Perempuan pribumi saat itu dipandang murahan. Bahkan seperti monyet.
Hindia Belanda (http://idenide.blogspot.com)
Dalam buku Njai dan Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay, bahwa lelaki Belanda tak jarang yang sudah memiliki istri di negerinya, lalu menjadikan perempuan pribumi sebagai gundik.
Ketika ia menikah resmi dengan perempuan yang sederajat atau istri sahnya dari negeri Belanda datang ke Hindia, maka seorang nyai harus rela meninggalkan statusnya. Bahkan melupakan suami dan anak yang pernah dilahirkannya.
Rakyat bumiputra diposisikan sebagai warga negara terendah di dalam sratatifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda. Orang Indonesia, menurut orang-orang Belanda waktu itu, adalah negeri para monyet, bangsa yang dianggap sebagai penjahat paling kejam dan tak beradab.
Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia menceritakan perlakuan orang Belanda terhadap warga pribumi.
Seorang anak muda dari Jawa Tengah yang datang ke Batavia untuk belajar di sekolah kedokteran (STOVIA) dijuluki Minke oleh gurunya sendiri, yang merupakan plesetan dari kata monkey (monyet). Minke adalah tokoh utama di dalam novel itu.
Dalam buku Citra Perempuan di Hindia Belanda karya Tinneke Hellwig diceritakan, perempuan pribumi juga dipandang sebagai perempuan rendahan. Walau dirias dengan gincu, konde, kebaya plus berhiaskan gelang, cincin dan kalung bermata berlian, tetaplah seorang inlander yang terlihat murahan di hadapan tuan-tuan Belanda.
Sehingga pada masa itu muncul ungkapan bahasa Belanda al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft een leijk ding (meskipun mengenakan cincin emas, seekor monyet tetap saja makhluk yang buruk rupa).
Muller Berburu Wanita Pribumi
Kisah tentang pergundikan menimpa Muller de Montigny, asisten residen yang bertugas di Rangkasbitung, Lebak, Banten, sejak 6 April 1906 sampai dengan 1908. Ia jatuh dari jabatannya gara-gara terlibat pergundikan.
Pergundikan yang dilakukan Muller de Montigny itu tercatat di dalam arsip Departemen Van Binenland Bestuur (BB, Departemen Dalam Negeri) Pemerintah Hindia Belanda.
Berdasarkan laporan rahasia Residen Banten Overduyn tertanggal 7 Nopember 1907 No. 234/g kepada Direktur BB yang ditembuskan juga kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.
Dilaporkan, Muller de Montigny melakukan beberapa tindakan yang tak terpuji. Ia hampir setiap hari dia meminta Ardja, seorang opas patih Lebak untuk mencarikan seorang perempuan.
Ia juga membebani jaro (lurah) Desa Aweh (distrik Rangkasbitung) untuk meminta seorang perempuan pribumi bernama Nyi Munah yang dihukum karena perselingkuhan, untuk menjadi pembantunya.
Semua perempuan itu dipaksa untuk melayani nafsu seksnya yang menggebu setiap hari. Perempuan pribumi yang jadi budak seksnya berbeda-beda setiap hari.
Tidak hanya itu, Montigny juga memerintahkan Mas Mangku Sudirdja, sipir penjara negara Rangkasbitung, untuk mencarikan pembantu perempuan pribumi (Nyi Hadji Salatri dan Marsono) dijadikan gundik. Ia juga menyuruh sipir penjara negara di Rangkasbitung untuk menyerahkan kepadanya dua tahanan perempuan pribumi.
Saat itu, Montigny menjalankan tugas sebagai asisten residen Lebak, sendiri, tanpa didampingi seorang istri. Arsip memang tak menjelaskan statusnya, perjaka, duda atau sudah menikah.
sumber:http://nasional.news.viva.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar