Suara musik dangdut yang mengentak tiba-tiba mati setelah terdengar lafdun jalalah atau suara azan berkumandang mengiringi tenggelamnya fajar.
Itu
pertanda waktunya para santri berkumpul dan belajar mengaji di mushala.
Para perempuan berpenampilan menor, yang biasanya duduk santai di
depan wisma menunggu pria hidung belang, bergegas menutup pintu dan
masuk ke kamarnya masing-masing.
“Mereka semua sangat toleran.
Ketika memasuki waktu maghrib, semua penghuni lokalisasi tidak ada yang
membunyikan musik sampai waktu isya selesai,” kata Kiai Muhammad Baidawi
Haris.
Kiai berusia 52 tahun itu ditemui seusai mengajar para
santrinya di lokalisasi Gung Sampan (GS) di Desa Kotakan,
Kecamatan/Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Sekitar 17 santri di
sana belajar mengaji di Mushala Makrajul Iktidal di tengah kompleks
tersebut. Mushala ini diasuh Kiai Haris bersama Siti Zainab, istrinya.
Keduanya berasal dari luar kompleks pelacuran itu, kemudian berjihad
dengan ikhlas dan tekun untuk mendidik para santri yang umumnya juga
anak-anak penghuni kompleks pelacuran itu.
“Saya hanya merasa terpanggil untuk mengajar mengaji di tempat pelacuran ini,” katanya.
Sejak
diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2004 tentang larangan
praktik pelacuran di Situbondo, para ulama berkumpul membahas rintisan
keagamaan di kompleks lokalisasi itu.
Ternyata, rintisan para ulama ini mendapat dukungan dari semua penghuni kompleks untuk mendirikan mushala.
“Kegiatan
pengajian ini berlangsung tiga tahun, santrinya sudah banyak yang bisa
mengaji Al Quran dengan baik,” jelas pengasuh Mushala Makrajul Iktidal
yang juga wakil sekretaris Nahdlatul Ulama Situbondo ini.
Para santi ditempatkan di sebuah bekas rumah pelacuran. “Rumah ini sudah dihibahkan untuk dijadikan mushala,” tukasnya.
Selain
dijadikan tempat belajar mengaji anak anak kompleks, mushala juga
dijadikan tempat kegiatan pengajian rutin malam Jumat yang dikuti
seluruh muslimat di kompleks tersebut.
“Khusus untuk malam Jumat biasanya suara musik baru diputar setelah jam 21.00,” jelas Sawar, Ketua RT Desa Kotakan.
Sawar
mengaku, meski buta agama dan bergelimang dosa karena menjadi mucikari,
tetapi dia tidak ingin anak anaknya akan bernasib sama. “Saya tidak
ingin anak-anak mengikuti jejak saya. Makanya, semua saya suruh mengaji
agar tahu agama dan dosa,” kata Sawar.
Sejak adanya mushala dan
kegiatan keagamaan di kompleks ini, semua warga antusias merawat dan
memakmurkan tempat ibadah tersebut. Bahkan, setiap ada kegiatan
keagamaan, seluruh warga kompleks tidak pernah absen dan selalu
mengadakannya.
“Setiap bulan puasa, semua warga selalu
melaksanakan salat tarawih bersama,” ujarnya. Seorang pemilik wisma di
lokalisasi itu, Ritnawati (45), mengaku tidak merasa terganggu dengan
kegiatan pengajian.
Ia, katanya lagi, justru bersyukur karena
dengan adanya bacaan Al Quran dan suara azan dapat menggugah semua warga
untuk segera bertaubat.
Dalam kondisi kompleks yang seperti ini,
dirinya sering merenung dan berpikir untuk segera insaf dari pekerjaan
yang digeluti bersama suaminya itu. “Sekarang ini, saya lebih senang
merawat cucu,” kata Ritnawati. (http://regional.kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar