PETANG
belum pula beranjak malam. Namun tamu Wisma Mami Trimo, yang terletak di ujung
Gang Permata sebuah lokalisasi tak resmi Rawa Silir, sudah berdatangan. Sementara,
Surtini sang primadona belum juga keluar dari kamar. Ia masih asyik melukis
bulan sabit di atas mata dan melentikkan bulu matanya.
Malam ini ia ada janji
dengan pelanggannya yang blantik
sapi. Tapi, malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Ada sesuatu yang
spesial di antara mereka berdua. Sebab itu ia merias demikian sempurna agar
tampil memuaskan.
Tamu yang lain masih
dapat dilayani oleh kawan-kawan sewisma Surtini. Selera tamu-tamu petang di
ambang malam ini belum sampai pada puncak kenikmatan sajian Surtini sang
primadona. Terlebih lagi belum ada tamu sekelas atau sekelas lebih tinggi dari
sang blantik sapi.
Alkisah petang di
ambang malam itu berlalu begitu saja bagi Surtini. Ia tetap belum bersedia
menerima siapapun kecuali Tukino sang blantik
sapi. Beruntung Mami Trimo –ibu asuh wisma—dapat menerima sikap Surtini.
Surtini teringat malam
kemarin ketika ngobrol-ngobrol dengan
Tukino. Pagi tadi, Tukino kebanjiran rezeqi lantaran 100 ekor sapinya diborong
habis buat memenuhi nazar seorang anak keluarga tajir.
Alangkah banyaknya
duit yang ada di kantong Tukino hari ini, senyum Surtini dalam hati. Semalaman
ia membayangkan bakal memperoleh duit lebih daripada biasanya. Hanya dari
Tukino seorang. Alangkah mudahnya, gumamnya lagi seorang diri.
Tukino. Surtini
mengenalnya sudah cukup lama. Tidak lama setelah ia resmi menjadi penghuni
Wisma Mami Trimo. Tidak ada yang istimewa pada sosok laki-laki setengah baya
itu. Wajahnya biasa saja, tanpa kekhasan.
Umurnya barangkali
sama dengan bapaknya Surtini yang tinggal nun jauh di kampung halaman.
Tingginya pun tidak jauh berbeda. Bahkan barangkali sama, kalau saja Tukino
tidak sedikit bungkuk. Rambutnya masih hitam legam, namun giginya nampak
kecoklatan dimakan tembakau.
Satu lagi yang mirip
dengan bapaknya adalah suaranya. Tapi Tukino bukanlah bapaknya. Begitu selalu
kata Surtini dalam hati setiap kali nuraninya tersentak mendengar suaranya.
Suara bariton bapaknya. Suara yang dulu selalu mengejarnya untuk belajar
mengaji dan shalat lima waktu. Ah, begitu kontras kehidupannya kini dengan masa
kanak-kanak dulu.
Seperti apa gerangan bapaknya
kini. Sudah tuakah? Tentu sekarang sangat menderita dengan kedua kaki yang
lumpuh. Ah, terlalu lama sekali ia tak sua lagi dengan keluarganya. Sejak ia
memasuki lumpur kelam ini. Hanya Yanto adiknya yang menjembatani komunikasi
dirinya dengan keluarganya. Melalui cerita Yanto lah ia dapat membayangkan keadaan
bapaknya, adik-adiknya, dan anaknya semata wayang yang segera menjadi kembang
desa.
***
JAM di dinding Wisma Mami Trimo tepat menunjuk
pukul tujuh malam. Waktu yang dijanjikan Tukino kemarin malam. Namun, Tukino
belum jua menampakkan batang hidungnya. Surtini sudah siap di etalase. Tak jauh
duduk Mami Trimo memperhatikannya.
Sejenak matanya
diedarkan ke sekeliling ruangan etalase. Tidak ada Tukino yang ditunggunya!
Tiba-tiba matanya berpapasan dengan Sapto. Pengunjung tetap yang satu ini
pelanggannya. Bukan pula yang lain. Tiap kali datang, dia sekadar minum dan
ngobrol. Tapi semua penghuni Wisma Trimo menyukainya. Karena kadang-kadang dia
mau membantu manakala ada pemuda yang iseng mengganggu.
Surtini cuma tersenyum
ketika Sapto datang mendekat.
“Malem Mbak Tin,” sapa
Sapto ramah.
“Malem juga,” sahutnya
singkat.
“Ada yang ditunggu?”
tanya Sapto lagi.
“Iya nih, aku menunggu
Mas Tukino yang blantik sapi itu,” kata Surtini.
“Sambil nunggu boleh
dong aku temani ngobrol,” pinta
Sapto.
“Boleh, tapi sudah
minta izin Mami belum?” tukas Surtini seraya melirik ke arah Mami Trimo.
“Ah, biasanya aku tak
perlu minta izin!”
“Malam ini beda, aku
sudah mengikat janji spesial dengan Mas Tukino,” Surtini jual mahal.
“Daripada Mbak Tin
bengong sendirian, kan lebih baik kita bunuh waktu dengan ngobrol-ngobrol,” Sapto terus mendesak.
“Okelah kalau begitu,”
akhirnya Surtini mengalah.
Sapto memang dikenal
baik oleh Mami Trimo kendati tak pernah lebih daripada sekadar minum.
Mereka lalu ngobrol ngalor-ngidul. Sapto memang enak
diajak ngobrol. Sehingga, Surtini
sejenak lupa dengan orang yang ditunggunya.
“Bagaimana Mbak Tin
sampai di Wisma Mami Trimo ini? Jadi primadona lagi,” tanya Sapto perlahan.
“Ah, ingin tahu urusan
orang saja,” Surtini mengelak.
“Bukan, aku dengar ...
bapakmu merupakan sosok yang cukup ketat dalam mendidik anak-anak dan lagi
dikenal sebagai tokoh agama di kampungmu,” Sapto memancing.
“He-eh, kami memang
dididik sangat ketat oleh bapak. Kekerasannya dalam mendidik kami, membuat kami
terkekang. Kami tak boleh sedikitpun membuat kesalahan. Kalau sampai bapak tahu,
kami bolos mengaji atau malas mengikuti kuliah subuh, apalagi kalau sampai lupa
shalat, jangan diharap kami bisa lepas dari cambukan rotan. Itu kami alami
sampai lulus sekolah dasar,” panjang-lebar Surtini berkisah ringan.
Sapto diam tak
berkomentar. Ditawarinya Surtini rokok. Surtini tak menolak, diambilnya
sebatang lalu dinyalakannya. Dalam embusan asap yang pertama Surtini
melanjutkan kisahnya.
“Lulus sekolah dasar,
aku disekolahkan di kota kabupaten yang berjarak 30 kilometer dari desaku. Jauh
dari bapak ternyata mengasyikkan. Semua bisa dikerjakan. Semua serba bebas.
Kadang-kadang saja aku menjalankan apa yang diajarkan oleh bapak.”
“Jadi kau merasa
terbebas.”
“Begitulah!”
“Lantas, bagaimana
Mbak Tin bisa berkenalan dengan dunia yang demikian berbeda seratus delapan
puluh derajat dengan kecil Mbak ini?”
“Wah, ceritanya
panjang Mas,” ucap Surtini sambil ngeloyor
menjumpai Mami Trimo untuk menanyakan apakan Tukino sang blantik sapi sudah datang.
“Ceritanya panjang Mas
dan sepertinya klasik. Di kota perantauan itu, aku bersekolah sampai akademi.
Nah, saat kuliah di akademi, aku berkenalan dengan seorang pemuda yang mengaku
dari Jakarta. Mulai saat itu, aku berpacaran dengan pemuda tampan itu. Dan, aku
betul-betul lepas kendali, jatuh ke pelukannya dan kami melangkah terlampau
jauh.”
“Ketika aku hamil dan
minta pertanggung-jawabannya, ia langsung ngacir
ke Jakarta. Aku tak pernah tahu lagi di mana alamatnya di Jakarta yang demikian
besar ini,” papar Surtini usai menjumpai Mami Trimo.
“Dan, Mbak Tin
langsung menceburkan diri di lokalisasi tak resmi ini,” tanya Sapto prihatin.
“Nggak Mas! Saat itu aku sadar. Aku jadi teringat bapak. Bapak
ternyata benar. Aku menyesal sekali. Tapi untuk pulang aku malu. Setelah
melahirkan anakku dan kutitipkan pada ibu, aku mulai mencari kerja. Aku tak
mungkin lagi meminta uang pada bapak. Karena aku dengar bapak murka sekali
mendengar apa yang aku lakukan. Dan aku tidak mungkin meneruskan kuliah tanpa
biaya. Maka bermodal suara, aku mulai menjadi penyanyi di sebuah klub malam.”
“sejalan dengan itu,
aku dengar bapakku lumpuh. Aku tak tahu pasti apa penyebabnya. Aku semakin taku
pulang. Aku merasa kelumpuhannya karena ulahku. Akulah penyebabnya, begitu
selalu yang terngiang dalam telingaku.”
Lalu?” tanya Sapto
tertegun.
“Aku jadi berkeinginan
kuat untuk menyembuhkan bapak. Bapak yang telah pensiun itu tidak mungkin
berobat. Biaya dari mana? Ibuku bukan orang kantoran. Kakak dan adikku bekerja
dengan gaji yang biasa-biasa saja. Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Dari situlah aku mulai menerima ajakan ngamar
para tamu klub malam tempatku bekerja. Satu-dua kali, ternyata hasilnya lebih
besar daripada sekadar menyanyi. Bisa ditebak ‘kan, aku keterusan dan aku
sangat disukai cukong-cukong berkantong tebal di kota ini. Sampai kemudian
cukong-cukong yang acap mengajakku ngamar
itu merasa bosan, mereka ingin mencari daun muda. Aku tidak populer lagi di
mata mereka. Penghasilanku pun menyusut, tak sebanyak saat masih 25-an tahun,”
Surtini dengan mata menerawang.
“Punten, kalau aku membangkitkan memori lama Mbak,” Sapto pura-pura
merasa bersalah sambil menyodorkan segelas air putih.
“Menyadari aku tak
laku lagi di kota itu, aku lalu lari ke Jakarta. Aku sempat mampir di Prapanca
dan melayani cukong-cukong berkantong tebal. Cukup lama juga aku di situ.
Hasilnya, aku bisa membangun rumah termewah di desaku dan memenuhi kebutuhan
sehari-hari di atas rata-rata kelayakan warga desaku. Tapi bapak tetap tidak
bisa sembuh. Bapak tidak punya gairah untuk hidup, kata adikku. Entahlah, apa
yang ada di benak bapak,” tutur Surtini.
“Lantas, nasibmu sama
lagi dengan saat di kota Bengawan?” tanya Sapto memastikan.
“Betul. Aku baru enam
bulan di lokalisasi tak resmi ini. Selama itu pula aku menjadi primadona,
banyak cukong-cukong pas-pasan yang selalu memesan aku pada Mami Trimo. Yah, satu
malam kadang-kadang sampai harus melayani lima tamu. Tapi, malam ini aku hanya
ingin melayani satu tamu, Tukino sang blantik
sapi,” ungkap Surtini dari lubuk hati terdalam.
***
TAK terasa waktu
bergulir. Dua jam sudah Surtini ngobrol
dengan Sapto. Tamu yang ditunggu Surtini datang tatkala jam di pergelangan
tangan Surtini sudah menunjuk jam sembilan malam.
“Eh... Mas Tukino, ke
mana saja, jam segini baru nongol?” sapa ramah Surtini pada Tukini
sang blantik sapi.
“Tadi ada sedikit
urusan,” sahutnya tanpa ekspresi.
Tanpa basa-basi lagi,
Surtini langsung mengajak Tukino ke kamarnya. “Ayo Mas, pokoknya malam ini kita
buat malam paling mengasyikkan dalam sejarah panjang karirku,” Surtini
menggelayut di pundak Tukino.
Keduanya langsung ngamar.
Sapto menatap keduanya
dengan senyum-senyum. Lalu diayunkan langkahnya menghampiri Mami Trimo.
“Mi, bagaimana prospek
Mbak Tin di sini?” tanya Sapto.
“Susah diharapkan, ia
itu kan baru tapi lama. Memang wajah dan bodinya masih yahud. Tapi, umurnya tak
mampu menipu. Aku pikir tak sampai setahun di sini, ia mesti pindah lagi agar
kelihatan senantiasa baru,” tutur Mami Trimo.
“Kenapa Mami mau
menerimanya? Sudah tahu umurnya di sini tak bakalan panjang, apa untungnya,”
ujar Sapto lagi.
“Aku ini cuma
menolong, ia itu anak penceramah agama di desaku. Di Jakarta ini ia
terlunta-lunta setelah mampir di Prapanca. Sementara ia butuh duit banyak,
terutama setiap adiknya datang. Jadi, yah aku tampung. Eh, nggak tahunya di sini malah jadi primadona. Ya, rezeqiku. Sekiranya
nanti tak laku lagi, ya aku oper ke Mami Marmi di lokalisasi tak resmi di
pinggiran Surabaya,” jawab Mami Trimo yang telah cukup lama membuka usaha di
pinggiran Jakarta Timur ini.
“Kalau begitu proyek
rugi dong!” ledek Sapto.
“Ah, kami ini bisa
saja,” ucap Mami Trimo sembari melemparkan kipas yang sedari tadi digenggamnya.
“Iya kan, Mami
biasanya memilih perempuan-perempuan bau kencur dari pantai utara atau lereng
gunung kapur selatan. Benar kan kataku,” Sapto masih ingin meledek.
“Sok tahu kamu ini!”
Mami Trimo singkat.
Kemudian obrolan
mereka beralih ke lingkungan Wisma Mami Trimo sampai desas-desus bakal
digurusnya lokalisasi tak resmi itu. Sapto menikmati sekali obrolan dengan
wanita setengah tua ini. Sekilas orang akan mengira kalau Mami Trimo ini
seorang penguasa, yang memeras keringat anak-anak asuhnya.
Padahal, dari obrolan
Sapto dengan beberapa orang anak asuhnya, tak satu pun yang mengeluh. Hubungan
mereka seperti tak ubahnya ibu dan anak. Satu sikap yang barangkali tak
dijumpai di lokalisasi lain, Mami Trimo sangat menghargai anak buahnya.
“Mi, sudah lebih dari
satu jam Tukino dan Surtini ngamar.
Tumben, biasanya paling lama setengah jam. Jangan, jangan ...,” Sapto tak
melanjutkan lagi.
“Jangan, jangan apa?
Biarlah kita tunggu lima menit lagi, ia kan berjanji memberi layanan spesial
pada Tukino malam ini,” ujar Mami Trimo menenangkan diri sendiri.
Lima menit berselang,
Surtini dan Tukino belum jua keluar kamar. Akhirnya Sapto dan Mami Trimo
sepakat menghampiri kamar mereka.
“Mi, dikunci dari
dalam,” kata Sapto saat berusaha membuka pintu kamar mereka.
“Ah ... yang benar!
Coba ketuk,” pinta Mami Trimo.
Beberapa kali Sapto
mengetuk. Tiada jawaban pula. Membisu. Tak bersuara. Tak ada cekakak-cekikik
khas saat Surtini ngamar seperti
malam-malam sebelumnya.
“Dobrak saja
pintunya!” teriak Mami Trimo panik.
Sapto lantas ambil
ancang-ancang. Satu, dua, tiga ... blaar! Pintu langsung jebol.
Astaga. Surtini sudah
terkulai kaku, tak sehelai benang pun membelit tubuhnya yang putih mulus. Lima
bekas tusukan ada di leher, dada dan ulu hatinya.
“Oh Surtiniiiii.....”
jerit Mami Trimo panjang. Lalu tak bersuara lagi. Jatuh. Tak sadarkan diri.
Lantas tiba-tiba anak
muda yang dikenal sebagai adiknya Surtini datang menerjang kerumunan, “Mbak
Tin, kok jadi begini. Mana bapak, di mana bapakku ...” ***
Bekasi,
November 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar