Sabtu, 18 Juli 2015

Nenek Lilik, Melawan Bodyguard Gang Dolly sampai Giginya Rontok




Usia : 51 tahun
Profesi : Aktivis Yayasan Abdi Asih
Domisili : Surabaya, Jatim
Kegiatannya : Memberi Pendampingan dan Penyadaran bagi para PSK di kawasan Lokalisasi Dollly Surabaya

Hati Vera menjerit saat didatangi anak perempuan 15 tahun pengidap infeksi menular seksual.

Pagi baru menginjak pukul 9.00 tapi terik sang surya di kota Surabaya terasa menyengat. Namun, di sebuah rumah sempit yang terletak di ujung jalan Dukuh Kupang Timur XIII, seorang wanita setengah baya tetap berjuang mempertahankan eksistensinya sebagai "Srikandi Gang Dolly".
Dengan usia menapak 51 tahun, Lilik "Vera" Sulistyowati tak lagi muda. Tapi semangatnya tetap membara kendati air matanya sesekali menetes ketika mengenang awal mula dia memperjuangkan hak-hak kaum wanita yang tertindas di Gang Dolly, Surabaya, komplek pelacuran yang cukup tersohor di Asia Tenggara.

Sejak kecil Vera sudah tertarik untuk membantu orang yang sedang dalam kesusahan. Ia sering mencuri jatah beras ayahnya yang anggota ABRI, untuk dibagikan pada orang-orang yang kelaparan. "Tak jarang ia kena marah bila aksi ini diketahui orang tuanya
Vera terusik "masuk" ke Gang Dolly setelah membaca berita di koran bahwa wanita di sini sering disiksa, diperlakukan tidak manusiawi, bahkan ada yang menjadi korban pembunuhan. "Hati saya terketuk untuk mengulurkan tangan dan mengentaskan mereka agar diberikan hak yang sama seperti wanita pada umumnya," ucapnya tegas.

Ia tengah hamil delapan bulan saat ditinggal suaminya pada tahun 1987 karena kecelakaan lalu lintas. Setelah itulah dia mulai menjamah Gang Dolly. Kala itu ia perjuang agar hak-hak pekerja seks komersial (PSK) diberikan sebagaimana mestinya. Salah satunya saat diberikan suntikan pinicylin dengan hanya 1 jarum untuk sepuluh orang.

Namun usahanya tak semudah seperti membalikkan telapak tangan karena dia harus menghadapi bodyguard komplek tersebut. Saat dia masuk untuk mengulurkan tangannya pada wanita lemah di sana, bukan sapaan yang diterimanya, tetapi pukulan keras yang membuat beberapa gigi depannya tanggal. Ganjalan lain juga datang dari keluarga dan orang dekat. Orang tuanya memisahkan Vera dari anak-anaknya. Bahkan ada yang menganggapnya gila atau malah memanfaatkan perempuan Dolly.

Meski banyak tantangan ia tetap gigih, bahkan sampai menyamar menjadi penjual jamu dan bartender. Dengan penyaraman ini ia bisa melihat permasalahan dengan lebih nyata. Langkah pemberdayaan yang dilakukannya ketika itu adalah dengan mengadakan arisan bersama dengan para mucikari. "Dengan arisan ini diharapan tidak ada lagi kecemburuan sosial dan pembunuhan di sana karena permasalahan bisa diselesaikan dengan baik," katanya.

Pada tahun 1991, timbul kesadaran untuk mendirikan lembaga yang mewadahi aktifitasnya di Dolly. "Dengan adanya lembaga, kegiatan bisa dilakukan lebih efektif dan melibatkan berbagai pihak terkait," ujar Vera Setelah itulah Yayasan Abdi Asih berdiri dan menjalankan aksi sosialnya.

"Saya tidak menyuruh para PSK untuk keluar dari kompleks pelacuran tetapi ayo belajar. Meski kini mereka bergelimang uang tetapi masa depan adalah yang utama dan mereka termotivasi untuk belajar tata boga, menjahit serta kecantikan. Hal ini sebagai bekal agar mereka bisa mandiri setelah tua nanti," tegasnya.

Vera juga tergelitik untuk mencegah terjadinya pelacuran anak di bawah umur. Hati Pejuang Martabat perempuan Dolly ini menjerit saat didatangi anak remaja usia15 tahun yang tertular IMS. Bapak dan ibunya minggat entah kemana dan dia harus menghidupi adik-adiknya sehingga harus rela menjual dirinya meski taruhannya organ wanitanya rusak. Vera terus membimbingnya dan pada suatu hari dia lebih terbuka untuk menceritakan apa yang menimpa dirinya.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang kehidupan sosial anak-anak yang kurang beruntung, Vera rela begadang di kuburan hingga pagi menjelang. "Betapa sedihnya saya, laki-laki kecil yang malang bersodomi di atas makam, gadis kecil yang menjajakan tubuhnya. Untuk lebih dekat dengan mereka, saya rela ngobrol bersamanya hingga jam 1 dinihari. Mau jadi apa generasi muda bangsa ini jika saya hanya duduk di belakang meja," cerita Vera, lirih..

Melalui Yayasan Abdi Asih, Vera memberikan lapangan pekerjaan bagi anak-anak putus sekolah untuk menggunting bahan perca untuk dibuat selimut. Bola-bola tahu hasil praktek tata bahkan dipasarkan di swalayan. Upahnya lumayan, Rp 20 ribu/hari dengan tambahan makan. Dengan begitu anak-anak ini bisa kembali ke bangku sekolah. Abdi Asih telah menelurkan lebih dari seribu siswa didik dari kalangan PSK, ibu-ibu yang menghadapi masalah rumah tangga serta remaja putus sekolah.

Selain dari hasil berjualan jasa boga dan menjahit baju anak-anak dan selimut, Vera memperoleh pendanaan untuk traficking dari lembaga di Amerika, Save the Children yang dicairkan melalui Dinas Sosial Kota Surabaya.

Vera mengaku menemukan kebahagiaan sejati ketika menghantarkan anak-anak saya ke gerbang keberhasilan. Ia tidak menyesal saat tiga rumah yang dimilikinya dulu terjual untuk membiayai aktivitasnya di Dolly. Itu terbayar saat melihat anak-anak itu bisa hidup mapan. Saya juga masih ingin menghabiskan sisa hidup saya di tempat yang sempit ini," ujar nenek dengan 3 cucu ini.
sumber: http://forum.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar