Rabu, 02 Juli 2014

Aceh Hingga Papua, Pelacuran Merajalela

Lonte [PSK] ditangkap polisi syariat/WH [metroterkini.com]
Lonte [PSK] Aceh ditangkap polisi syariat/WH [metroterkini.com]
Pelacuran di bumi persada ini bukanlah barang langka. Meskipun katanya negeri ini dihuni oleh orang-orang beriman tinggi, namun soal seks rupanya tak kenal siapapun.
Bukti seks bebas dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di negeri yang selalu menjunjung tinggi kesopanan dan norma adalah lahirnya komplek-komplek pelacuran raksasa, semisal di Jakarta Utara punya Kramat Tunggak, Yogyakarta punya Sarkem alias Pasar Kembang, Bandung punya Saritem, maka “andalan”  Surabaya adalah Dolly.
Padahal Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan “terhadap kesusilaan/moral” dan melawan hukum.Dalam praktiknya, prostitusi tersebar luas, ditoleransi, dan diatur. Pelacuran adalah praktik prostitusi yang paling tampak, seringkali diwujudkan dalam kompleks pelacuran Indonesia yang juga dikenal dengan nama “lokalisasi”, serta dapat ditemukan di seluruh negeri. Bordil ini dikelola di bawah peraturan pemerintah daerah. UNICEF memperkirakan bahwa 30 persen pelacur perempuan di Indonesia adalah wanita yang berusia dibawah 18 tahun.Wisata seks anak juga menjadi masalah, khususnya di pulau-pulau resor seperti di Bali dan Batam.

Prostitusi di Aceh

Meski sudah menerapkan syariat Islam dalam peraturan daerah, prostitusi masih terjadi di Provinsi Aceh. Kasus yang ditemukan paling banyak berada di Banda Aceh dan sebagian besar dikelola oleh pendatang dari luar Aceh. Perempuan yang diperdagangkan masih berusia muda dan mengenakan kerudung untuk mengelabui polisi syariat Aceh (wilayatul hisbah). Tempat yang menjadi lokasi prostitusi yaitu hotel berbintang dan penginapan. Umumnya mucikari atau pengelola prostitusi dikenakan pidana, namun wanita yang diperdagangkan tidak dipidanakan melainkan hanya dikembalikan kepada orang tua masing-masing.[8][9][10] Tidak jarang pelajar perempuan yang masih belajar di SMP dan SMA terlibat dalam praktek prostitusi di Aceh

Prostitusi di Bangka Belitung

Modus prostitusi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dilakukan dengan cara yang variatif. Ada yang melibatkan rema remaja usia di bawah 18 tahun hingga mahasiswi.  Ada juga yang menggunakan modus bangunan komersial seperti kafe dan karaokeyang berlokasi dekat dengan objek wisata namun jauh dari pusat keramaian. Yang lainnya dilakukan secara terselubung oleh pemilik kamar kontrakan dan penginapan.[18][19] Pelaku prostitusi sebagian besar datang dari luar Bangka Belitung.

Prostitusi di Jawa Barat

Di Provinsi Jawa Barat, prostitusi terbanyak dilakukan di kabupaten yang dekat dengan ibu kota Jakarta, seperti Karawang, Bogor, dan Bekasi. Bisnis yang mempekerjakan remaja itu berpotensi menghasilkan omzet hingga miliaran rupiah. Bisnis prostitusi demikian besarnya hingga mampu menunjang suatu bentuk perekonomian yang menggantungkan hidupnya pada bisnis tersebut, seperti pedagang makanan dan penginapan.

Prostitusi di Sulawesi Selatan

Seperti halnya prostitusi di provinsi lain di Indonesia, prostitusi di Sulawesi Selatan pun identik dengan para pelajar berusia di bawah 18 tahun dan dapat menjadi pintu gerbang penyebaran minuman keras dan kriminalitas.Selain di kota besar seperti diMakassar,prostitusi juga terjadi di tempat wisata seperti di Pantai Bira Kabupaten Bulukumba.

Prostitusi di Papua

Doly dari masa ke masa. Foto: Net
Doly dari masa ke masa. Foto: Net
Pada sekitar tahun 1970-an  dunia prostitusi mulai  merambah ‘Tanah Damai Papua’ yang waktu itu masih bernama Irian Barat lantas berubah nama lagi Irian Jaya baru kemudian Papua. Para wanita muda dengan wajah yang rupawan dan badan yang mempesona janda-janda yang suaminya terlibat G30S PKI dan suami mereka di tangkap dan di bawah ke Pulau Buru atau di bawah pergi aparat entah kemana dan tak pernah pulang ke rumah lagi…..!Para janda dari Jawa ini berlayar meninggalkan kampung halaman, menyeberangi lautan luas dengan menumpang kapal Pelni sejenis KM Towuti, Km Tobelo maupun KM Tampomas I dan lain sebagainya. Mendaratlah mereka di Dermaga Jayapura yang terletaknya indah di bibir Teluk Yotefa. Mereka. para wanita janda berusia muda ini bertekad memuali hidup baru dan berusaha mengubur atau melupakan trauma politik yang begitu menakutkan mereka kala itu. Janda-janda yang rupawan ayu itu menyewa rumah – rumah petak penduduk di daerah Argapura yang berdekatan dengan gereja Katolik ke Barat dan kantor Sinode GKI Papua ke arah Timur.
Jadi kampung prostitusi ilegal itu terjepit di antara gereja dan kantor Sinode. ”Setiap malam tempat pelacuran itu seperti layaknya pasar malam yang dihiasi lampu-lampu petromaks maupun lampu teplok di dalam bilik-bilik kamar karena PLN sering padam “, ujar Tete (kakek) Imbiri (75) yang tinggal di Argapura pantai.
Karena letaknya di jalur utama arah Jayapura ke Hamadi maupun ke Abepura dan ada gereja di sana rasanya kurang elok di lihat pada hari minggu saat Umat ke gereja bersamaan dengan lelaki hidung belang yang berpelesiran ke lokalisasi ilegal itu. Oleh pemerintah kota Jayapura di carilah tempat yang saat itu dianggap sudah jauh dari pusat kota, yaitu di tepi danau Sentani di bangunlah dua buah bangsal  besar dengan kamar-kamar petaknya untuk para janda tersebut. Dan tempat prostitusi itu di beri nama Tanjung Hubay. Resmilah para janda pelarian dari Jawa itu menjadi pramuria  angkatan pertama dan perintis dalam dunia pelacuran di Papua. lelaki hidung belang segala bangsa dan rupa , pegawai negeri maupun swasta , pedagang,pelaut selalu rame mengunjungi tempat itu sekedar mencari kesenangan dan kebahagiaan semu.Sehingga tibalah pria Cina berbadan sterek dan kekar bernama  Lung lung , bekerja sebagai nahkoda kapal kargo China yang melayari rute China – Jakarta – Surabaya – makassar – Jayapura mengangkut barang kebutuhan pokok masyarakat Papua dan membawa hasil hutan berupa kayu serta kulit buaya maupun kopra (kelapa) dari Papua ke China. Kapal berbobot mati 60 ribut ton itu merupakan pemandangan indah tersendiri bagi masyarakat bila hendak merapat ke dermaga Jayapura.Pasti seluruh masyarakat menonton dari tepi pantai, melihat kapal raksasa itu. Kapten Lung lung dengan uniform nahkoda lengkap berdiri di anjungan memberi aba-aba pada perwira kapal maupun ABK dalam proses penyandaran kapal ke Jembatan.Setiap dua bulan sekali kapal raksasa itu memasuki kota Jayapura menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat Jayapura yang memang haus hiburan.Saat melego jangkar di Jayapura maka Nahkoda Lung lung pun pergi ke tanjung Hubay untuk melempar kail nya pula. Hati Sang nahkoda pun tergoda oleh seorang janda muda yang berwajah ayu lembut yang berasal dari Trenggalek – Jawa Timur yang bekerja sebagai pramuria di kompleks prostitusi itu. Hubungan asmara mereka berdua terjalin dengan mesra dan pernah si pramuria berlayar sebagai penumpang gelap di kapal nahkoda Lung lung hilir mudik hampir setahun dari Jayapura ke China PP, tanpa  memiliki pasport dan dokumen lainnya.Hingga kejadian di tahun Baru  1973 , ketika malam itu Kapteng Lung lung menenggak Wisky ‘Jhonny  Walker’ hampir sebotol habis dan menelan obat penambah tenaga saat akan berkencan hebat dengan sang kekasih di tanjung Hubay . Ketika sedang bermesraan itu, tiba-tiba nahkoda Lung lung terkena serangan jantung dan Kapten Lung lung terjerembab di antara paha sang pacarnya. ……… dan sang pramuria pun terpukul dan sangat bersedih hati karena saat itu Ia sedang mengandung tiga bulan yang merupakan janin hasil cinta kasih Dia dan Kapten Lung lung. Jenazah Nahkoda Lung-lung  di urus Oleh kedutaan Singapura di Indonesia dan di bawah ke RRC kampung halamannya.Oleh pemerintah kecamatan di bangunlah sebuah tugu kecil di seputar Tanjung Hubay untuk mengenang Nahkoda itu. Pada Tugu tertulis  ; Di sinilah di bangun Tugu Kapitan Lung Lung, Nahkoda pemberani……,tapi karena jaman itu masyarakat sekitar kampung situ belum bisa membaca maka di sebut tugu itu dengan sebutan Tugu ‘ Cinamadipa ‘…..yang artinya tugu Cina mati di atas  Paha. [dari berbagai sumber/http://atjehpress.com/]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar