Dosen FISIP Unair, pada 2013–2014 melakukan penelitian dari Dikti tentang pengangguran terdidik di Jawa Timur
Di tengah upaya berbagai daerah untuk menutup lokalisasi dan
memberantas prostitusi, belakangan ini justru terungkap makin maraknya praktik
prostitusi terselubung yang makin canggih. Meski praktik prostitusi di
lokalisasi telah berkurang drastis, di masyarakat justru muncul prostitusi dalam
berbagai bentuk, termasuk prostitusi online yang melibatkan perempuan di
bawah umur, model, dan bahkan artis (Jawa Pos, 28 April 2015).
Berbeda dengan
prostitusi di lokalisasi yang secara terang-terangan menawarkan jasa layanan
seksual, setelah penutupan lokalisasi, praktik prostitusi umumnya dilakukan
secara terselubung. Perempuan dan anak perempuan ditawarkan melalui media
sosial dalam kelompok yang relatif tertutup. Perkembangan teknologi informasi
yang makin canggih, bagi para germo dan mucikari, justru menjadi ladang baru
untuk menjajakan para pekerja seksual secara lebih eksklusif.
Pelacuran secara
umum merupakan praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan
dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama dalam praktik
pelacuran, menurut Truong (1992), adalah: pembayaran, promiskuitas, dan
ketidakacuhan emosional.
Secara sederhana,
prostitusi adalah perilaku atau tindakan yang mengaitkan kegiatan seksual
dengan uang. Prostitusi merupakan pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan,
banyak menyerap tenaga kerja, melibatkan perempuan, dan berbayaran tinggi.
Bahkan, di
kalangan perempuan pekerja seks komersial (PSK) di jalanan sekali pun, bayaran
mereka relatif lebih tinggi daripada pekerjaan lain yang berkeahlian di wilayah
yang sama. Para perempuan yang bekerja di bisnis prostitusi online
biasanya memperoleh penghasilan yang jauh lebih tinggi.
* * *
Di kalangan
pelaku di industri seks komersial, memang banyak jalan yang bisa dipilih untuk
tetap mengembangkan bisnis yang secara ekonomi sangat menguntungkan tersebut.
Noeleen Heyzer (1986) membedakan, setidaknya ada tiga macam tipe pelacur menurut
hubungannya dengan pengelola bisnis pelacuran. Pertama, pelacur yang bekerja
sendiri tanpa calo atau majikan. Mereka sering beroperasi di pinggir jalan atau
masuk satu bar ke bar yang lain.
Kedua, pelacur
yang memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara hierarkis.
Biasanya, si pelacur hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan
kliennya. Ketiga, pelacur yang berada di bawah naungan sebuah lembaga atau
organisasi mapan. Contohnya, panti pijat, lokalisasi, dan hotel-hotel. Pelacur
yang bekerja di bawah koordinasi mafia atau sindikat tersebut biasanya akan
selalu bisa menemukan celah di tengah kekakuan hukum untuk tetap melangsungkan
bisnis mereka. Terlebih, tampaknya, germo memiliki kemampuan untuk memanfaatkan
teknologi informasi dan relasi yang sudah terpintal lama.
Perempuan yang
terlibat dalam prostitusi bisa dalam bentuk pelacur jalanan, pelacur di rumah
bordil, bar atau klub malam, atau gadis panggilan. Pelacur yang termasuk kelas
tinggi memiliki penampilan yang lebih baik, lebih muda, dan lebih sehat
menghasilkan tarif yang lebih tinggi pada setiap pelanggannya. Perempuan yang
terjerumus dalam bisnis prostitusi umumnya terjebak antara perbudakan ekonomi
dan emosi serta bekerja di bawah kondisi yang sama dengan seorang budak.
Tetapi, karena keuntungan dan penghasilan yang ditawarkan bisnis seksual itu sangat
menguntungkan, bisa dipahami jika praktik pelacuran seolah tidak pernah bisa
diberantas hingga tuntas.
Pelacur biasanya
bisa memperoleh penghasilan tertinggi ketika mereka masih muda dan sedang populer.
Seorang perempuan muda yang menjadi primadona biasanya menjadi anak kesayangan
mucikari karena mampu menarik pelanggan yang lebih banyak. Menurut studi Buruh
Internasional sebagaimana dikutip Lena Edlund dan Evelyn Korn (2002), di
Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand, perempuan yang bekerja di sektor
prostitusi diperkirakan 0,25–1,5 persen dari keseluruhan populasi perempuan di
berbagai negara tersebut dan menyumbang 2–14 persen dari pendapatan negara atau
gross domestic product.
Dalam hasil
studi, Lena Edlund dan Evelyn Korn (2002) mengidentifikasi beberapa faktor yang
memengaruhi keterlibatan perempuan dalam sektor prostitusi. Pertama, jumlah
perempuan dan rasio perempuan dibandingkan laki-laki. Dengan makin banyaknya
jumlah laki-laki daripada perempuan, makin besar peluang pelacur perempuan
untuk memperoleh penghasilan yang tinggi.
Kedua,
kemiskinan. Dalam struktur pasar kerja di mana hanya sedikit peluang bagi
perempuan untuk bisa memperoleh pekerjaan yang layak, hal itu akan menjadi
alasan penting kenapa perempuan terpaksa memilih bekerja di sektor prostitusi. Ketiga, reputasi dan stigma yang mesti
ditanggung perempuan yang bekerja sebagai pelacur. Berbeda dengan istri yang
disimpan dan diperlakukan dengan sopan, pelacur memiliki nilai lebih karena
bersedia menawarkan jasa layanan seksual yang beraneka-ragam gaya –yang mungkin
memalukan bagi perempuan yang berstatus istri.
Keempat, adanya
paksaan yang membuat perempuan masuk ke dalam bisnis prostitusi. Ada ikatan utang
kepada mucikari atau calo atau faktor yang membuat perempuan terpaksa terlibat
dan bertahan bekerja sebagai pelacur hingga utang mereka lunas. Kelima, perceraian
dan kehilangan keperawanan, meski tidak selalu terjadi, sering menjadi faktor
yang mendorong perempuan masuk ke dalam bisnis prostitusi.
* * *
Dari hasil kajian
penulis (2012), perempuan dan anak-anak perempuan yang masuk dalam bisnis
industri seksual komersial biasanya dipaksa oleh gabungan berbagai faktor dan
kondisi lingkungan: tekanan kemiskinan, kekecewaan karena love affair
yang gagal, kurangnya kesempatan kerja di pasar kerja, bias nilai patriarki,
tawaran gaya hidup hedonistis, dan kondisi psikologis yang rentan terhadap
penipuan, pemaksaan, serta tekanan-tekanan sosial lainnya.
Itu berarti
menangani persoalan pelacuran semata dari pendekatan hukum atau pendekatan
moral niscaya sama sekali tidak akan pernah memadai. Munculnya fenomena
prostitusi online bukan sekadar imbas penutupan lokalisasi dan bukan
sekadar mengejar penghasilan yang lebih besar. Lebih dari itu, masalah tersebut
adalah fenomena sosial yang berkaitan dengan persoalan ekonomi-politik,
kultural, gaya hidup, dan sebagainya. Ibarat mengurai benang ruwet, dalam upaya
penanganan praktik pelacuran, banyak tali-temali persoalan yang mesti diurai
satu per satu secara sabar dan empatif.
Sepanjang upaya
penanganan pelacuran belum ditempatkan dalam konteks pemberdayaan dan
perlindungan kaum perempuan dari pengaruh ideologi patriarki dan tekanan
struktural kemiskinan, sepanjang itu pula praktik pelacuran akan tetap muncul
dalam berbagai bentuk, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar