Jumat, 17 Juli 2015

Kampus, Sekolah dan Prostitusi Terselubung


Di Kota Padang memang tidak pernah ada lokalisasi. Berbeda halnya di Jakarta, yang dulu dikenal dengan Kramat Tunggak, loka­lisasi Doli di Surabaya (baru satu tahun lalu diberangus) atau lokalisasi Teluk Pandan di Batam dan lainnya. Namun, meskipun di Padang tidak ada lokalisasi, bukan berarti Ibukota Sumatera Barat ini terbebas dari praktik prostitusi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Prositusi juga disebut sebagai pelacuran.
Menjelang Bulan Ramadhan 1436 H, atau dalam waktu lebih kurang 10 hari lalu sebelum Ramadhan, jajaran Polresta Padang berhasil mengungkap lima jaringan bisnis prostitusi di Kota Bengkuang. Ironisnya, mucikari atau yang menjajakan wanita tersebut ada yang bersatus sebagai mahasiswa dan bahkan ada pula yang masih berstatus sebagai pelajar SLTA. Sedangkan status wanita yang dijualnya ke pria hidung belang juga beragam. Ada yang masih pelajar, mahasiswa dan ada pula orang umum.
Karena di Kota Padang tidak ada lokalisasi dan nilai-nilai filosofi adat basandi syarak, syarak besandi kitabullah terus didengung-dengungkan bahkan menjadi barang jualan pemerintah daerah, maka kegiatan prostitusi berlangsung secara diam-diam atau ter­selubung. Sangat tabu pihak hotel atau penginapan di Kota Padang yang berani terang-terangan menawarkan jasa service layanan wanita pemuas nasfu atau dengan istilah ‘short time mas/pak’ seperti halnya di kota-kota besar/metropolitan Tanah Air.
Jika ingin mendapatkan jasa layanan para PSK terselubung itu, harus melalui jaringan. Sulitkah mengakses jaringan itu. Tidak? Mereka ada di tempat-tempat hiburan malam, seperti karaoke, musik room, life music di hotel-hotel Kota Padang. Karena itu pada beberapa titik di Kota Padang, seperti di Jl. Bundo Kanduang, Jl. Diponegoro, Jl. Nipah, Jalan Sumatera dan lainnya nyaris setiap malam ditemukan banyak perempuan yang mendatangi tempat-tempat hiburan di kawasan tersebut.
Karena fakta sudah terungkap, bahwa yang terlibat dalam prostitusi itu ada pelajar dan mahasiswa, maka para orang tua mesti lebih meningkatkan pengawasan terhadap anaknya. Begitu juga dengan pemilik rumah kontrakan atau kos-kosan mesti meningkatkan pengawasan terhadap anak kos-kosannya. Tentu pemilik kos-kosannya semestinya juga memiliki kesadaran bahwa mereka juga punya tanggung jawab sosial yang juga mesti mereka laksanakan dalam hal mengawasi perilaku melenceng dari anak kosnya. Begitu juga dengan lingkungan kos-kosan, seperti RT dan RW seyogiyanya juga memiliki kepedulian sosial terhadap anak kos-kosan yang ada di lingkungannya.
Selain itu pihak sekolah dan kampus jangan lepas tangan saja atas fenomena pelajar dan mahasiswa yang terlibat dalam jaringan prostitusi. Kalau pihak sekolah barangkali sudah cukup wanti-wanti terhadap anak didiknya agar jangan pernah terlibat dalam kegiatan prostitusi. Ancaman bagi pelajar yang ketahuan melajalani profesi seperti sangat tegas, yakni dike­luarkan dari sekolah.
Sedangkan peran pihak kampus dalam menangani persoalan-persoalan seperti nyaris nihil. Pihak kampus sepertinya kurang tanggap dengan fenomena keter­libatan mahasiswanya dalam kegiatan prostitusi. Sebagian mahasiswa baik negeri atau swasta pergi ke kampus mengenakan pakaian sopan, bahkan berjilbab.
Tapi sepulang dari kampus, sore atau menjelang tengah malam mereka dijembut mobil sedan atau jenis mini bus. Ciri mobil tersebut, ciri kepemilikan orang muda, seperti ceper, kaca film hitam tebal, musik dihidupkan sedikit keras dengan sound system terpilih, knalpot racing dan lainnya. Dandanan si mahasiswi tadi langsung bertolak belakang dengan dandanan saat ke kampus. Terkadang pakai baju lengan pendek, pusar tampak, rok di atas lutut dan lipstick serta bedak yang mencolok. Parfumnya pun kadang sangat menyeruak.
Semestinya pihak kampus memerhatikan hal ini. Apalagi dengan rasio jumlah dosen dan mahasiswa 1:30, sangat memungkinkan pihak kampus melalui para dosennya memberikan perhatian terhadap mahasiswa yang kehidupannya melenceng dari nilai-nilai yang dijunjung di Ranah Minangkabau. Selain merusak mental, pergaulan  bebas seperti itu juga sangat berisiko, seperti terjangkit  HIV/AIDS terlibat jaringan narkoba dan lain sebagainya. **
sumber: http://www.harianhaluan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar