Syarat ritual ini
dipercaya merupakan “pesan” dari Pangeran Samodra yang dimakamkan di
puncak bukit yang mati merana karena kisah cintanya terhadap ibu tirinya
R.Ay Ontrowulan terbongkar oleh oleh ayahnya. Pangeran Samodra yang
diusir oleh ayahnya kemudian melanglang buana seorang diri sampai
akhirnya berhenti di sebuah bukit yang sekarang ini dikenal dengan nama
Gunung Kemukus ini. Ternyata kepergian sang Pangeran ini juga membuat
R.Ay Ontrowulan , nekad demi cintanya, melarikan diri dari istana dan
mencari pujaan hatinya. Akhirnya, sang Putri berhasil menemukan sang
Pangeran gunung ini.
Malangnya, ketika
bertemu dan belum sempat memadu kasih, keburu kelakuan mereka berdua
diketahui oleh masyarakat sekitarnya. Tanpa ampun keduanya lalu dihukum
beramai-ramai sampai akhirnya mereka menemui ajalnya. Sebelum ajal
menjemput, Pangeran Samodra meninggalkan pesan jika ada orang yang
bersedia melakukan hubungan badan dengan orang yang sama selama 7 kali
pada hari pasaran dimana dia meninggal bersama Ontrowulan, maka
keinginan orang tersebut akan terpenuhi.
Berbekal rasa ingin
tahu itu, akhirnya penulis mengikuti sebuah acara wisata religi yang
diadakan oleh pengajar di salah satu perguruan tinggi di Jogja yang
kelasnya akan mengadakan kunjungan wisata ke Gunung Kemukus . Singkat
cerita, rombongan yang berjumlah sekitar 30 an ini berangkat dengan
menyewa bus pariwisata dan naik perahu menuju Gunung Kemukus di Waduk
Kedung Ombo di Sragen.
Sesampai disana,
semua peserta wisata religi ini dipecah menjadi beberapa kelompok. Aku
beruntung karena yang menjadi kelompokku adalah orang-orang yang sudah
kukenal dengan baik, baik laki-laki maupun perempuan. Kelompok kami
tediri dari 2 perempuan dan 4 laki-laki.
Perjalanan yang
sebenarnya baru dimulai, kami berjalan pelan-pelan mendaki bukit melalui
jalan setapak yang sidah diperkeras. Mendekati areal pemakaman Pangeran
Samudra di puncak bukit, banyak warung-warung yang menjajakan berbagai
kebutuhan untuk berziarah , makanan dan minuman berada disisi jalan.
Tidak hanya itu, mereka juga menawarkan kamar-kamar, yang lebih pas
disebut bilik, bagi peziarah yang ingin beristirahat plus dengan wanita
penghibur (PSK).
Suasana yang berbau
mesum sudah mulai terasa. Dengan cepat kugandeng gadis cantik bertangan
lembut yang selalu menempel diriku karena takut, sehingga seolah-olah
kami ini pasangan yang sedang berpacaran. Ternyata semua yang ikut dalam
wisata ini banyak yang meniru cara kami, hanya yang tidak beruntung
saja, terpaksa berkelompok atau berdua sesama laki-laki.
Perjalanan terus
dilanjutkan, dan sampailah kami di area puncak bukit, tempat pemakaman
Pangeran Samudra. Sesampai disini, terus mau apa ? Itulah yang jadi
pertanyaan kami semua. Mau ikut ritual ? Kebingungan melanda kami semua.
Bagiku, kepalang
basah, sudah sampai kalau cuma bengong buat apa. Akhirnya dengan modal
nekad aku jadi satu-satunya “relawan” yang melakukan ritual di tempat
ini. Mulai dari membeli bunga kemudian mandi di sendang Ontrowulan
sampai masuk ke makam Pangeran Samudra dan menghadap juru kunci
kulakukan semua. Ketika ditanya mau apa ziarah ke tempat ini, sekedar
basa-basi kujawab kalau aku minta didoakan agar kami serombongan yang
datang ke tempat ini mendapat keselamatan hingga sampai nanti pulang ke
Jogja.
Acara berikutnya,
ini untuk membuktikan, adalah mencoba mengintip pasangan yang melakukan
hubungan seks di tempat terbuka, sebagai bagian ritual mencari
pesugihan. Tentu saja aku masih berpasangan dengan gadis cantik yang
bertangan lembut itu mencoba mencari-cari di sekitar rimbunnya
pepohonan atau belukar sampai ke pinggiran waduk. Terus terang saja,
hati ini dag-dig-dug, bukan hanya karena hendak mengintip, tapi juga
karena berjalan berdua dengan tubuh berdempetan bikin suasana makin
mendebarkan. Bahkan aku sempat berdoa kepada Tuhan semoga kami berdua
khilaf…hehehe
Ternyata kegiatan
kami gagal, tidak ditemukan adanya sepasang laki-perempuan yang sedang
bercinta. Ini tidak seperti apa yang digembar-gemborkan dalam cerita
jika berjalan kurang hati-hati bisa tersandung badan orang yang lagi
berhubungan seks. Dengan badan yang lelah, akhirnya kami beristirahat di
sebuah tempat yang cukup luas sembari menunggu saat unttuk pulang.
Di saat sedang
beristirahat, di depan kami ada laki-laki usia pertengahan bersama
seorang perempuan yang sepantar juga sedang duduk-duduk. Aku bersama
gadis bertangan lembut dengan gaya sok akrab lalu menyapa mereka.
Melihat kami berdua saja ( teman-teman ada di jarak tertentu) mereka pun
juga menyambut sapaan kami dengan ramah. Singkatnya, menurut cerita
mereka , mereka ini sudah tiga kali menjalani ritual di Gunung Kemukus,
dan malam itu adalah yang keempat kalinya. Yang laki-laki cukup tampan
sedangkan yang perempuan juga masih kelihatan cantik, tapi mereka bukan
suami istri. Obrolan kami tidak lama karena mereka segera pergi untuk
pulang ke rumah masing-masing. Mereka berdua pergi yang tersisa hanya
bau harum yang menandakan bahwa mereka berdua baru saja mandi keramas,
berbeda dengan kami yang sedikit berbau apek karena berkeringat akibat
muter-muter jalan naik turun bukit. Kami berdua saling berpandangan dan
tertawa pelan menyaksikan kepergian mereka. Sebuah bukti adanya ritual
seks mengejar kekayaan lewat pesugihan masih berlangsung saat itu.Tak lama kemudian kami serombongan berkumpul dan pulang kembali ke Jogja.
Apakah sekarang bentuk
ritual semacam itu masih berlangsung ? Entahlah….! Yang pasti kenangan
perjalanan 20 tahun yang lalu masih sempat kutuliskan, meski gadis
bertangan lembut itu kini tak bersamaku lagi. (jati/sosbud.kompasia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar