Lokalisasi yang digaung-gaungkan agar mengurung praktek prostitusi pun gagal. Di Jakarta tetap bermunculan tempat-tempat prostitusi illegal dalam berbagai rupa
AWM
Oleh: Beggy Rizkiyansyah
DI SURAKARTA, tahun 1961, di Kampung Silir ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi. Dolly di Surabaya, Komplek Sunan Kuning di Semarang, Kalisari di Malang menjadi tempat-tempat yang di tetapkan sebagai lokalisasi. Berbagai rencana, seperti registrasi pelacur, pemeriksaan, hingga balai pelatihan bagi pelacur, agar siap ketika kembali ke masyarakat di cetuskan. Namun yang tetap hangat dibicarakan hingga kini adalah Kramat Tunggak. Terletak di Jakarta, dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok, posisi Kramat Tunggak sebagai lokalisasi menarik untuk ditilik lebih mendalam, selain karena kedudukannya di Ibukota, Kramat Tunggak juga mengundang kontroversi.
Kontroversi merebak ketika Gubernur DKI, Ali Sadikin menetapkan kebijakan lokalisasi prostitusi dalam suatu wilayah, yaitu Kramat Tunggak. Ali Sadikin yang menjabat menjadi Gubernur DKI sejak 1966, beralasan bahwa;
“Waktu itu pun saya akui, bahwa pemberantasan pelacuran memang masalah yang sangat sulit. Pekerjaan itu sudah merupakan mata pencaharian mereka. Tapi Pemda DKI tidak dapat membenarkan atau mendiamkan saja perbuatan yang asosial itu dilakukan di tempat-tempat ramai, ditempat-tempat terbuka.“ [Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977. Ramadhan KH, Sinar Harapan 1992]
Bagi Ali Sadikin mustahil untuk menghentikan para pelacur begitu saja. Karena persoalan ini berkaitan dengan pekerjaan dan uang. “Orang berkata, wanita ‘P’ (maksudnya Pelacur) itu harus ditampung dan disalurkan ke berbagai proyek setelah diindoktrinasi. Saya tidak sepaham dengan jalan pikiran itu. Karena jumlahnya puluhan ribu, sementara penganggur pun tidak sedikit jumlahnya. Di samping itu, wanita-wanita ‘P’ itu sudah keenakan dengan pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan duit. Pemecahannya, saya pilih melokalisasi mereka.”
Ali Sadikin memilih lokalisasi setelah melakukan perbandingan dnegan industri seks yang dilokalisasi di Bangkok. Semangat awalnya memang masalah penertiban, meski diiringi oleh alasan persoalan pengendalian penyakit menular akibat prostitusi. Maka sejak saat tahun 1970, Jakarta mulai melokalisasi prostitusi di kawasan Kramat Tunggak, dan melarang praktek prostitusi di wilayah lain di Jakarta.
Teorinya, para pelacur yang beroperasi di Kramat Tunggak direncanakan hanya sementara, sambil direhabilitasi, mendapatkan pelatihan. Kehadiran mereka maksimal hanya lima tahun atau maksimal usia 35 tahun (dan minimal 17 tahun untuk dapat diterima di lokasi itu). Pemeriksaan kesehatan berkala juga menjadi salah satu tujuan adanya lokalisasi tersebut.
Kenyataan memang tak seindah teorinya. Di Kramat Tunggak, ketika tempat itu baru dibuka, terdapat 1668 pelacur dan 348 germo. Namun pada awal tahun 1990-an, Kramat Tunggak sudah disesaki 2000 pelacur dan 230 germo. Rehabilitasi yang diharapkan pun tak berjalan mulus, karena meski menurut laporan, setiap tahunnya Kramat Tunggak ‘meluluskan’ sekitar 600 pelacur, namun sebagian pelacur ini hanya berpindah tempat saja. Mereka pindah ke daerah-daerah lain yang mampu menampung mereka.
Lokalisasi yang digaung-gaungkan agar mengurung praktek prostitusi pun gagal. Di Jakarta tetap bermunculan tempat-tempat prostitusi illegal dalam berbagai rupa. Di daerah Harmoni-Kota bermunculan prostitusi dengan berbagai kedok. Bahkan muncul pula di daerah Kalijodo, prostitusi dengan segmen menengah bawah, seperti halnya Kramat Tunggak. Prostitusi kelas atas selain di Harmoni-Kota, muncul pula di daerah blok P, Jakarta Selatan.
Soal pengendalian masalah kesehatan seperti yang seringkali digaungkan oleh pendukung lokalisasi, juga tak bisa diharapkan. Hal ini terlihat misalnya dari Kramat Tunggak. Pemakaian kondom, yang seringkali dijadikan jalan keluar untuk mengatasi penyakit menular seperti HIV-Aids, tak menemui hasil yang diharapkan. Pada tahun 1995, Endang Sedyaningsih melakukan survey pemakain kondom di Kramat Tunggak. Tingkat pemakaian kondom hanya berkisar separuh dari kegiatan seksual yang terjadi. [Reporducibility and Validity of Self Reported Condom Use in Jakarta. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine & Public Health. Vol 34 No. 1,March 2003.]
Pemakaian kondom yang berlanjut memang tampaknya sulit. Hal ini diperkirakan terjadi karena posisi pelacur yang tak mampu untuk memiliki posisi tawar dihadapan para ‘tamu’ mereka. Tak semua ‘tamu’ mau untuk memakai kondom tersebut. Faktor persaingan menjadi faktor penting. Persaingan begitu ketat, membuat pelacur tak ingin tamu mereka berpaling. Lagipula, pemakaian kondom adalah persoalan yang amat ‘pribadi,’ yang sulit untuk diawasi. Dan terlepas semua hal itu, efektivitas kondom untuk mencegah virus HIV sendiri masih menjadi kontroversi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dadang Hawari, menyatakan kondom telah gagal untuk melindungi dari virus HIV.[Kondom Telah Gagal, www.republika.co.id, 27 Juni 2012]
Kegagalan-kegagalan yang dialami oleh Kramat Tunggak, dan tampaknya berbagai lokalisasi lain di Indonesia, mulai dari gagal untuk melokalisir prostitusi, hingga sulit untuk mencapai target pengendalian masalah kesehatan, tampaknya tak juga menjadi pelajaran bagi sebagian kalangan di Indonesia, yang tetap menyuarakan lokalisasi, bahkan hingga saat ini.
Para perempuan yang terjerembab dalam prostitusi, umumnya bertolak dari masalah kesulitan ekonomi. Pengangguran dan kemiskinan akan terus menghasilkan suplai pelacur yang tanpa henti bagi dunia prostitusi. Bahkan hal ini juga menciptakan wabah perdagangan manusia termasuk anak, yang semakin mengerikan. Suplai (pelacur) yang berlebihan akibat kesulitan ekonomi, mengakibatkan para pelacur tentu saja dalam posisi yang lemah dihadapan para pelaku perdagangan manusia dan para pria hidung belang.
Suplai pelacur dengan harga murah semakin membanjiri dunia prostitusi akibat kemiskinan yang terus mendera Indonesia. Dalam dunia prostitusi sendiri, perempuan yang dicari semakin muda, bahkan hingga anak-anak. Dengan suplai yang membanjir, akan terbuka pintu perdagangan manusia yang tak henti-hentinya. Lokalisasi dan segala perangkat aturannya, tak ada artinya, dengan kehadiran para pelacur yang saling bersaing dan dalam posisi yang lemah. Amat penting untuk memahami cara bekerja industri prostitusi ini, agar tidak terjebak pada solusi semu semacam lokalisasi.
Seringkali lokalisasi dianggap sebagai solusi. Dikatakan, lokalisasi lebih baik daripada prostitusi jalanan yang kejam dan tak bisa diawasi. Nyatanya, dari zaman kolonial, hingga Kramat Tunggak, bahkan hingga saat ini, lokalisasi kerap terperosok lembah kegagalan. Prositusi jalanan tetap berkibar di tempat lain, meski telah hadir lokalisasi. Kegagalan demi kegaglan menghampiri, baik soal pembatasan wilayah prostitusi, hingga soal pengendalian masalah kesehatan. Sudi kiranya kita tengok sejenak sebuah contoh kegagalan legalisasi prostitusi di masa kini, yaitu di Jerman.
Tahun 2001, parlemen Jerman dengan dukungan Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau meloloskan undang-undang prostitusi, yang bertujuan agar prostitusi bisa sejajar dengan profesi lain seperti dokter, teller dan sebagainya. Harapan pendukung UU tersebut, para pelacur dapat memiliki lingkungan pekerjaan yang kondusif, dengan perlindungan asuransi, program pensiun dan lainnya. Tentu saja diharapkan juga pajak yang menjadi pemasukan negara. Menurut mereka, dengan melegalisasi prostitusi, maka perempuan akan teremansipasi.
Namun hal ini hanyalah impian semata. Perempuan (pelacur) semakin tertindas dengan legalisasi ini. Perdagangan manusia meningkat, khususnya perempuan-perempuan dari negara miskin di Eropa Timur, termasuk Rumania. Jejaring mafia menjadi perangkap bagi para perempuan. [Unprotected: How Legalizing Prostitution Has Failed, Der Spiegel, 30 Mei 2013]
Berpaling ke Swedia?
Kegagalan legalisasi di Jerman, membuat beberapa pihak di sana mulai menyuarakan Jerman untuk berpaling ke Swedia dalam hal penanganan prostitusi. Swedia memang menjadi contoh bagi beberapa negara lain terkait kebijakan prostitusi. Negara-negara seperti Finlandia dan Norwegia mulai menerapkan kebijakan ala Swedia, yang disesuaikan dengan negara masing-masing.
Pada 1 Januari 1999, Swedia menerapkan UU yang melarang orang membeli jasa layanan seksual. Setiap pria yang membeli (jasa seks) dari perempuan (atau laki-laki) akan dikenakan hukuman. UU ini hanya menghukum si pembeli (buyer), bukan yang menjual. Jadi dalam tindak prostitusi, pelacur tidak dihukum, tetapi diberikan konseling, pendidikan dan pelatihan kerja agar dapat terlepas dari situasi prostitusi. [The Swedish Law That Prohibits The Purchase of A Sexual Service: Best Practices for Prevention of Prostitution and Trafficking in Human Beings, Gunilla Ekberg, Journal Violence Against Woman. 2004. 10: 1187-1218. Sage Publications, United States: 2004]
Tahun 1999 diperkirakan 125.000 pria membeli (jasa seks) 2500 pelacur (650 diantaranya pelacur jalanan). Tahun 2004, prostitusi berkurang 30-50%. Perempuan baru yang menjadi pelacur, berkurang separuhnya. Hal ini tentu sebuah prestasi, dibandingkan negara lain, jumlah pelacurnya yang cenderung meningkat. Bahkan tingkat perdagangan manusia, terutama dari Eropa Timur ke Swedia cenderung konstan, berbanding terbalik dengan negara-negara lain seperti Denmark yang terus meningkat.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah, metode Swedia untuk memerangi prostitusi dengan mengesampingkan lokalisasi dan melarang prostitusi dengan menghukum pembeli (buyer), adalah satu bukti nyata, masih ada cara lain selain lokalisasi. Orang-orang yang kerap menyuarakan lokalisasi karena menghindari prostitusi jalanan, sebaiknya tak menutup mata terhadap metode Swedia dalam hal ini. Mereka memerangi prostitusi yang terbukti mengurangi secara drastis prostitusi, termasuk prostitusi jalanan.
Swedia sebagai negara sekuler menerapkan kebijakan ini, bertolak dari upaya mencapai kesetaraan gender. Suatu titik tolak yang berbeda dari kita di Indonesia. Indonesia sebagai Negara Berketuhanan Yang Maha Esa, tentu memandang prostitusi sebagai perbuatan nista, pelacur sebagai profesi amoral. Namun metode yang diterapkan Swedia untuk menghukum pembeli (buyer) perlu kita pertimbangkan, mengingat KUHP di Indonesia masih belum menghukum pembeli (buyer). Dengan menghukum pembeli, maka kita dapat berupaya memutus rantai permintaan (demand) terhadap prostitusi. Dengan memutus permintaan (demand), suplai yang banyak pun tak berarti lagi. Adalah sia-sia jika kerap (berusaha) memutus suplai yang melimpah tapi tak mematikan permintaannya.
Persoalan prostitusi memang bukan hal mudah. Ada banyak faktor yang turut berperan di dalamnya. Seperti pemahaman agama. Kenyataannya pemahaman (dan ketaatan) terhadap agama berperan dalam menghentikan orang terjerumus prostitusi. Pemahaman yang baik mengenai sebuah institusi bernama pernikahan penting bagi masyarakat. Ulama-ulama agar dapat lebih merasuk ke daerah-daerah rawan penyedia pelacur. Sebuah contoh kasus, adalah, sebuah daerah di Jawa Barat, yang sebagian masyarakatnya, memaklumi profesi pelacur. Orang tua menyerahkan anak gadisnya dengan sukarela untuk menjadi pelacur kepada para makelar prostitusi. [Girls for Sale: Indramayu’s Prostitution Production Line,http://www.theage.com.au, 13 Maret 2015]
Faktornya tidak sebatas ekonomi, tetapi juga gaya hidup sebagian masyarakatnya. Belum lagi faktor pendorong seperti pornografi yang semakin beredar luas di masyarakat.
Faktor ekonomi memang menjadi fakor pendorong terbesar dalam mendorong perempuan untuk menjadi pelacur. Selama faktor ekonomi, kurangnya lapangan pekerjaan (di daerah), ketimpangan ekonomi tak dibenahi, akan semakin sulit memerangi prostitusi. Meski demikian, lokalisasi bukanlah jalan keluar. Kegagalannnya sudah terbukti berkali-kali. Namun solusi melarang prostitusi tanpa pengembangan metode pun adalah sebuah upaya yang cenderung sia-sia.
Dunia prositusi semakin berkembang pesat. Prostitusi online adalah sebuah fenomena baru yang nyata di depan (layar monitor) kita. Sebuah penelitan menyebutkan, prostitusi online memiliki aspek yang berbeda dari prostitusi konvensional. Ada argumen prostitusi online perlahan menggantikan prostitusi jalanan, namun ia tak menggantikan prostitusi yang terorganisir.[The Changing Face of Sex Work, Cunningham, Scott & Todd B. Kendall, Journal of Urban Economics. Vol. 69. No. 3. May 2011. ]
Sebuah tantangan yang tak bisa diselesaikan dengan cara-cara kuno, seperti lokalisasi.
Terlepas dari berbagai argumen yang berkembang di masyarakat, penting bagi kita untuk memahami, apa pun metode yang digunakan untuk memerangi prosittusi harus bertolak dari pelanggaran nilai-nilai agama dan penyimpangan moral di Indonesia. Bukan bertolak dari pengendalian kesehatan atau ketertiban sosial, karena Indonesia Negara berdasar Ketuhanan, bukan kesetanan.*
Penulis adalah pemerhati masalah sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar