Selasa, 03 Juni 2014

Patologi Sosial Prostitusi

Ditemukannya PSK yang masih berstatus siswa salah satu SMA di Kota Ternate membuat kita terperanjat. Bagaimana bisa seorang yang sedang duduk di bangku sekolah, kemudian berprofesi ganda sebagai PSK?
Istilah “PSK” ini sebenarnya dilematis. Kepanjangannya “Pekerja Seks Komersial.” Ada kesan dalam istilah ini bahwa pelacuran adalah bagian dari pekerjaan. Mereka bekerja dengan menjajakan seks untuk mendapatkan bayaran. Ada kesan di sini, kita (bisa jadi pemerintah, pers, atau seluruh anak bangsa)—lewat istilah “PSK” itu—tidak bersungguh-sungguh untuk menanggulanginya, bahkan menganggapnya sebagai “pekerjaan” dan mengakomodasi tindakan tercela seperti itu.
Gejala Patologis
Pelacuran atau prostitusi berasal dari Bahasa Latin “prostituere” yang berarti “menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum.” Kata “pelacuran” yang kerap kita pakai di Indonesia umumnya, dirumuskan sebagai “penyerahan badan wanita dengan pembayaran kepada laki-laki guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu” (Dirdjosisworo, 1970).
Fenomena pelacuran adalah bagian dari gejala patologis (sakit/abnormal) yang ada di masyarakat kota. Di desa-desa, hal seperti ini jarang terjadi. Tapi di kota—terutama yang mobilitas penduduknya bagus—kerap saja terjadi pelacuran. Fenomena ini terjadi di berbagai tempat. Di kota besar seperti Jakarta, sampai saat ini masih tidak bisa lepas dari fenomena itu. Walau lokalisasi Kramat Tunggak telah dialihfungsikan menjadi Islamic Center, tapi fenomena patologis ini masih tetap ada. Begitu juga di Surabaya, lokalisasi Dolly dibuat karena ada bagian dari masyarakat yang “sakit.”
Kenapa bisa ada anak sekolahan yang berprofesi sebagai PSK? Ada beberapa sebabnya. Pertama, faktor ekonomi. Bisa jadi, ia melakukan tindakan haram itu karena terjepit secara ekonomi. Orang tuanya pas-pasan, adiknya juga banyak, akhirnya untuk menutupi kebutuhan hidupnya, maka ia mencari jalan pintas untuk dapat uang, yaitu dengan melacur. Bagi anak sekolah seperti ini, bisa jadi ia tidak menganggap ini sebagai pelacuran (kata “pelacur” masih konotatif sifatnya). Ia menganggapnya sebagai salah satu cara untuk mendapatkan uang. Jadi, faktor halal dan haram (yang ada dalam agama) terlupakan begitu saja.
Siswa yang melakukan tindakan seperti itu, bisa jadi juga karena ia tinggal di kos-kosan dan jauh dari keluarga. Ini masih senada dengan faktor ekonomi. Keluarganya berada di daerah, di sana pendapatan mereka tidak begitu menggembirakan, akhirnya untuk menutupi kebutuhannya di sekolah dan biaya sehari-hari, maka ia berbuat seperti itu. Ini menjadi problema tersendiri dalam masyarakat kota yang sedang berkembang.
Kedua, faktor urbanisasi. Di Jakarta, misalnya, biasanya setelah Idul Fitri, banyak pemudik baru yang datang ke kota. Mereka bertujuan untuk mencari nafkah. Tapi, di kota besar ini—apalagi jika minim skill—seseorang akan tergusur dan akan—mengutip istilah dalam birokrasi kita—di-“non-job”-kan oleh kehidupan. Karena tidak dapat kesempatan kerja, akhirnya ada saja yang mencari jalan pintas. Mungkin saja ia berpikir bahwa ia sendiri pernah melakukan pacaran, dan itu sudah lumrah. Akhirnya, ia terjun ke dalam “pekerjaan” seperti itu. Sikap seperti ini ada saja terjadi. Terdapat kesan, betapa rapuhnya nilai-nilai susila dan keagamaan dalam masyarakat.
Begitu juga yang datang ke kota Ternate. Mereka ke sini dengan berbagai motif. Ada yang datang karena ingin mencari kerja, atau ada juga yang sekedar iseng jalan-jalan, namun tidak bisa pulang. Mereka yang mencari kerja ini, bisa jadi memang sejak awal sudah memiliki “kesalahan” dalam hubungan dengan kawan dekatnya, kemudian ketika tiba di Ternate, mereka mau tak mau mengikuti kehendaknya untuk itu (dengan pertimbangan cari makan).
Ketiga, faktor psikologis. Bisa jadi, seseorang jadi PSK karena ingin balas dendam. Mungkin, karena pusing dengan pacarnya (atau mantan pacarnya), sehingga ia memilih untuk itu. Ia sepertinya ingin buktikan bahwa ia juga bisa. Lagu-lagu Indonesia yang banyak menyenandungkan masalah selingkuh, turut juga memberikan pengaruh bagi mereka. Mereka berpikir, “kalau pacarku bisa selingkuh, aku juga bisa!” (sebuah sikap hidup yang jauh dari kadar rasionalitas). Dimulai dari kata “selingkuh” itu, akhirnya lama-lama ia berpikir bagaimana mendapatkan uang, tapi tetap enak, jadilah ia melacur (secara sadar atau tidak sadar).
Faktor mode juga menentukan di sini. Ada kalanya karena ingin ikut-ikutan sama teman, akhirnya terjerumus. Keinginan untuk mendapatkan barang yang bagus di mall atau toko turut memberikan mereka stimulus untuk itu. Ini masih terkait dengan ekonomi. Ia ingin pakai barang mahal (seperti HP bagus, android tablet, atau pakaian modis nan mahal berkelas), namun tidak ada uang. Kemudian, di sisi lain, ada saja laki-laki berduit yang mencari anak-anak ABG. Akhirnya, perantara yang mencarikan itu (tentu dengan imbalan) juga berusaha keras untuk memuaskan pelanggan hotelnya itu. Peran pihak hotel juga menentukan di sini. Jika ada oknumnya yang menjadi perantara bagi seks terselubung ini, maka perlu diberikan sanksi, kalau perlu diadukan ke polisi.
Solusi Terbaik
Untuk menanggulangi pelacuran, ada beberapa solusi yang baik dilakukan. Pertama, untuk perlu ada penggalakan nilai keagamaan di sekolah. Bukan sekedar kegiatan seremonial seperti peringatan Isra Mi’raj, akan tetapi ada pembinaan keislaman yang berkelanjutan. Misalnya, siswa-siswa diberikan kewajiban untuk mengikuti pengajian rutin mingguan dengan hafalan ayat-ayat al-Qur’an (bagi yang telah lancar mengajinya). Pendekatan agama penting untuk hal ini, karena agamalah yang setidaknya bisa jadi fungsi penekan agar manusia tidak berlaku zhalim. Selain itu, dengan adanya lingkungan sekolah yang peduli agama, akan memberikan efek kepada siswa bahwa mereka juga harus berlaku yang sesuai agama.
Kedua, ada baiknya pemerintah lebih serius untuk membuka lapangan kerja. Anak sekolah yang terjun menjadi PSK bisa jadi karena tidak ada uang. Namun, itu juga ada kemungkinan dipengaruhi oleh “senior-senior”-nya yang telah jadi PSK. Nah, bagi mereka yang sudah lama jadi PSK, ada baiknya tidak hanya didata, tapi diberikan peluang pekerjaan. Pemerintah perlu bekerjasama dengan lembaga-lembaga sosial atau ekonomi agar memberdayakan mereka dan meminta komitmennya untuk berhenti dari perbuatan haram tersebut.
Ketiga, peran besar keluarga. Keluarga adalah tempat pertama seorang anak mendapatkan pendidikan. Maka, pendidikan keluarga perlu diperhatikan. Orang tua jangan hanya menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah. Ia harus perhatikan bagaimana anaknya bergaul. Jika anaknya itu punya akun seperti Facebook, maka orang tua juga ada baiknya mengetahui dengan siapa ia bergaul, apa saja yang dilakukannya kalau online, karena tidak menutupkemungkinan ada saja pengaruh pergaulan negatif dari dunia maya yang berdampak dalam kehidupan nyata. Olehnya itu, pihak keluarga perlu memperhatikan dengan baik anak-anak yang menjadi tanggungannya agar tidak terjerumus dalam tindak yang asusila. [YANUARDI SYUKUR/http://yanuardisyukur.wordpress.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar