Perdagangan manusia adalah bisnis perdagangan bernilai
miliaran dollar menarget orang-orang rapuh, miskin ekonomi, untuk perbudakan,
tenaga kerja paksa, pelacuran, pernikahan paksa, eksploitasi seks, termasuk
eksploitasi anak. Perdagangan manusia merupakan kejahatan terorganisir terbesar
kedua di dunia, setelah obat-obatan terlarang.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2012 mencatat bahwa 2,4
juta orang, sementara Pemerintah AS memperkirakan 12,3 juta orang, menjadi
korban perdagangan manusia di seluruh dunia. Sebanyak 80 persen dari mereka
menjadi obyek eksploitasi atau perbudakan seksual. Sekitar 17 persen korban
perdagangan manusia menjadi buruh paksa di rumah, tambang, atau pabrik.
Seorang gadis berusia 9 tahun bekerja
di bawah teriknya panas matahari, membuat bata dari pagi sampai malam,
tujuh hari seminggu. Dia menjadi korban perdagangan manusia bersama
keluarganya dari Bihar, India, dan tidak bisa kabur, terisolasi dari
masyarakat. [photo oleh Kay Chernush for the U.S. State Department]
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan US$ 32 miliar
dihasilkan setiap tahun dari perdagangan manusia. Sementara, perdagangan seks
merupakan bisnis terbesar dengan perkiraan sekitar US$ 27,8 miliar dihasilkan,
setiap tahun.
Perdagangan seks terbesar terutama melibatkan anak-anak
untuk menjadi obyek budak seks. Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF) melaporkan
sekitar 2 juta anak-anak di bawah 18 tahun diperdagangkan tiap tahun,
kebanyakan dari mereka adalah perempuan
yang menjadi obyek seks dalam industri seks komersil
bernilai jutaan dolar. Ironisnya, sekitar 50-60 persen anak-anak diperdagangkan
menjadi budak seks berusia di bawah 16 tahun. Mereka direkrut, diculik,
dipindahkan, untuk tujuan seks komersial. Anak-anak menjadi pekerja seks
komersil karena dipaksa, ditipu, disiksa, dan diancam.
Wisata seks anak bahkan telah menjadi obyek wisata di
sejumlah negara-negara. Thailand, Kamboja, India, Brazil dan Rusia
diidentifikasikan sebagai tempat hiburan atau sumber transportasi untuk
eksploitasi seks anak. Meski negara-negara itu masuk dalam
daftar merah atau pengawasan PBB terkait perdagangan
manusia, otoritas pemerintah negara tidak melakukan tindakan maksimal untuk
menghapus perdagangan seks anak. Banyak turis terutama pria dewasa melakukan
perjalanan wisata, membayar pelayanan seks dengan anak-anak di negara-negara
tersebut.
Ditoleransi
Thailand telah lama menjadi destinasi wisata seks paling
populer di dunia. Institusi Penelitian Sistem Kesehatan Thailand melaporkan
bahwa 40 persen bisnis pelacuran Thailand melibatkan anak-anak. Belum ada data
pasti jumlah pelacur Thailand di bawah 18 tahun tapi pemerintah Thailand
memperkirakan sekitar 40.000 anak.
Perdagangan wanita di Thailand terutama berasal dari
daerah-daerah miskin Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos dan Tiongkok. Wanita
Thailand umumnya dijual ke Jepang untuk dipaksa menjadi budak seks dengan
bayaran rendah.
Meski Thailand memiliki undang-undang menyatakan pelacuran
adalah ilegal. Dalam prakteknya, perilaku tersebut ditoleransi masyarakat.
Praktik pelacuran sangat terbuka di seluruh Thailand, bahkan pejabat setempat
cenderung melindungi bisnis tersebut.
Di Kamboja diperkirakan sekitar sepertiga dari semua pelacur
berusia di bawah 18 tahun atau sekitar 33.000 anak. Pada 1996, Kamboja
mengesahkan undang-undang pemberantasan penculikan, perdagangan manusia, dan
eksploitasi manusia, termasuk membahas prostitusi. Namun, undang-undang itu
tidak secara khusus mendefinisikan atau melarang pelacuran anak di Kamboja,
yang menetapkan usia dewasa adalah 15
tahun.
Di India, polisi federal melaporkan 1,2 juta anak diyakini
terlibat dalam prostitusi. Ada tiga juta pelacur di India, diperkirakan 40
persennya adalah anak-anak. Wisata seks telah menjadi perhatian serius
pemerintahan India, dengan otoritas memperkirakan 90 persen perdagangan manusia
di India berlangsung di dalam negeri.
Brasil memiliki rekor sebagai perdagangan seks terburuk di
dunia. Brasil telah menjadi tujuan paling populer di dunia wisata seks, setelah
Thailand. UNICEF memperkirakan sekitar 250.000 anak menjadi pelacur. Kebanyakan
dari para pekerja seks anak berasal dari pemukiman kumuh yang membutuhkan uang
untuk hidup. Tren terbaru lebih mengejutkan bahwa sejumlah ekspedisi
"memancing" diorganisasi untuk melakukan wisata seks anak bagi
wisatawan dari AS dan Eropa.
Usia legal pelacur di Brazil 18 tahun, tetapi banyak pekerja seks
perempuan di Brazil berusia di bawah 18 tahun. Seorang gadis berusia 13
tahun menjual seks hanya untuk US$ 6 kepada wisatawan seks di Brazil.
Baca: http://www.bbc.co.uk/news/world-10764371
Kabar baiknya, dalam beberapa tahun ini untuk mempersiapkan
Brazil menjadi tuan rumah piala dunia, otoritas setempat, seperti kota Ceara
menyatakan bahwa wisata seks dilarang. Setiap minggu, puluhan kendaraan militer
dan angkatan polisi federal melakukan penyisiran di jalan-jalan di distrik
merah, menggerebek motel, hotel dan rumah bordil, serta menangkap para pelaku,
sekaligus membawa para perempuan ke dalam perlindungan. Sayangnya aksi tersebut
belum sepenuhnya diikuti oleh kota-kota di seluruh Brazil.
Di Eropa, Rusia menjadi pusat, sumber, destinasi, tempat
transit untuk perdagangan manusia di Eropa dan dikirim ke berbagai negara di
Asia, dan belahan bumi lainnya. Tidak hanya wanita, pria Rusia juga menjadi
korban perbudakan modern. Menurut PBB sekitar 800.000 perempuan diperdagangkan
tiap tahun ke luar Russia. Pemerintahan Moscow memiliki upaya kecil untuk
menghentikan itu karena menilai sebagai bentuk bukan perbudakan. Rusia telah
lama ditekan oleh Uni Eropa untuk memperketat perbatasannya guna mencegah
perdagangan manusia.
Perlawanan
Berbagai advokasi dan perlawanan terhadap perdagangan
manusia terutama penghapusan eksploitasi seks terhadap anak telah berjalan
selama lebih dari dua dekade di seluruh dunia oleh lembaga kemanusiaan
internasional dan lokal. Kebijakan dan inisiatif politik negara menjadi kunci
dalam melawan perdagangan manusia. Australia merupakan negara pertama yang
memperkenalkan undang-undang menghukum warga negaranya terlibat dalam aktivitas
seksual dengan anak-anak di luar negeri, pada 1994. Maksimum penalti dikenakan
25 tahun penjara bila terlibat seks dengan usia anak di bawah 12 tahun.
Saat ini setidaknya sudah ada 38 negara memiliki
undang-undang ekstrateritorial digunakan untuk menghukum warga negara mereka
atas kejahatan dilakukan selama perjalanan pariwisata seks anak. Organisasi
Pariwisata Dunia membuat gugus tugas untuk memerangi pariwisata seks.
Pada 2005, sebanyak 200 perusahaan perjalanan dari 21 negara
telah menandatangani kode etik global untuk perlindungan anak dari eksploitasi
seksual dalam perjalanan dan pariwisata.
Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) melakukan penyelidikan dan
menangkap para wisatawan seks anak. Pada 2003 ICE berhasil menangkap lebih dari
11.000 pelaku eksploitasi seks anak, termasuk 1.100 di luar AS. Pemerintah AS
sendiri melaporkan 25 persen turis seks anak adalah warga AS.
Satu Persen
Namun, gerakan perlawanan perdagangan seks anak masih sangat
kecil. UNICEF mencatat bahwa aktivitas seksual sering dianggap sebagai masalah
pribadi, membuat masyarakat enggan untuk bertindak dan campur tangan dalam
kasus eksploitasi seksual. Sikap seperti itu membuat anak-anak jauh lebih
rentan terhadap eksploitasi seksual.
Globalisasi juga menjadi faktor semakin sulitnya perlawanan
karena internet menyediakan alat jaringan efisien global untuk individu berbagi
informasi tentang destinasi dan pengadaan wisata seks anak. Akibatnya, industri
pariwisata pornografi anak, seks dan perdagangan manusia tetap berkembang
pesat.
Secara global, tidak adanya peraturan kuat dan pelatihan
polisi untuk memerangi perdagangan manusia. Banyak pemerintahan negara tidak
melakukan langkah-langkah cukup untuk mengurangi permintaan untuk buruh paksa,
perilaku seks komersil, dan wisata seks anak. Bahkan, di AS hanya 10 persen
dari pos polisi memiliki protokol untuk menangani perdagangan manusia.
Tragisnya, hanya satu sampai dua persen korban perdagangan
manusia diselamatkan. Hanya 1 dari 100.000 warga Eropa terlibat dalam
perdagangan manusia dihukum. Banyak masyarakat tidak menyadari praktik
pelanggaran hak asasi manusia di kota mereka.
Cherif Bassiouni, seorang professor dari Universitas DePaul,
Chicago, dengan keras menyindir bahwa perdagangan manusia adalah masalah hak
asasi manusia di mana pemerintah telah mengatakan begitu banyak, tetapi begitu
sedikit dilakukan untuk mengatasi itu.
“Hukum di sebagai besar dunia mengkriminalisasi pelacur dan
korban lainnya perdagangan, tetapi hampir tidak pernah mengkriminalisasi pelaku
karena tanpa mereka kejahatan itu tidak akan terjadi,” ucapnya. [Sumber: http://mynewsbasket.blogspot.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar