Kamis, 09 April 2015

Aneh, Sarang Pelacuran Dinamai Wisma Wanita Harapan


Dari dulu yang namanya pelacur itu sudah disebut tuna susila alias tidak bermoral. Tetapi anehnya, justru kemudian disebut wanita harapan, dan dipasang plang di tempat pelacuran dengan sebutan itu.
Bukankah itu sama dengan mengundang bencana bagi bangsa? Karena telah jelas ancaman kerasnya dalam hadits.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللَّهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila zina dan riba telah tampak nyata di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan adzab Allah untuk diri-diri mereka. (Hadits Riwayat Al-Hakim dengan menshahihkannya dan lafadh olehnya, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi).
Alhamdulillah, sekarang sarang pelacuran itu akan ditutup oleh pemerintah kabupaten Madiun.
Inilah beritanya.
***
Pemkab Madiun Segera Tutup Lokalisasi Gudhe
Madiun (SI Online) - Alhamdulillah, Pemerintah Kabupaten Madiun akhirnya menyatakan segera  mengikuti program Pemerintah Provinsi;  “Wilayah Jawa Timur Bersih Prostitusi”, dengan segera melakukan penutupan lokalisasi pelacuran  “Wisma Wanita Harapan” —yang dikenal dengan sebutan Gudhe; di Desa Teguhan, Kecamatan Jiwan— sekira lima kilometer di barat kota Madiun. Penutupan berbentuk “pemulangan” segenap Pekerja Seks Komersial (PSK),  Mucikari dan warga yang memiliki mata-pencaharian dari lokalisasi.
Penutupan berbentuk pemulangan, dijadwalkan dilakukan paling lambat di dalam bulan November mendatang. Disebut bukan sebagai penutupan, karena bangunan yang ada di dalam lingkungan tertutup  berpagar tembok tinggi ini, dibiarkan tetap utuh.Asisten Sekwilda Bidang Pemerintahan, Anang Sulistijono, yang juga sebagai Wakil Ketua Tim Pemulangan PSK-Mucikari Gudhe kepada sejumlah wartawan, membeberkan program itu. Lokalisasi Gudhe atau Wisma Wanita Harapan yang sudah berusia 36 tahun sejak tahun 1978 ini, segera diakhiri dengan memulangkan segenap PSK, Mucikari dan sejumlah warga yang selama ini memiliki matapencaharian di lokalisasi ini. “Persiapan sudah matang. Sesuai jadwal dilaksanakan pemulangan dalam bulan November tahun ini,” katanya memastikan.
Lebih lanjut diungkapkan yang hendak dilakukan Tim, hanya memulangkan para penghuninya, dan mengembalikan segenap bangunan yang ada sesuai dengan perizinan peruntukkannya. Setelah pemulangan tersebut, lokalisasi Gudhe harus kosong dan steril dari praktik prostitusi. Kami fokuskan adanya deklarasi pemulangan segenap penghuninya, jadi bukan penutupan sepenuhnya. Karena bangunan tetap dibiarkan berdiri,” tegasnya.
Pemulangan segenap penghuni,  sebanyak 75 PSK, 33 Mucikari dan puluhan warga yang bertahun-tahun menggantungkan hidup di lokalisasi—-diantaranya sebagai personel pengamanan, juru parkir mobil dan motor  dan sebagian lagi  membuka warung.  Anang Sulistijono menegaskan, segenap penghuni dipulangkan melalui program pemulangan ini, merupakan cara untuk mengakhiri praktik prostitusi. Setelah itu, kendati segenap bangunan diperbolehkan ada dan tetap berdiri, namun sudah dilarang keras untuk melakukan kegiatan prostitusi.
Mengikuti pemulangan itu, Pemkab Madiun telah mempersiapkan anggaran lebih dari Rp 150 juta yang bersumber dari APBD tahun 2014. Perinciannya; Santunan sebesar Rp 500 ribu, diberikan kepada setiap PSK berasal dari daerah di luar Provinsi Jawa Timur, satunan sebesar Rp 3 juta untuk setiap PSK yang berasal dari daerah Kabupaten Madiun atau daerah lain di dalam Provisi Jawa Timur. Kemudian untuk masing-masing Mucikari mendapat santunan sebesar Rp 3 juta dan warga sekitar yang selama ini mengandalkan penghasilan dari keberadaan lokalisasi, masing-masing memperoleh Rp 2 juta.
Pemkab Madiun menyadari, kebijakan pemulangan ini, tentu akan mendapatkan pertentangan dan upaya penolakan terutama dari PSK dan Mucikari, juga warga sekitar yang selama ini menggantungkan hidup dari lokalisasi ini. Karena itu, sejak beberapa bulan sudah dilakukan sosialisasi dan pemberian pelatihan ketrampilan. Mereka, umumnya PSK dan Mucikari yang telah belasan tahun berkubang dalam prostitusi, tentu merasa tidak siap seketika meninggalkan lokalisasi. Khawatir  kehilangan mata pencaharian, karena merasa sama sekali tidak memiliki ketrampilan bekerja lain. Padahal,  sebenarnya pelatihan ketrampilan sudah diberikan sejak lama dan rutin, setidaknya sehari dalam seminggu.
Kedungbanteng, Ponorogo
Sementara itu, seperti diberitakan sebelum ini, wilayah tetangga Kabupaten Madiun yaitu Kabupaten Ponorogo, termasuk di dalam 23 daerah—dari 38 daerah—-se Jawa Timur  yang masih memiliki lokalisasi pelacuran. Bahkan yang dimiliki Ponoroggo, merupakan yang terbesar di daerah dalam wilayah eks Karesidenan Madiun. Namun, hingga saat ini belum memprogramkan untuk segera melakukan penutupan.
Drs. H. Muhammad Mansyur, mantan anggota DPRD Kabupaten Ponorogo dua periode (1977-1987) dan anggota DPR RI juga dua periode (1987-1997)— mengapresiasi tekad Gubernur Jawa Timur yang memiliki program menjadikan Jawa Timur bersih prostitusi dengan target hingga akhir tahun 2014. Tekad itu sejalan dengan tekad yang ditunjukkan Fraksi PPP di DPRD Kabupeten Ponorogo 35 tahun silam—di tahun 1977. Diungkap dari Lembaran Daerah Kabupaten Ponorogo tahun 1977,  Fraksi PPP DPRD tercatat ketika itu sudah berusaha mengusulkan Lokalisasi Watu Dhakon agar ditutup dan Ponorogo—secara permanen tidak perlu memiliki lokalisasi pelacuran. Namun usula itu menemui kegagalan, karena  Fraksi PPP kalah suara dari tiga fraksi lain. “Lokalisasi Watu Dhakon di timur kota Ponorogo memang ditutup. Tetapi kemudian dipindahkan ke Desa Kedungbanteng Kecamatan Sukorejo. Menjadikan Kabupaten Ponorogo  tetap memiliki lokalisasi pelacuran,” ungkapnya.
Desa Kedungbanteng, Kecamatan Sukorejo, berada di sisi barat Kabupaten Ponorogo. Tanah yang dijadikan lokalisasi, memang terpencil.  Berada  di tepian kawasan hutan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Magetan. Lokalisasi Watu Dhakon dinyatakan ditutup (akhir tahun 1977) dan tahun berikutnya sudah mulai beroperasi lokalisasi pindahan di Desa Kedungbanteng ini. Awalnya, hanya beberapa rumah (mucikari) dengan puluhan PSK. Kini, setelah lebih 35 tahun, lokalisasi  ini berkembang menjadi lebih 35 rumah mucikari dalam deretan tiga blok dengan PSK sudah lebih dari 200 orang. Merupakan yang  terbesar  di wilayah barat Provinsi Jawa Timur.
Sebaliknya di timur kota, kawasan Watu Dakon setelah tidak ada lokalisasi selama lebih dari 35 tahun, telah berkembang demikian pesat menjadi area permukiman bebas banjir, karena memang yang menjauhi aliran hulu Sungai Madiun di barat kota. Bahkan, Drs. H. Muhammad Mansyur menunjuk; keberadaan Universitas Muhammadiyah dan STAIN di kawasan ini, menjadi  simbol dari keberhasilan upaya Islamisasi kawasan itu.
Kini, ditunggu langkah Pemda. Kabupaten  Ponorogo, memperhatikan dan melaksanakan program Jawa Timur yang dicanangkan Gubernur DR. H. Soekarwo sejak dua tahun silam; Menutup “permanen” lokalisasi Kedungbanteng yang merupakan pindahan dan perkembangan dari Watu Dhakon.
Sumani, Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Ponorogo, mengungkapkan telah dilakukan  persiapan menutup lokalisasi itu. “Sudah sejak setahun lalu. Kajian, tela’ah dan saran staf sudah diajukan ke Pemerintah Kabupaten. Telah pula disampaikan hasil  kajian ilmiah dan hasil studi banding ke daerah lain. Untuk penutupan, agaknya, tinggal menunggu adanya dasar hukum. Sebab, aparat bisa melaksanakan penutupan jika sudah terbit Peraturan Daerah (Perda) ataupun Peraturan Bupati (Perbub). Demikian juga pengalokasian dana  bersumber dari APBD,  juga memerlukan Perda atau Perbub itu, ” paparnya.
Menjadi salah satu alasan dari beberapa daerah; belum melakukan penutupan lokalisasi, karena belum ada Perda maupun Perbub. Terpisah, Gubernur DR. H. Soekarwo kepada sejumlah wartawan menandaskan;  “Jika memang belum ada dasar aturan untuk menutup; baik itu Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota,  gunakan saja Surat Edaran (SE) Gubernur sebagai dasar pijakan.”
Di Ponorogo, telah beberapa kali dilakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat, MUI, Ormas Keagamaan dan perwakilan Mahasiswa. Keputusan dari pertemuan  itu, diantaranya; memberi rekomendasi dan menyatakan sepakat menutup lokalisasi pelacuran. Kini, dari pertemuan berikutnya,  terbit pula rekomendasi tentang pemanfaatan area bekas lokalisasi; agar digunakan  sebagai pusat pengembangan Majelis Taklim. Karena  di sekitarnya telah berkembang sejumlah Pondok Pesantren dan masjid. Di samping, sebagian yang lebih luas dari lokalisasi yang menggunakan bekas tanah ganjaran bagi perangkat desa (bengkok atau pengganti gaji perangkat desa,red) itu, dapat dimanfaatkan pengembangan sentra industri kecil, yang memungkinan menyerap tenaga kerja dari bekas penghuni lokalisasi.
Dolly dan Jarak, Masih Operasi
Setelah deklarasi penutupan 18 Juni silam, Satuan Polisi Pamong Praja (SatPol PP) yang diperkuat personel dari TNI dan Polri, rutin melakukan pengawasan terhadap eks lokalisasi Dolly dan Jarak, termasuk areal pemakaman Kembang Kuning tidak jauh dari kedua lokalisasi, yang juga sering digunakan mangkal para PSK.
Dalam suatu kesempatan razia, petugas mengepung area pemakaman yang cukup luas. Hasilnya, delapan orang terjaring.Setelah dilakukan pendataan, ternyata telah masuk dalam data PSK. Dilakukan koordinasi dengan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, bersama lima orang yang terjaring sebelumnya, sehingga total 13 orang PSK kemudian dibantarkan ke Panti Rehabilitasi PSK di Kediri.
(www.nahimunkar.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar