Sejak memasuki malam sampai menjelang dinihari,
suara band dari salah satu café yang terletak di depan monument itu
terdengar sangat keras sampai membuat saya susah tidur. Penasaran dengan apa yang terjadi, sekitar tengah malam saya keluar melihat situasi di sana, pikir saya ada panggung gembira.
Ternyata di lantai dua café itu ada live music.
Sementara di jalanan terdapat beberapa bule sedang minum di jalanan
(dari botolnya sepertinya minuman keras), sementara di trotoar sekitar pintu-pintu café terdapat beberapa gadis (sebagian besar tampak orang Indonesia) dengan
pakaian mini dan tipis menggolang-goyangkan pantat dan dadanya dengan
rokok terselip di jarinya. Ketika saya melintasi mereka, setidaknya ada tiga orang yang menawari cewek.
Siang tadi ketika saya naik taksi, si sopir
mengatakan kalau acara itu berlangsung setiap hari tapi “hanya” sampai
jam 3 pagi. Katanya sebelum Bom Bali, bisa sampai subuh. Sopir taksi itu
juga mengatakan bahwa kehidupan pariwisata di Bali menghadirkan
pelacuran dan minuman keras. Kalau dulu disertai kasino, tetapi sekarang
katanya sudah dilarang.
Ketika bincang-bincang, sang sopir bahkan
menawarkan dapat mencarikan perempuan model apapun kepada saya dengan
tarip yang begini sekian dan yang begitu sekian. Ia seolah
bekerja rangkap, sebagai sopir taksi dan perantara. Saya hanya
tersenyum dan mengatakan kalau saya tidak pernah berminat dengan hal-hal
seperti itu.
Maraknya pelacuran dan miniman keras memang bukan
hanya di pariwisata Bali, hampir setiap tempat wisata terkenal juga
kabarnya menyajikan itu. Kata orang, obyek wisata menjadi tidak menarik
jika tidak dibumbui dengan kemaksiaan-kemaksiatan tersebut.
Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis artikel
dan jadi HL mengenai budaya Bali dengan keteguhannya mempertahankan
kawasan suci dan melarang bangunan melebihi pohon kelapa {sekarang
katanya dikonversi menjadi tidak boleh lebih tinggi dari 11 meter). Pada
satu sisi, pariwisata Bali adalah berkah bagi masyarakat, tetapi pada
sisi lain pariwisata menghadirkan banyak dampak negatif.
Tapi entahlah dalam pandangan masyarakat Bali.
Dalam pandangan saya sebagai Muslim, hal itu bukan ciri budaya bangsa,
atau setidaknya kebiasaan yang tidak boleh dilekatkan sebagai identitas
bangsa Indonesia di dunia pariwisata internasional.
Kemarin saya mendapat hotel di situ karena pesannya
di reservasi hotel di bandara, tetapi tidak tahu posisinya dimana.
Malam ini saya pindah hotel agak jauh dari situ untuk mendapat suasana
yang agak nyaman….
(Taryadi SUm, http://wisata.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar