menyebut pelacuran sebagai perzinahan. Perzinahan adalah setiap
hubungan kelamin antara wanita dan pria di luar perkawinan yang sah. Akhirnya,
dapat disimpulkan bahwa pelacuran adalah setiap perhubungan kelamin di luar
perkawinan yang sah antara laki-laki dan wanita oleh salah satu pihaknya
(pelaku) dilakukan dengan maksud mendapat suatu keuntungan bagi dirinya atau
orang lain atau mendapat imbalan jasa atas perbuatannya.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di depan, dapat
diambil simpulan bahwa unsur-unsur yang pelacuran adalah: (1) Adanya suatu
perbuatan, yaitu penyerahan diri seseorang wanita kepada laki-laki yang bukan
suaminya dalam hubungan kelamin tanpa pilih-pilih dan terjadi berulang-ulang;
dan (2) Adanya imbalan baik berupa uang atau barang lainnya sebagai pembayaran
dari pihak laki-laki.
C.
KETENTUAN PELACURAN DALAM KUHP
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada
satupun pasal yang mengatur secara khusus tentang pelacuran atau wanita
pelacur, padahal di dalam hukum pidana terdapat asas legalitas yang termuat
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan: Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan.
Hal ini berarti segala perbuatan yang belum diatur di dalam
undang-undang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana. Jadi, belum tentu semua
perbuatan melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Namun,
Moeljatno (1994) mengartikan pelacuran tidak dijadikan larangan dalam hukum
pidana, janganlah diartikan bahwa pelacuran itu tidak dianggap merugikan
masyarakat. Oleh karena itu, perlu dicari rumusan hukum atau peraturan yang
tepat menindak aktivitas pelacuran, yang
selama ini dalam praktik dapat dilaksanakan oleh penegak hukum.
Pasal 296 KUHP, menyebutkan bahwa: Barang siapa dengan
sengaja meng-hubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan
menjadikannya sebagai mata pencahariaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda paling banyak
seribu rupiah.
Ketentuan Pasal 296 KUHP tersebut mengatur perbuatan atau
wanita yang melacurkan diri tidak dilarang oleh undang-undang, sedangkan yang
bisa dikena-kan pasal ini adalah orang-orang yang menyediakan tempat kepada
laki-laki dan perempuan untuk melacur, dan agar dapat dihukum perbuatan itu
harus dilakukan untuk mata pencaharaian atau karena kebiasaannya.
Sementara itu, orang yang tidak masuk dalam ketentuan Pasal
296 KUHP ini adalah orang yang menyewakan rumah atau kamarnya kepada perempuan
atau laki-laki yang kebetulan pelacur, dikarenakan tidak ada maksudnya sama
sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, ia sebab hanya
menyewa-kan rumah dan bukan merupakan mata pencaharian yang tetap.
Pasal 297 KUHP menyebutkan bahwa perdagangan wanita dan
perdagang-an laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun. Perdagangan wanita ini harus diartikan sebagai semua
perbuatan yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam
keadaan ber-gantung kepada kemauan orang lain yang ingin menguasai perempuan
itu untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul dengan orang ketiga.
Perbuatan perdagangan wanita harus bertujuan untuk menyerahkan wanita ke dalam
kancah pelacuran tidak hanya mengenai wanita pelacur, tetapi wanita yang sudah
menjadi pelacur pun dapat juga menjadi objek perbuatan perdagangan wanita.
Pasal 506 KUHP menyebutkan barang siapa menarik keuntungan
dari perbuatan cabul dari seorang wanita dan menjadikan sebagai mata
pencaharian, diancam dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Orang yang
menarik ke-untungan dari perbuatan tersebut dan menjadikannya sebagai mata
pencaharian sering disebut mucikari. Mucikari yaitu makelar cabul artinya
seorang laki-laki yang kehidupannya dibayar oleh pelacur yang tinggal
bersama-sama dengannya dalam tempat pelacuran, yang menolong mencarikan para
pelanggan, dari hasil itu ia mendapat bagiannya. Pada umumnya mucikari ini di
samping menjadi perantara (calo) untuk mempertemukan pelacur dan pelanggannya,
juga berperan sebagai “kekasih atau pelindung” para wanita pelacur itu.
Berdasarkan ketentuan di atas, jika dilihat dari ketiga pasal
dalam KUHP (Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506) tersebut yang berhubungan
dengan kegiatan pelacuran, ternyata pelacurnya sendiri secara tegas tidak
diatur atau tidak diancam oleh hukum pidana.
D.
SEBAB-SEBAB TIMBUL PELACURAN
Banyak faktor
yang nendorong wanita terjun dalam dunia pelacuran, antara lain faktor ekonomi,
sosiologis, dan psikologis (Kartini Kartono,1988).
1. Faktor
Ekonomi.
Kebutuhan yang semakin lama semakin mendesak bisa saja
seseorang me-lakukan suatu perbuatan yang nekat, oleh sebab itu seseorang
menjadi pelacur itu dikarenakan oleh adanya tekanan ekonomi, yaitu kemiskinan
yang dirasakan terus menerus dan adanya kesenjangan penumpukan kekayaan pada
golongan atas dan terjadinya kemelaratan pada golongan bawah bagi pengusaha
rumah pelacuran mencari-cari wanita-wanita pelacur dari kelas melarat karena
kebanyakan wanita tuna susila kebanyakan berasal dari keluarga miskin dengan
pendidikan rendah.
2. Faktor
Sosiologis
Dengan terjadinya perubahan dan perkembangan sosial-budaya
yang cepat mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan
diri. Misal, bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat
meng-akibatkan terjadi perubahan-perubahan kehidupan yang cepat sehingga
masyarakat menjadi labil, banyak konflik budaya, kurang adanya kompromi
mengenai norma-norma kesusilaan antar anggota masyarakat. Dengan kelemahan
norma, motivasi jahat, adanya kesempatan, dan lingkungan sosial yang hiterogen
dapat dijadikan alasan orang untuk menjadi pelacur. Mereka tidak peduli pada
reaksi sosial yang dapat berupa kekaguman, pujian, hormat pesona, simpati,
sikap acuh tak acuh, cemburu, iri hati, ketakutan penolakan, kemurkaan,
hukuman, kebencian, kemarah-an, dan tindakan-tindakan konkrit lainnya.
3. Faktor
Psikologis
Faktor psikkologis memainkan peranan penting yang menyebabkan
seorang wanita melacurkan diri. Kegagalan-kegagalan dalam hidup individu karena
tidak terpuaskan dengan kebutuhan baik biologis maupun sosial dapat menimbulan
efek psikologis sehingga mengakibatkan situasi krisis pada diri individu
tersebut. Dalam keadaan krisis ini akan memudahkan timbul konflik batin, yang
sadar atau tidak sadar mereka akan mencari jalan keluar dari
kesulitan-kesulitan. Dalam keadaan demikian, orang akan mudah terpengaruh ke
jalan yang sesat apabila orang itu dalam keadaan jiwa yang labil. Berbagai
faktor internal psikologis yang dapat menjadi penyebab wanita menjadi pelacur,
antara lain moralitas yang rendah dan kurang berkembang (misalnya kurang dapat
membedakan baik buruk, benar salah, boleh tidak), kepribadian yang lemah dan
mudah terpengaruh, dan kebanyakan para pelacur memiliki tingkat kecerdasan yang
rendah.
Sejalan dengan pendapat Kartini Kartono, bahwa pelacuran
tidak hanya timbul disebabkan dari pihak perempuan saja, tetapi juga oleh
sebab-sebab dari pihak laki-laki, antara lain:
1. Nafsu
birahi laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan dan kepuasan seks tanpa ikatan
apapun.
2. Rasa
iseng laki-laki yang ingin mendapat pengalaman reaksi seks di luar ikatan
perkawinan, ingin mencari varisi dalam reaksi seks.
3. Istri
sedang haid, hamil tua, atau lama sekali mengidap penyakit, sehingga tidak
mampu melakukan reaksi seks dengan suaminya.
4. Istri
menjadi gila atau cacat jasmaniah, sehingga merasa malu untuk kawin lalu
menyalurkan kebutuhan-kebutuhan seksnya dengan wanita-wanita pelacur, misalnya
karena bongkok, buruk rupa, pincang dan lain sebagainya.
5. Bertugas
di tempat yang jauh, pindah kerja atau ditugaskan di tempat yang lain yang
belum sempat atau tidak dapat memboyong keluarga.
6. Karena
berprofesi sebagai penjahat sehingga tidak memungkinkan berumah tangga.
7. Tidak
mendapat kepuasan kebutuhan seks dengan patner atau istrinya.
8. Tidak
bertanggungjawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai lebih ekonomis,
misalnya tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu membiayai rumah
tangga dan tidak perlu menjamin kebutuhan istri.
Faktor-faktor
sebagaimana tersebut di atas akan menjadi penyebab yang kompleks. Hal ini yang
secara langsung ataupun tidak langsung akan memelihara dan mempengaruhi
keberadaan drama pelacuran yang tidak berkesudahan, dari masa ke masa, dan di
mana saja belahan muka bumi ini, sepanjang manusia itu masih ada maka pelacuran
pasti ada.
E. AKIBAT
ADANYA PELACURAN.
Akibat yang timbul dari aktivitas pelacuran dapat bersifat
negatif maupun positif. Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat
positinya. Akibat negatif, yaitu akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan
bermacam-macam penyakit kotor dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit
akibat hubungan kelamin atau penyakit hubungan seksual (PHS).
Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan
pelacuran termasuk demoralisasi (tidak bermoral), Yang bergaul imtim dengan
mereka juga demoralisasi, karena itu masyarakat memandang rendah martabat
wanita pelacur.
Pelacuran juga dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan
bahan nar-kotika, karena di tempat-tempat pelacuran biasanya adalah tempat
berkumpulnya para penjahat professional yang berbahaya dan orang-orang yang
sedang ber-masalah dengan keluarga atau masalah yang lain.
Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga
mengakibatkan eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya
wanita-wanita pelacur itu hanya menerima upah sebagian kecil saja dari
pendapatan yang harus diterimanya. Sebagian besar pendapatannya harus diberikan
kepada germo, para calo, centeng, dan sebagainya. Apabila dilihat dari akibat
berbahayanya, gejala pelacuran merupakan gejala sosial yang harus
ditanggulangi, sekalipun masyarakat menyadari bahwa sejarah membuktikan sangat
sulit memberntas dan menang-gulangi masalah pelacuran, karena ternyata makin
banyak tipe-tipe pelacuran yang ada dalam masyarakat.
F. CARA
MENANGGULANGI PELACURAN
Usaha-usaha dalam penanggulangan terhadap pelacuran harus
segera di-lakukan sebab kalau tidak segera dilakukan, maka gejala dan penyakit
sosial ini lama kelamaan dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang wajar dan
normal. Dengan adanya pandangan seperti itu berarti bahwa masyarakat mulai
jenuh dalam menghadapi segala permasalahan yang berhubungan dengan pelacuran.
Dengan demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka usaha-usaha
penanggulangan ter-hadap pelacuran akan mengalami banyak hambatan, padahal
akibat-akibat adanya pelacuran sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat
dan generasi anak-anak di masa mendatang.
Usaha-usaha dalam penanggulangan permasalahan wanita tuna
susila atau pelacuran ialah dengan berusaha membendung dan mengurangi
merajalelanya tindakan pelacuran yang membahayakan. Dalam hal ini, Dinas Sosial
perlu bekerja sama dengan instansi lain yang terkait dan tokon-tokoh masyarakat
dan agama untuk mengatasi dan menanggulangi pelacuran. Usaha-usaha untuk
memberantas dan menanggulangi pelacuran dapat dilakukan secara preventif dan
represif. Usaha preventif adalah usaha untuk mencegah jangan sampai
terjadi pelacuran, sedang usaha represif adalah usaha untuk menyembuhkan para
wanita tuna susila dari ketunasusilaanya untuk kemudian dibawa ke jalan yang
benar agar menyadari perbuatan yang mereka lakukan itu adalah dilarang oleh
norma agama.
Adapun
usaha-usaha yang bersifat preventif untuk menanggulangi dan mengatasi pelacuran
dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1. Intensifikasi
pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan.
2. Menciptakan
bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak usia puber
untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif.
3. Memperluas
lapangan kerja bagi kaum wanita .
4. Penyelenggaraan
pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan rumah tangga.
5. Pembentukan
badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait dalam usaha
penanggulangan pelacuran.
6. Memberikan
bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pe-mahaman tentang
bahaya dan akibat pelacuran.
Sementara itu,
usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau mengurangi
pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain (Kartini
Kartono, 1998):
1. Melalui
lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-kan
pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan para
pealacur dan para penikmatnya.
2. Melakukan
aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa di-kembalikan
sebagai warga masyarakat yang susila.
3. Penyempurnaan
tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena razia disertai
pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing.
4. Menyediakan
lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran
dan mau mulai hidup baru.
5. Mengadakan
pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka agar
keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna mengawali
hidup baru.
6. Melaksanakan
pengecekan (razia) ke tempat-tempat yang digunakan untuk perbuatan mesum
(bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutupan.
G. PENUTUP
Berdasarkan analisis permasalahan sebagaimana telah
dipaparkan di atas, dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut.
Banyak faktor yang nendorong wanita terjun dalam dunia
pelacuran, antara lain faktor ekonomi, sosiologis, dan psikologis. Faktor
ekonomi, kebutuhan hidup semakin banyak dan dan mendesak, namun tidak dapat
dipenuhi akibat tidak ada sumber penghasilan. Oleh karena itu melakukan
pelacuran dianggap sebagai solusi yang instan. Faktor sosiologis, merujuk pada
perkembangan dan perubuhan sosial-budaya yang begitu cepat, ikatan sosial yang
renggang, dan masyarakat bersifat pragmatis, nilai-nilai sosial mengendor. Banyak
anggota masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
jaman, mereka teralienasi dari masyarakatnya. Pelacuran dipandang sebagai jalan
keluar dari alienasi tersebut. Faktor psikologis, kepribadian yang lemah dan
mudah terpengaruh, moralitas yang rendah dan kurang berkembang sehingga tidak
dapat membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh,
menjadi sebab-sebab timbulnya pelacuran.
Akibat
dari aktivitas pelacuran menimbulkan dampak negatif dan pisitif. Namun dampak
negatifnya jauh lebih banyak daripada dampak positifnya. Antara lain akibat
negatif pelacuran adalah dapat menimbulkan dan menyebarluaskan berbagai macam
penyakit menular yang berbahaya sebagai akibat hubungan sek-sualitas yang
salah. Menimbulkan dekadensi moral sebab aktivitas pelacuran bertentangan dengan norma-norma dalam
masyarakat (norma kesopanan, kesusilaan, agama, dan hukum). Pelacuran juga
mengakibatkan eksploitasi manusia oleh manusia lain, karena wanita-wanita
pelacur itu diperlakuan sebagai sapi perahan dan objek atau barang yang dapat
dijualbelikan.(http://menanggulangi.blogspot.com/)
DAFTAR
RUJUKAN.
Alam, A.S.
1984. Pelacuran dan
Pemerasan, Bandung:
Alumni.
Anwar,
Mochamad Dading. 1986, Hukum Pidana Bagian Khusus Buku II, Bandung:
Alumni.
Basu,
Benediktus, 1998. Sendi-Sendi Kriminologi, Surabaya: Usaha Nasional,
Indah, Maya,
2001, “Bekerjanya Peradilan Pidana dalam Mewujudkan Perlindungan Korban”, Masalah-masalah
Hukum Nomor 1 Tahun 2001. Semarang: Fakultas Hukum Undip..
Kartono,
Kartini. 1988. Patologi Sosial. Jilid I, Edisi Baru, Jakarta: CV
Rajawali.
Moeljatno.
1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Moeljatno.
2001. Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Poerwardaminta,
WJS. 1998. Kamus Umum Bahasa Indonesi,, Jakarta: PN Balai Pustaka.
Prodjodikoro,
Wirjono. 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: PT
Erresco.
Soedjono, D.
1988. Pathologi Sosial, Bandung: Alumni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar