Tanggal 18 Juni 2014 lalu merupakan batas waktu
terakhir kawasan lokalisasi Dolly untuk beroperasi. Lokalisasi Dollysebagai kawasan lokalisasi besar di Surabaya, yang diklaim sebagai
yang terbesar di Asia Tenggara, meskipun klaim ini juga belum tentu
benar, mengingat Bali dan Thailand bisa jadi mempunyai jumlah prostitusi
yang jauh lebih besar baik yang terlokalisasi atau tidak terlokalisasi.
Sejauh ini semua fraksi di DPRD Surabaya mendukung rencana ini, kecuali
fraksi PDIP. Wakil walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana yang merupakan
kader PDIP pun secara terang menolak penutupan kawasan Dolly dan bahkan
mengancam akan mengerahkan massa untuk menentang rencana penutupan
tersebut.
Berikut adalah bantahan berbagai argumen penolakan penutupan lokalisasi.
Argumen penolakan penutupan: Prostitusi adalah profesi seumur peradaban, tidak bisa dihapuskan dan lebih baik dilokalisasi.
Klaim prostitusi seumur peradaban masih dalam
perdebatan, meskipun demikian kejahatan pembunuhan dan penipuan juga
seumur peradaban, tapi tidak dilokalisasi dan secara tegas dilarang
dalam hukum pidana negara mana pun di dunia ini. Jika demikian mengapa
prostitusi tidak juga dilarang dalam hukum pidana?
Tindakan kriminal yang dilarang dengan
ancaman hukuman tidak selalu berarti bahwa tindakan kriminal tersebut
tidak akan lagi dilakukan orang. Ancaman hukuman dibuat agar orang
berpikir seribu kali untuk melakukan hal yang dilarang dalam
undang-undang. Korupsi dan penipuan dilarang oleh Undang-undang dan
masih saja terjadi. Apakah karena korupsi dan penipuan masih terjadi
maka tindakan tersebut boleh dilegalisasi ?
Logika yang sama juga seharusnya diterapkan
pada prostitusi dengan melarang prostitusi dan tidak melegalkannya
karena tidak mampu menekan terjadinya tindakan prostitusi tersebut.
Apakah hukuman efektif menghukum pelaku
pidana? Bisa efektif tergantung dari hukumannya. Hukuman maksimal dari
pembunuhan adalah hukuman mati. Terpidana yang sudah dihukum mati jelas
tidak akan bisa membunuh lagi.
Argumentasi yang sama juga bisa diterapkan
pada prostitusi, dengan menerapkan hukuman pidana, maka tindakan
prostitusi bisa ditekan. Andaikan seorang yang menjadi prostitusi atau
menggunakan jasa prostitusi diancam hukuman 25 tahun penjara maka
siapapun tentu akan berpikir panjang sebelum terlibat dalam perbuatan
prostitusi.
Alasan jika lokalisasi dilarang maka para PSK
akan melakukan aksinya di jalan dan akan lebih sulit dikontrol juga
tidak bisa diterima. Adalah tugas aparat keamanan dan dinas sosial
bertugas menangkap PSK yang berkeliaran untuk dikurung, diadili, dan
dihukum. Meskipun prostitusi dilokalisasi para pengguna PSK akan
membawa penyakit kelamin dan HIV/AIDS dari kompleks lokalisasi ke
keluarganya dan rumah tangganya. Lokalisasi hanya efektif jika para PSK
dan pengguna jasa PSK dilokalisasi dalam satu area yang dikarantina, di
mana tidak ada orang masuk dan keluar dari daerah karantina tersebut
dan ini jelas tidak memungkinkan dilakukan. Penghapusan lokalisasi akan
membuat ruang gerak pengguna jasa PSK dan penjual jasa PSK akan semakin
sempit dan sulit.
Lokalisasi itu jelas menguntungkan pengguna
jasa PSK dan juga penjual jasa PSK, karena semua layanan terkait sudah
tersedia dalam satu lokasi, baik pilihan wanita PSK, kamar, restoran,
dan berbagai jasa lainnya. Jika PSK hanya ada di jalan maka pengguna
jasa akan memerlukan usaha lebih banyak untuk mendapatkan PSK sesuai
seleranya karena harus melakukan hunting dan kemudian mencari hotel
untuk tempat kencan.
Argumen penolakan penutupan: Pesangon 5 juta kepada PSK dan mucikari hanya cukup untuk seminggu
Pesangon yang diberikan memang lebih kecil
dengan keuntungan besar dari bisnis haram ini. Seharusnya para PSK dan
Mucikari bersyukur bahwa pemerintah bahkan rela merogoh duit pajak demi
memberikan pesangon kepada mereka. Bandingkan dengan pedagang kaki lima
yang melakukan bisnis halal, kesalahan mereka hanyalah karena berjualan
tidak pada tempatnya, tapi konsekuensinya bahkan gerobak dagangan mereka
bahkan diangkut dan dibuang ke laut untuk dijadikan rumpon rumput laut.
Pengusiran yang bukan saja tanpa pesangon bahkan barang modal juga
terpaksa ikut raib ke dasar laut.
Argumen penolakan penutupan:
Penduduk setempat hidup dari jasa yang digunakan para PSK, seperti
laundry, sewa kamar, calo, parkir, restoran
Dari 1.300-an PSK dan 300-an mucikari yang
ada, mungkin menghidupkan ekonomi puluhan ribu warga yang berjualan di
area lokalisasi, tempat penitipan motor, laundry, penyewaan kamar, dan
berbagai jasa lainnya.
Tapi harus diingat, ada ratusan ribu bahkan
jutaan orang yang kena dampak langsung akibat penyakit sosial ini.
Keluarga yang berantakan, penyakit kelamin, HIV, AIDS, dan lain
sebagainya.
Apakah pemerintah akan mengorbankan nasib jutaan orang demi nasib puluhan ribu orang?
Argumen penolakan penutupan:
Pemerintah belum memberikan alternatif pekerjaan bagi para PSK dan
Mucikari dan pendidikan ketrampilan yang diberikan tidak memadai
Memang pemerintah selayaknya membantu rakyat
dengan menyediakan lapangan kerja bagi para rakyatnya. Meskipun demikian
asas keadilan harus dikedepankan. Banyak pengangguran yang tidak
terlibat dengan prostitusi yang juga harus berjuang untuk mendapatkan
pekerjaan. Apakah untuk ditolong oleh pemerintah maka harus menjadi
prostitusi?
Berterimakasihlah kepada Pemda Surabaya yang
sudah jauh hari mengabarkan bahwa lokalisasi akan ditutup dan mencoba
membantu memberikan pelatihan yang memang jauh dari yang diharapkan.
Tapi itulah kemampuan negara saat ini.
Pekerjaan pengganti belum tentu akan
memberikan hasil sama dengan penghasilan dari lokalisasi, itu memang
pengorbanan yang harus dialami demi kepentingan yang jauh lebih besar. (salahuddin ahmad/unik.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar