Mami Rose dari Happy Home ke Sumber Rejeki
LAGU dangdut Begadang nyanyian Rhoma Irama terdengar keras dari salon
milik rumah bordir Happy Home. Aroma menyengat minuman keras dari
berbagai merek, berbaur dengan kepulan asap rokok WTS (Wanita Tuna
Susila) maupun pengunjung wisma Happy Home. Suasana akuarium tempat para
WTS duduk berjajar menjajakkan diri – berukuran 3x5 meter makin
menyesakkan dada. Bunyi lagu yang keras, asap rokok yang pekat bercampur
dengan bau parfum mencolok yang dikenakan penjaja cinta. Sesekali
tercium bau Fanbo, Brut dan merek-merek lainnya yang populer di era 75
an. Gelak tawa dan canda nakal dari para WTS kerap mewarnai wisma
terkenal yang ada di gang Dolly, Surabaya.
Seorang wanita cantik,
berumur 27 tahun, lalu lalang mengontrol kamar demi kamar yang ada di
dalam rumah bordir bercat pink itu. Mengenakan rok terusan warna merah,
dengan bunga-bunga besar putih dan hitam. Belahan dadanya agak ke bawah,
hingga terlihat jelas tonjolon buah dadanya. Bibirnya di pulas gincu
merah menyala. Pipinya bersaput bluse on warna senada. Wanita bertubuh
indah itu tak lain adalah Sumiarsih. Mucikari paling top Gang Dolly kala
itu.
Tingginya perputaran uang di HH menjadikan sejumlah
“pengusaha” dadakan, ingin menggandeng Mami Rose untuk menjadi mitra
bisnisnya. Satu diantaranya Letkol Mar Purwanto. Komandan Primkopal yang
beralamat di jalan Dukuh Kupang Timur 17/24-26 Surabaya, rumah yang
hanya beberapa meter dari gang Dolly. Semula Purwanto adalah tamu biasa
wisma HH. Karena seringnya Purwanto datang, menjadikan mereka dekat
antara satu dengan yang lainnya.
Tidak hanya Purwanto yang kerap
datang. Banyak lelaki dengan berbagai “seragam” yang datang ke Wismanya.
Kehadiran pelanggan dari kalangan ABRI menjadi anugerah. Selain gengsi
tersendiri, kehadiran para ABRI itu dijadikan “pengaman” rumah bordir
miliknya. Untuk keperluannya itu, Mami Rose rela memberikan uang bulanan
bagi aparat tersebut karena jasanya.
Dengan semua ini
dijadikan peluang bagi Purwanto, karena dengan adanya aparat yang ada di
lokalisai tersebut. Membuat para pelanggan merasa aman dan nyaman.
Kemudian Purwanto mengajak kerja-sama. Mami Rose menyetujui kerja-sama
tersebut. Hanya dalam hitunggan minggu, wisma yang tidak jauh dari wisma
HH diserahkan pengelolaannya ke Mami Rose. Usaha bordir patungan itu
diberi nama Sumber Rejeki (SR). Jadilah Mami Rose germo di dua wisma
sekaligus.
TEMPO
Kajari Surabaya: Sumiarsih dan Sugeng Segera Dieksekusi
16 Pebruari 2003
TEMPO
Interaktif, Jakarta:Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya Luhut Pakpahan
memastikan segera mengeksekusi mati terpidana Nyonya Sumiarsih dan
Sugeng secepatnya. Senin (17/2), dia akan menemui keduanya di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita dan Lowokwaru, Malang, untuk menyampaikan salinan
penolakan grasi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
“Pokoknya,
secepatnya. Soal kepastian waktu dan tempat, semua kami rahasiakan,”
ujar Luhut pada Tempo News Room di Surabaya, Minggu (16/2) siang. Kini,
detak kehidupan Sumiarsih dan Sugeng tinggal menghitung waktu. Biasanya,
setelah salinan itu diberikan eksekutor, terpidana mati akan
ditempatkan di sel khusus. Sembari menunggu eksekusi, terpidana akan
mendapat bimbingan dari rohaniwan.
Undang-Undang Grasi 22/2002
mengatur, paling lambat 14 hari setelah keputusan presiden, kejaksaan
selaku eksekutor harus menyampaikan pada terpidana. Dan, Senin ini
mendekati batas terakhir penyampaian salinan itu setelah penolakan
presiden pada 5 Februari. Mengapa salinan belum diterima Sumiarsih dan
Sugeng? Pakpahan mengaku salinan itu belum menerima dari pengadilan.
Selama ini hanya menerima faksimale dari Kejaksaan Agung.
Sumiarsih
dan Sugeng dipidana mati Pengadilan Negeri Surabaya pada 19 Januari
1989 karena terbukti melakukan pembunuhan berencana yang menewaskan
Letkol Marinir Purwanto, istri, dua anak dan satu keponakan, Agustus
1988. Semua korban dihabisi secara sadis: kepala dihantam lalu mayat
dibuang di jurang Songgoriti, Batu, Malang.
Selain Sumiarsih,
kasus itu juga diotaki suaminya, Djais Adi Prayitno – juga dipidana mati
tetapi telah meninggal dunia karena sakit jantung di penjara Kalisosok
Surabaya. Keduanya terbelit hutang pada Purwanto, yang sama-sama
mengelola rumah bordil di kawasan Dolly, Surabaya. Sedang keterlibatan
Sugeng karena menuruti permintaan dua orangtuanya itu. Begitu pula
Sersan Dua (Pol) Adi Saputro, menantu Sumiarsih-Djais, yang lebih dulu
dieksekusi mati setelah divonis Mahkamah Militer Surabaya.
Setelah
kasasi ditolak Mahkamah Agung, Djais, Sumiarsih dan Sugeng meminta
grasi Presiden Soeharto tapi ditolak 28 Juni 1995. Ketiganya mengajukan
PK alias Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, 28 Agustus 1995. Upaya
ini gagal. Menyusul pergantian rezim, mereka meminta grasi Presiden
Habibie dan Abdurrahman Wahid. Permintaan grasi pada Presiden Megawati
adalah yang keempat. Empat belas tahun sudah mereka menjalani hukuman
penjara sembari menunggu seluruh upaya hukum itu.
Kini, pintu
telah tertutup bagi Sumiarsih dan Sugeng. Terlebih lagi Undang-Undang
Grasi 22/2002 hanya memberi kesempatan satu kali pada terpidana. Saat
ini masih ada dua terpidana mati lain di Surabaya, yakni Nyonya Astini
dan Sugik. Keduanya terbukti melakukan pembunuhan berencana, dilakukan
sadis dan korban lebih dari satu orang. Pembunuhan itu juga
berlatarbelakang utang. Astini menghantam kepala tiga korban, tubuh
dicincang lalu dibuang. Sedang Sugik, remaja kuli batu, membunuh satu
keluarga. Empat korban tewas dihantam kepalanya, kemudian ditanam di
rumah.
Tempo hari Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Heru
Sutanto menyatakan telah membentuk dua tim penembak dari Brimob. Mereka
telah berlatih untuk menunaikan tugas. “Kami sudah siap,” ujar Sutanto
pada wartawan di Surabaya.
Menurut Pakpahan, tiga hari sebelum
eksekusi, kejaksaan wajib memberitahu keluarga terpidana. “Pemberitahuan
tidak termasuk tempat dan jam pelaksanaan,” ujarnya. Dia berjanji akan
menghindari kesalahan, termasuk keterlambatan pemberitahuan salinan
penolakan grasi dari presiden. “Karena itu Senin kami ke Malang,”
lanjutnya.
Pelaksanaan teknis hukuman mati diatur Undang-Undang
2/PnPs/1964. Diantaranya menyebutkan, eksekusi harus dilakukan sampai
terpidana sungguh mati. Batas waktu pelaksanaan yakni maksimal 30 hari
sejak terpidana menerima salinan keputusan proses hukum terakhir. Bila
terpidana hamil, hukuman dilaksanakan usai persalinan. Maksimal, 40 hari
sejak melahirkan.
Eksekusi dilakukan oleh kejaksaan yang
menangani perkara itu sejak pengadilan tingkat pertama. Dan, permintaan
terakhir dari terpidana mestilah dipenuhi eksekutor, kecuali yang
bersifat menghalangi pelaksanaan hukuman. Undang-undang itu juga
mengatur, regu tembak terdiri dari 12 orang: satu bintara, 10 tamtama
dan seorang perwira selaku komandan. Sedang jarak tembak dibatasi antara
5-10 meter. Terpidana ditutupi kepala dengan kain hitam – tapi boleh
menolak – dan mesti didampingi rohaniwan.
Perwira itu memberi
aba-aba dengan pedang. Ayunan ke atas sebagai perintah semua senapan
diarahkan ke jantung. Dan, kibasan ke bawah adalah perintah menarik
pelatuk. Serentak! Bila terpidana belum mati, tembakan berikut diarahkan
ke kepala. Diantara regu tembak, tidak ada yang tahu senapan yang
terisi peluru tajam dan hampa. Senjata tidak boleh organik, dan
dilaksanakan oleh Brimob. (Sumber: http://michael-ho-diary.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar