Sabtu, 11 Oktober 2014

PARADIGMA BARU PENANGANAN DI PANTI REHABILITASI TUNASILA

Oleh Achmad Buchory, S.Sos *)

Keadaan ekonomi dan kurang terjaganya moral membuat seseorang terjerumus kedalam kehidupan yang tidak normal berupa pelacuran diri atau biasa disebut sebagai penyandang tuna susila. Manusia yang mengalami hal ini tidak bisa lepas dari rasa malu, siksaan mental, serta ketakutan akan adanya operasi terhadapnya. Seperti yang dialami Selvy (bukan nama sebenarnya), tiap hari ia harus berjibaku dengan keadaan yang menyakitkan.

Ketidakberdayaan sosial memaksanya untuk bekerja sebagai PSK di salah satu kota besar di Jawa Tengah. Aktivitasnya sehari praktis tersita habis mulai sore sampai tengah malam. Hari sabtu malam merupakan hari terbaik bagi para PSK termasuk bagi Selvy, karena di hari ini dipastikan banyak pelanggan yang akan menggunakan jasanya.

Pada hari itu masih pukul 4 sore, Selvy sudah mempersiapkan diri untuk menjalani profesinya sebagai PSK. Dari berias, menggunakan parfum, dan mengenakan baju yang seksi. Pukul 7 malam tepat ia sudah mangkal dan menunggu pelanggan yang akan menggunakan jasanya. Akan tetapi hari itu merupakan hari operasi Tuna Susila yang akan dilakukan oleh aparat pemerintah setempat.

Tepat pukul 10 malam bebebrpa kompi pasukan aparat pemerintah menyatroni tempat lokaliasasi yang biasa dipangkali Selvy dan kawan. Suara sirene terdengar, semua penghuni pada berlarian tak terkecuali Selvy lari tergopoh-gopoh dengan penuh rasa ketakutan. Ada yang berlari masuk selokan, ada yang lari melompat sungai, dan tidak sedikit pula yang tertangkap. Bagi yang tertangkap dipastikan akan dibawa ke panti rehabilitasi tuna sosial pemerintah setempat.

Dari kasus diatas banyak pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh kalangan pelakukan pemberdayaan dan rehabilitasi sosial yang menangani hal tersebut. Mengapa proses rasia yang dilakukan aparat keamanan pemerintah membawa suatu dampak ketakutan terhadap penyandang tuna susila. Proses tersebut membuat suatu ketakutan psikologi dimana penyandang tuna susila merasa sebagai penjahat yang harus ditangkap dan nantinya akan mendekam di suatu penjara.

Padahal seharusnya proses demikian tidak perlu dilakukan kalau pelayanan terhadap konsep rehabilitasi dan pemberdayaan sosial yang dijalankan oleh lembaga pemerintah tidak berkonsep menghakimi dan memberikan sanksi melainkan bahwa lembaga ini benar-benar menjadi lembaga rehabilitasi dan pemberdayaan sosial yang berfungsi untuk melakukan rehabilitasi bagi penyandang tuna susila sehingga kedepanya menjadi manusia yang memiliki daya untuk melepas profesi tuna susila serta dapat menjadi bagian masyarakat yang normal.

Fungsi Utama Panti Rehabilitasi Tuna Susila
Masalah WTS selalu ada pada setiap Negara maupun daerah dan merupakan masalah sosial yang sulit untuk dipecahkan. Adanya WTS ditengah masyarakat ini dianggap sebagai permasalahan sosial dan sangat mengganggu masyarakat disekitarnya. Ini karena perbuatan tersebut dilarang oleh agama maupun norma-norma masyarakat yang mana perbuatan tersebut adalah dosa besar.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Johan Suban Tukang (1990) bahwa dunia pelacuran adalah tempat berkembangnya penyakit hubungan kelamin, AIDS, gonohoe, dan sebagainya.
Sementara itu Kartini Kartono dalam bukunya Patologi Sosial (1983) menyebutkan akibat-akibat yang ditimbulkan dari pelacuran yaitu :
1. Menimbulkan penyakit kulit dan kelamin.
2. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga.
3. Dapat menimbulkan disfungsi sosial.
4. Pelacur dijadikan alat untuk mencari nafkah.

Untuk itu peran dari panti rehabilitasi sosial sangat dibutuhkan untuk memberantas penyakit sosial ini agar tidak membawa dampak yang lebih buruk dalam kehidupan masyarakat.

Hal ini sesuai dengan fungsi utama dibentuknya panti ini yaitu memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan pengetahuan dasar pendidikan, fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi bimbingan lanjut bagi para wanita tuna susila agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan pengembangan standar pelayanan dan rujukan.

Dengan tujuan tersebut maka paradigma proses penjaringan yang dilakukan oleh aparat pemerintah harus diubah dan jangan menimbulkan kesan bahwa penyandang tuna susila menjadi obyek penjahat sehingga menimbulkan ketakutan psikologi yang luar biasa.

Paradigma Baru Panti Rehabilitasi Tuna Susila
Paradigma cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.

Yang dimaksud dengan paradigma baru panti rehabilitasi tuna susila adalah konsep baru pelayanan dan penanganan terhadap penyandang tuna susila yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan konsep pendidikan dan pembenahan mental baik yang bersifat religius maupan moralitas sehingga dapat mengembalikan statusnya dalam mendapatkan daya di masyarakat.

Dengan konsep ini maka penyandang tuna susila akan dapat dikembalikan ke masyarakat dengan keadaan yang normal, ber-ilmu, dan berdaya.
Saat ini paradigma yang digunakan oleh panti-panti rehabilitasi sosial masih bersifat represif. Kebanyakan sistem yang dilakukan menggunakan cara-cara rasia dengan kekerasan sehingga seolah-seolah menganggap penyandang tuna susila adalah suatu obyek pidana. Akibatnya banyak penyandang tuna susila mengalami ketakutan dan melarikan diri apa adanya.

Disamping pola penertiban yang demikian, para aparat dinas sosial kadang menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan tindakan yang tidak baik terhadap penyandang tuna susila. Mereka juga sering diperkerjakan di panti sebagai tukang bersih-bersih atau pekerjaan lain yang bukan pada tempatnya sehingga sejajar dengan para narapidana.

Hal-hal demikianlah yang membuat image panti rehabilitasi tuna sosial sangat menakutkan dimata para penyandang tuna sosial. Konsep demikian harus di ubah dan diganti paradigmanya sehingga panti sangat bermanfaat.

Untuk mengubah paradigma panti rehabilitasi tuna susila parameter yang digunakan adalah Undang-undang kesejahteraan sosial No. 11 Tahun 2009. Adapun pengertiaan Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

Perlindungan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Melihat pengertian diatas maka fungsi panti sosial jelas bahwa untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada penyandang tuna susila agar dapat menjadi manusia yang memiliki daya dan dapat berkembang di masyarakat. Dengan demikian program-program yang dijalankan yaitu berupa penylluhan sosial kepada tuna susila dan memberikan bekal skill yang bermanfaat dalam mewujudkan manusia yang berguna bagi bangsa dan negara.

Paradigma baru harus dibangun didalam lingkup panti rehabilitasi tuna sosial di Indonesia. Sikap preventif dan persuasif lebih diutamakan daripada sikap represif. Para petugas juga perlu dibekali dengan pola-pola mendidik dan kooperatif. Pada dasarnya panti sosial didirikan untuk menampung para penyandang tuna susila agar mau kembali keraha yang benar atau kembali pada kehidupan yang normal sesuai dengan aturan di masyarakat.

Tuna susila merupakan profesi yang melanggar aturan baik dari segi agama maupun hukum formal. Sehingga panti harus menangani dengan cara yang bersifat membantu bukan lagi menangkap. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat suatu media sosialisasi akan pentingnya rehabilitasi di panti. Pendidikan dan pelatihan skill diutamakan dalam sosialisasi sehingga peran panti benar-benar menjadi harapan para penyandang tuna susila untuk berbuat lebih baik dan meninggalkan profesi demikian.

Panti juga harus mampu menggali potensi-potensi dan bakat-bakat dari para penyandang tuna susila sehingga benar-benar dapat di optimalkan keberadaanya didalam masyarakat. Dengan paradigma baru inilah maka keberadaan penyandang tuna susila akan berangsur-angsur menurun dan juga tindakan kekerasan terhadap penyandang tuna susila akan hilang dengan sendirinya. (http://bbppksjogja.depsos.go.id/)

*) Achmad Buchory, S.Sos, Widyaiswara pertama di BBPPKS Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar