Kamis, 08 Oktober 2015

Taubatnya Seorang Pekerja Seks


Taubatnya Seorang Pekerja Seks

Gaya loe ah (KM Agil Firma, Kendari-Butur)
SELAMAT bersua kembali para Kompasianer yang terkasih.
Sebuah SMS tergolek di monitor handphone-ku: "Armand, kumohon menulislah..!" dan dua inbox bertengger di messageKompasiana dari dua akun berbeda:
- Pak, kok cuti nulisnya lama sekali? mudah2an pak Armand sehat ya. Hehehehehe…aku tunggu tulisan barunya.
- abang apa kabar? kemana aja? g nulis2?
Saya tak menjawab ketiganya, saya malah geli sendiri. Saya kok kayak penulis beken :lol:. Yang buat lebih geli lagi, apa iya, ketiga orang itu menantikan tulisan-tulisanku?. Oke, jika mereka berharap saya menulis. Apa iya, mereka baca isi tulisanku? Hehehehe
-----------------------------------
Well Kompasianer, kututurkan kembali kisah-kisah perjalananku yang merambah-rambah dunia pelacuran dengan segala fenomena sosial budayanya. Kali ini, saya bergeser ke Kota Kendari-Sulawesi Tenggara dan berarung-samudera via Kapal Ferry, 5 jam waktu terombang ambing di lautan. (Perjalanan: 28 Agustus-3 September 2013)
So, kisah apalagi neh hingga Kompasianer Makassar ini menautkan judul sebombastis ini?. Hemmm, gak ada apa-apa kok. Saya cuman kaget aja, ketika bermaksud menyisir 'kupu-kupu malam'. Dan zona itu berada di pinggiran Kota Kendari, dan untuk sementara, Kabupaten Buton Utara (Butur) masih 'steril' dari bisnis legam ini.
Mau pesan?
Hemmmmm..germo paru baya itu, tawarkan saya ladies,katanya: mau pesan yang tinggi semampai atau imut-imut? Nantilah bos, jawabku. Apakah tempat itu area prostitusi legal? Oh, bukan. Area ini terselubung, modusnya 'atas nama bangsa karaoke'. Sayapun jadi mikir, Kota Kendari selugu ini, pun telah menyeruak ancaman penyakit sosial dan kesakitan kelamin.
Ah santai aja Bruuuur membacanya, jangan serius gituh.....:D. Percaya deh, saya gak macem-macem..hahaha... Mbak itu yang berinisial EK, tuangkan bir di cendawanku, cendawan itu gelas yah? Oh cawan toh. Hehehe.. Terus, gelasku jatuh dan pecah. Mendadak mbak EK mengucap: Astagfirullah hal adziem...
Loh, pikiranku jadi 'panik', manusia yang 'senista' ini menurut berbagai image dari manusia-manusia lain, kok bisa mengucapkan aksara sakral teologis serupa itu? Perlukan saya mengkajinya secara dalam akan hadirnya psikologi-supranatural? Oh tidak, saya meyakini bahwa semua manusia saat di titik nadir akan kentara kebertuhanannya. Itu anggapanku. Aksara 'pertobatan' itulah hingga artikel ini kutiteli: Taubatnya seorang pekerja seks.

Lelah
Ripuh sudah, lelah sudah meriset motif-motif latar tersungkurnya gadis-gadis kita ke dunia hitam itu. Sungguh saya sudah bosan dengan jawaban; Karena motif ekonomilah, broken heart-lah, ditinggal ayah-ibu selamanyalah, putus kuliahlah, atau korban pemerkosaanlah. Tapi itu, hak jawab mereka. Saya hanya tak pernah bisa kompromi jika mereka 'main-main' dengan HIV/AIDS yang merugikan manusia lain (suami-suami orang, red). Ah, bukan salah mereka, suami-suami Indonesia juga kadang khilaf dan memperlakukan pekerja seks dengan tak humanistik. Maksudku, tak mau diajak pakai kondom.
Oh maaf, saya sedang tidak bicarakan agama, jua tak sedang membincang perkara moralitas di sini. Mungkin bahasa yang pas yang bisa saya eksploitasi adalah "Nasi sudah jadi bubur", semua telah terjadi. Kita hanya bertugas memperlambat kematian mereka akibat kejamnya HIV/AIDS.
Cukup yah, next time, nulis lagi :D
(http://www.kompasiana.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar