: Dan Sang Pemimpi punya hak mewujudkan mimpi-mimpinya
"Pemkab Banyuwangi melarang
pendirian hotel kelas melati di wilayah Banyuwangi. Karena hotel-hotel jenis
ini sering digunakan untuk prostitusi terselubung. Termasuk juga menutup
lokalisasi di seluruh Banyuwangi, karena mempunyai potensi yang cukup besar
menularkan HIV AIDS."
Sambutan yang disampaikan oleh
Bupati Banyuwangi di sebuah acara pelatihan fotografi di pertengahan September
2013 lalu membuat saya berpikir sederhana. Melarang pendirian hotel kelas
melati? menutup lokalisasi? apa iya menjamin bahwa tidak ada lagi praktik
pelacuran dan menekan jumlah angka penderita HIV AIDS di Banyuwangi yang tahun
2013 sudah menyentuh angka 1557 orang?
Praktik pelacuran adalah suatu
permasalahan sosial yang tidak bisa dipandang hitam putih dengan pendekatan
agama atau hukum saja. Persoalan ini harus dilihat secara sosiologis dan sangat
kompleks. Ketika banyak pemeritah daerah yang beranggapan bahwa lokalisasi
hanyalah wujud dari pemberian legalitas terhadap praktek pelacuran dan menjadi
isu sensitif bagi kepala daerah.
Di Banyuwangi sendiri ada
belasan lokalisasi yang tersebar di seluruh 24 kecamatan di Banyuwangi dengan
jumlah WPS (wanita pekerja seksual) lebih dari 650 perempuan. Sebut saja Gempol
Porong, Bomo Waluyo, Turian, Sumber Kembang, Ringin Telu, Padang Pasir,
Klopoan, Pakem, Pulau Merah, LCM, Blibis, Wonosobo dan Padang Bulan. Belum lagi WPS-TL (Wanita Pekerja Seksual
Tidak Langsung) yang "beroperasi" di wilayah-wilayah hotspot seperti
di kampung, cafe dan tempat-tempat strategis seperti Warung Panjang yang berada
di sekitar pelabuhan.
Jika Bandung punya Saritem,
Surabaya ada Gang Dolly dan di Yogyakarta terkenal Pasar Kembang, maka
Banyuwangi mempunyai Padang Bulan yang berada di Kecamatan Singonjuruh. Menurut
Miskawi (2010) Sejarah lokalisasi Padang
Bulan dirintis dari tahun 1970-an yang dikemas warung-warung kopi, sebagai
usaha di sektor informal dengan harapan agar ekonomi keluarganya bisa lebih
baik. Keberadaan WPS sampai pada tahun 1974 masih belum terlokalisir dan jumlahnya
semakin bertambah. Oleh karena itu, Pemerintah yang dimotori oleh Pemerintah
desa setempat melembagakan pelacuran pada tahun 1984, Secara resmi keberadaan
Lokalisasi tidak disertai dengan SK Bupati, tetapi bukti adanya penyuluhan,
sosialisasi HIV dan klinik sebagai bukti kongkrit bahwa pemerintah Banyuwangi
”melegalkan” prostitusi tersebut. Pembangunan wisma WTS mulai pada tahun 1992,
tetapi baru beroperasi secara penuh pada tahun 1994 sampai dengan sekarang.
Industri seks yang
terorganisasi berkembang pesat pada jaman kolonial. Sistem perseliran untuk
memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa yang yang berkembang di wilayah
pelabuhan di Nusantara yang menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing
yang masuk ke Nusantara. Tahun 1650,
“panti perbaikan perempuan” atau House Of Correction For Women didirikan
dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas
kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat.
Tahun 1852, pemerintah
mengeluakan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks dengan
serangkaian aturan untuk menghindari kejahatan akibat prostitusi. 1852 juga
mengenalkan istilah wanita publik. Wanita publik dikawal secara langsung dan
secara ketat oleh polisi dan wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki
kartu kehatan dan secara rutin menjalani pemeriksaan kesehatan. Jika ternyata
perempuan publik terjangkit penyakit, perempuan tersebut harus segera
menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen)
yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk
memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut
dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil.
Tahun 1858 disusun kembali
penjelasan berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan
bahwa peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai
lembaga komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat
konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun
perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah,
tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri.
Termasuk juga aktivitas
Pelabuhan Boom Banyuwangi yang ramai pada abad 18 hingga abad 20 yang membuat
bisnis pelacuran berkembang pesat di wilayah Pelabuhan yang menjadi pusat
perekonomian dan mobilitas para pendatang yang berdagang.
Maret 2013. Ratusan WPS dan
Mucikari yang ada di wilayah Banyuwangi menentang penutupan lokalisasi yang
dilakukan Pemprov Jatim dan Pemkab Banyuwangi. Mereka menggunakan masker dan
penutup wajah untuk menutupi identitas mereka. Salah satunya Linda. "Anak
saya praktek kerja lapangan di salah satu kantor pemkab. Apa jadinya jika dia
tahu jika ibunya salah satu WPS yang demo di kantor tempat dia PKL. Tidak ada
perempuan yang bercita-cita menjadi pelacur jika bukan karena faktor ekonomi.
Apalagi tinggal di lokalisasi dengan banyak konflik. Hutang, dikejar-kejar
satpol pp, pelanggan yang mabuk, kekerasan fisik dan psikis yang kami alami.
Belum lagi tidak jaminan atas kesehatan kami."
Dari belasan lokalisasi hampir
semuanya berada jauh dari pemukiman warga. Jauhnya lokalisasi membuat saya
mengistilahkannya dengan "mengejar syahwat ke ujung bumi."
Pertimbangannya tentu agar tidak mudah diakses, termasuk kecenderungan di
dasarkan pada kuatnya rasa malu dan dampak negatif terhadap perkembangan
lingkungan lokalisasi. Beralasan jika lokalisasi dalam pandangan umum hanya
sekedar di pahami sebagai tempat mangkal resmi wanita pekerja seksual.
Yang sering dilupakan adalah
lokalisasi didirikan untuk mengontrol kesehatan WPS dan juga pelanggan. Untuk meminimalisir penyebaran penyakit
kelamin termasuk juga HIV AIDS. Lokalisasi juga bisa digunakan pemerintah untuk
melakukan rehabilitasi sosial dengan memberikan aneka pelatihan kewirausahaan
dengan harapan mereka tergerak untuk melakukan alih profesi dan mencari nafkah
yang lebih bermartabat, daripada hanya sekedar menjual diri.
Menutup lokalisasi adalah
kebijakan yang sia-sia. Salah satunya dalam jangka panjang penutupan lokalisasi
menjadi ancaman bagi penanggulang HIV dan AIDS. Pekerja seks maupun pelanggan
tidak akan pernah hilang. Transaksi akan berpindah ke area hotspot seperi jalanan,
cafe-cafe dan bahkan rumah
warga di wilayah kampung.
Ketika lokalisasi mempunyai aturan melarang masuk anak di bawah umur, maka saat
wanita pekerja seksual menjajakan secara sendiri peluang anak bawah umur untuk
menjadi pembeli semakin terbuka lebar.
Persoalan dasar yang dihadapi
wanita pekerja seksual sebagai waga negara tidak terselesaikan hanya dengan
ditutupnya tempat pelacuran. Karena kembali ke awal motif mereka adalah
ekonomi. Dosa dan hukuman penjara tidak selalu efektif mencegah seseoang untuk
melakukan pelanggaran ataupun kejahatan. Tuntutan hidup terkadang membuat
seseorang mengabaikan konsekwensi tersebut.
Penutupan lokalisasi akan membuat
HIV AIDS masuk kedalam rumah rakyat. Menyebar kemasyarakat. Di Banyuwangi data Agustus
2013 jumlah penderita HIV AIDS terbanyak adalah ibu rumah tangga dengan angka
353 penderita HIV dan 167 penderita AIDS dengan kematian 54 orang. Sedangkan
Wanita Pekerja Seskual penderita AIDS
34 orang dengan kematian 10 orang. Ini hanya angka di atas kertas. Selebihnya 1
penderita mewakili 100 orang diluar yang tidak terdata
Di Indonesia sendiri perempuan
yang terinfeksi HIV/AIDS yang betul-betul sebagai pekerja seks hanya sekitar 17
persen, sedang ibu rumah tangga yang
terinveksi HIV/AIDS dan tidak berperilaku beresiko HIV/AIDS sekitar 70 persen.
Dan fenomena ini bergeser di hampir semua wilayah di Indonesia termasuk
Banyuwangi.
Saya menyebut para wanita
pekerja seksual yang tinggal di lokalisasi sebagai Sang Pemimpi yang mempunyai
mimpi. Mereka adalah perempuan yang mempunyai hak sama dengan perempuan lain.
Mempunyai mimpi yang sama dengan perempuan lain. Memiliki akses pendidikan,
kesehatan, dan juga rasa aman yang sama dengan perempuan lain.
Tunggul Herwanto Manager
Program Kelompok Kerja Bina Sehat mengatakan solusi yang terbaik adalah
melakukan pendekatan holistik dalam upaya pemberdayaan ekonomi, sosial dan
mental spiritual mereka tentunya tanpa
melanggar nilai-nilai kemanusian.
"Mereka akan sadar dari
hati kecil dan memutuskan mundur tanpa ada paksaan dari siapapun. Kembali ke
hati nurani. Apapun sebutannya, wanita pekerja seksual tidak lebih sekedar
predikat. Tetapi yang perlu dipahami bahwa penyandang predikat itu adalah
manusia, bukan penyakit, bukan sampah. Mereka juga mempunyai hak yang sama
untuk diselamatkan secara psikologis, sosiologis dan ekonomis dengan predikat
baru yang aman. Mereka mempunyai mimpi yang sama seperti kita".
Lebih baik menyalakan lilin
dari pada mengutuk kegelapan.
Membantu mereka mewujudkan
mimpi mereka. Mimpi seorang perempuan yang juga manusia.
*Jurnal Strungking 4
Catatan ini saya persembahkan kepada perempuan-perempuan pemimpi. Wanita Pekerja Seksual
Kepada Ayah Ibu dan Banyuwangi
Kepada Sahabat-sahabat saya di KKBS yang mengajarkan menjadi orang yang "berguna" bagi sesama
Kepada Agen Neptunus: Lelaki Hujan yang menjadi inspirasi saya untuk terus berbagi
(http://duniaira.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar