Rabu, 02 Juli 2014

AIDS dan ’Tempat-tempat Risiko Tinggi’ di Kota Jayapura, Papua


* Menyibak peran Perda AIDS Kota Jayapura Tahun 2011dalam penanggulangan HIV/AIDS

** Kasus kumulatf HIV/AIDS di Kota Jayapura sampai 31 Desember tahun 2012 mencapai 2.666 dengan 140 kematian. Sedangkan kasus kumulatif di Prov Papua dilaporkan 13.276 (Sumber: Dinkes Prov Papua).

Media Watch (8 November 2013) – Pemkot Jayapura, Papua, sudah mengeluarkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No 7 Tahun 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan IMS dan HIV/AIDS yang disahkan tanggal 12 Oktober 2006.

Belakangan Pemkot Jayapura merevisi perda tsb. melalui Perda No 16 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual, Human Immunodeficiency dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome di Kota Jayapura yang disahkan tanggal 6 Desember 2011.

Kedua perda itu setali tiga uang. Perbedaan hampir tidak ada. Yang ada al. judul Bab IV. Perda 2006 menyebutkan Kewajiban dan Larangan, sedangkan pada Perda 2001 disebutkan Hak dan Kewajiban.

Yang jelas dua perda tsb. sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret dan sistematis serta terukur untuk menanggulangi (penyebaran) HIV/AIDS.

Bahkan, perda ini diusung dengan pijakan moral yang justru mengaburkan fakta. Misalnya, penyebutan “tempat-tempat risiko tinggi” sebagai eufemisme untuk menyebutkan tempat pelacuran.

Di pasal 1 ayat 14 disebutkan: Tempat Populasi Risiko Tinggi untuk penularan IMS dan HIV adalah tempat dimana beroperasinya kelompok Resiko tinggi seperti: Bar, Restoran, Hotel, Salon, Panti Pijat.

Pasal 1 ayat 14 membuktikan bahwa di bar, restoran, hotel, salon dan panti pujat yang ada di Kota Jayapura terjadi praktek pelacuran.

Kondom

Bahkan, dalam Perda 2011 terdapat hal yang bertolak belakang yaitu bunyi pasal yang seling bertentangan.

Coba simak bunyi Pasal 7 ayat 3 (Perda 2011) ini: Kewajiban Pemilik Tempat-tempat Risiko Tinggi yaitu:

a. melakukan pemeriksaan secara berkala kepada karyawannya;

b. membiayai perawatan dan pengobatan tenaga kerjanya bila terbukti mengidap IMS sampai sembuh dan juga yang  mengidap HIV;

c. tidak mempekerjakan tenaga kerja yang mengidap IMS dan HIV;

d. memasang informasi tentang bahaya IMS, HIV dan AIDS di tempat yang mudah dilihat dan dibaca pada tempat risiko tinggi; dan

e melarang pekerjanya untuk melakukan kegiatan prostitusi dan kegiatan yang beresiko tinggi menularkan HIV.

f. menyediakan tempat penyimpanan kondom pria dan perempuan yang mudah dijangkau di tempat usahanya;

g. mempermudah akses bagi petugas instansi terkait untuk melaksanakan pemeriksaan IMS dan HIV bagi pekerjanya; dan

h. melindungi semua pekerjanya terhadap kemungkinan mendapatkan penularan penyakit dari klien

Bunyi huruf e bertentangan dengan bunyi pada huruf a, b, c, d, f, g dan h.

Kalau di tempat-tempat berisiko tinggi dilarang “melakukan kegiatan prostitusi dan kegiatan yang beresiko tinggi menularkan HIV”, maka tidak perlu pernyataan pada huruf a, b, c d, f, g dan h.

Di sisi lain bunyi pada huruf a “melakukan pemeriksaan secara berkala kepada karyawannya” tidak berguna lagi dalam penanggulangan HIV/AIDS karena kalau ada karyawan di tempat-tempat berisiko terdeteksi mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus, maka ada kemingkinan:

(a) IMS atau HIV/AIDS yang terdeteksi pada karyawan tempat-tempat risiko tinggi bisa jadi ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk Kota Jayapura. Kalau ini yang terjadi, maka laki-laki yang menularkan IMS atau HIV/AIDS ke karyawan tempat-tempat risiko tinggi akan jadi mata rantai yang menularkan IMS atau HIV/AIDS ke istrinya bagi yang beristri atau PSK, serta ke pacar atau pasangan atau PSK bagi yang tidak beristri.

(b) Karyawan tempat-tempat risiko tinggi yang terdeteksi mengidap IMS atau HIV/AIDS bisa jadi mereka sudah mengidap IMS atau HIV/AIDS ketika mulai ‘praktek’ di tempat-tempat risiko tinggi di Kota Jayapura. Jika ini yang terjadi, maka laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi berisiko tertular HIV/AIDS. Maka, laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS. Kalau ada laki-laki dewasa penduduk Kota Jayapura yang tertular IMS atau HIV/AIDS dari karyawan tempat-tempat risiko tinggi mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, yang beristri menularkan IMS atau HIV/AIDS ke istri atau PSK, yang tidak beristri menularkan ke pacar, pasangan atau PSK.

Pasal 7 ayat 3 huruf b disebutkan: membiayai perawatan dan pengobatan tenaga kerjanya bila terbukti mengidap IMS sampai sembuh dan juga yang mengidap HIV.

Celakanya, dalam perda ini sama sekali tidak ada langkah konkret untuk mendeteksi IMS dan HIV/AIDS pada laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Itu artinya laki-laki yang menularkan IMS atua HIV/AIDS ke karyawan tempat-tempat risiko tinggi dan yang tertular dari karyawan tempat-tempat risiko tinggi menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari.

Di Pasal 7 ayat 2 disebutkan: Kewajiban Kelompok Populasi Risiko Tinggi:

a. menggunakan kondom pada setiap kali kontak seksual yang beresiko menularkan ims dan hiv;

b. menolak melakukan hubungan seks tanpa mengunakan kondom;

d. berobat dan tidak menularkan kepada orang lain jika mengetahui dirinya terinfeksi IMS dan HIV; dan

d. berobat ke layanan kesehatan yang tersedia bila sudah terinfeksi HIV dan menjaga kualitas hidupnya.

Siapa populasi risiko tinggi?

Di Pasal 1 ayat 13 disebutkan: Populasi Risiko Tinggi adalah kelompok yang mempunyai perilaku resiko tinggi terhadap penularan IMS dan HIV yaitu Penjaja Seks, Pelanggan Penjaja Seks, Pasangan tetap dari Penjaja Seks, kelompok lain dari Pria Berhubungan seks dengan pria, Narapidana, Anak Jalanan, Pengguna Napza suntik, Pasangan pengguna napza suntik yang tidak menggunakan napza suntik.

Lalu, apa pula yang dimaksud dengan ‘perilaku resiko tinggi terhadap penularan MS dan HIV?

Di Pasal 1 ayat 33 disebutkan: Perilaku seksual Risiko Tinggi adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa mengunakan kondom.

Yang jadi persoalan besar adalah banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak ganti-ganti pasangan di tempat-tempat risiko tinggi. Artinya, mereka mempunyai pasangan tetap di kalangan karyawan tempat-tempat risiko tinggi. Maka, pasal 1 ayat 33 tidak menyasar laki-laki yang mempunyai pasangan tetap di kalangan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Perilaku Berisiko

Disebutkan bahwa kelompok populasi risiko tinggi wajib menggunakan kondom pada setiap kali kontak seksual yang beresiko menularkan ims dan hiv.

Dalam perda tidak ada penjelasan kapan disebut hubungan seksual sebagai ’kontak seksual yang beresiko menularkan ims dan hiv’.

Pasal 7 ayat 2 huruf a ini tidak jelas siapa yang diwajibkan memakai kondom: laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi atau karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Begitu pula dengan Pasal 7 ayat 2 huruf b yang menyebutkan kelompok populasi risiko tinggi wajib menolak melakukan hubungan seks tanpa mengunakan kondom.

Lagi-lagi tidak jelas tentang siapa yang wajib menolak hubungan seksual: laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi atau karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Dalam perda tidak ada mekanisme yang sistematis dan terukur untuk mengawasi pemakaian kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Masih di Pasal 7 ayat 2, di huruf c disebutkan bahwa kelompok populasi risiko tinggi wajib berobat dan tidak menularkan kepada orang lain jika mengetahui dirinya terinfeksi IMS dan HIV.

Persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS.

Maka, yang terjadi adalah banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya dan mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di Pasal 7 ayat 5 disebutkan: Kewajiban orang yang tidak terinfeksi HIV, yaitu:

a. memahami cara pencegahan IMS, HIV dan AIDS serta Kesehatan Reproduksi.

b. meningkatkan kwalitas diri supaya tidak berperilaku hidup beresiko terinfeksi HIV dan AIDS.

c. meningkatkan ketahanan keluarga untuk pencegahan dan penanggulanganIMS, HIV dan AIDS sesuai dengan aliran kepercayaan yang dianut; dan

d. tidak melakukan stigma dan diskriminasi baik langsung maupun tidak langsung bagi mereka yang terinfeksi HIV termasuk keluarganya.

Persoalannya adalah: Bagaimana memastikan jika seseorang sudah memahami huruf a dan b akan menerapkannya ketika melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi?

Tentu saja tidak bisa!

Maka, yang bisa dilakukan adalah membuat regulasi yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Program yang dimaksud adalah ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Tentu saja program itu hanya bisa dijalankan jika ‘tempat-tempat risiko tinggi’ diregulasi yaitu melokalisir kegiatan risiko tinggi agar bisa dijerat dengan hukum.

Jika tempat-tempat risiko tinggi tidak dilokalisir dengan regulasi, maka program penanggulangan tidak bisa dijalankan dengan efektif.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***

AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar