Minggu, 21 September 2014

Apa Daya Dilacurkan di Negeri Jiran

021202Derap_Hukum.jpg
Tentang Malaysia yang sejak lama menjadi tujuan warga Indonesia mencari nafkah, rasa-rasanya siapa pun tahu. Cerita ini hanya ingin mengingatkan betapa banyak WNI yang mengadu peruntungan nasib di Negeri Jiran tak selamanya bernasib baik. Banyak dari mereka, bukannya untung malah buntung. Dengan kata lain, secara lebih tegas lagi, banyak warga Indonesia, khususnya wanita yang berada di Malaysia justru bekerja di sektor informal "dunia malam" alias sebagai pelacur atau istilah kerennya pekerja seks komersial.

Di Tawau, Malaysia, dunia pelacuran marak sejak tahun 1970-an. Memasuki era 80 dan 90-an, wajah-wajah wanita penghibur di sana semakin bervariasi lantaran diramaikan muka-muka asal Jawa dan daerah lainnya di Indonesia. Bila diperhatikan sepintas, boleh jadi, yang melihat menduga bahwa mereka adalah warga setempat. Namun kalau didekati, jangan kaget kalau di antara mereka ada yang berbahasa Jawa.

Pelacur asal Indonesia masuk ke Tawau lewat Nunukan, Kalimantan Timur. Seiring berjalannya waktu, mereka juga memanfaatkan Tarakan sebagai pintu gerbang alternatif menuju Tawau. Seorang tokoh masyarakat Indonesia di Tawau yang bernama Haji Ruslan Hanafi mengatakan, lonte Indonesia rata-rata berasal dari Surabaya dan masuk melalui Pare-Pare. "Mereka punya kongsi di sana," kata Ruslan.

Suharyati, seorang aktivis perempuan yang peduli nasib pelacur mengatakan, tak sedikit dari mereka menjadi pelacur karena dihipnotis. "Ya, memang. Kebanyakan ini orang [wanita-wanita asal Indonesia--Red], 99 persen ditipu. Datang ke sini tidak sadar," kata Suharyati.

Keterangan Suharyati ada benarnya. Lina, seorang wanita korban pelacuran mengakui pernyataan itu. Menurut dia, sewaktu memutuskan pergi ke Malaysia, dirinya dalam keadaan tidak sadar. Ceritanya begini, hari itu, ketika Lina tengah berada di terminal bus, mendadak seorang lelaki mendekat. Dalam hitungan detik, pria misterius itu langsung menepuk tangan Lina. "Saya nggak sedar ikut dia dikurung di rumah. Saya dikurung dua hari," ujar Lina. Selanjutnya, Lina dibawa naik kapal dan, tahu-tahu sudah ada di Tawau. Lina mengaku tak berani melawan. "Saya takut. Saya tidak sadar," ucap perempuan itu lirih.

Bisnis Prostitusi di Tawau dikuasai sindikat yang jaringannya cukup panjang dan rapi. Biasanya, anggota sindikat dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Grup pertama bertugas mencari calon korban. Selain menghipnotis calon korban di tempat umum, anggota jaringan prostitusi Tawau juga turun langsung ke desa-desa.

Jika ada wanita yang kira-kira memenuhi syarat buat dijadikan pelacur, "pencari bakat" akan langsung mendekati. Boleh dibilang, berbagai cara dilakukan untuk merayu dengan harapan calon korban terlena. Biasanya, wanita-wanita lugu itu dijanjikan bekerja dengan hasil besar di Malaysia.

Korban yang terkena jebakan akan diserahkan ke kelompok kedua. Sampai di sini, anggota kelompok pertama akan diberi upah sekitar Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu per orang. Kemudian, korban ditampung hingga ada orang yang mengambilnya. Semua kejadian tersebut masih berlangsung di Tanah Air. Nah, orang yang mengambil dari tempat penampungan itulah yang akan mengurus semua keperluan si korban buat ke Malaysia, termasuk paspor.

Informasi yang diperoleh SCTV menyebutkan, dokumen-dokumen tersebut biasa dibuat di Nunukan, Kalimantan Timur. Kalau semua dokumen beres, korban langsung dibawa ke Tawau dan diserahkan kepada bapak ayam--sebutan bagi seorang mucikari.

Layaknya seorang pembeli, bapak ayam langsung memeriksa setiap detil korban. Jika masih perawan, senang hatilah si bapak ayam lantaran akan mendapatkan keuntungan lebih besar. Terlebih lagi untuk korban yang wajahnya cantik. Wongperawan saja dihargai sekitar Rp 2,5 juta, jika plus wajah aduhai akan menjadi Rp 5 juta.

Cerita duka dan tragis akan dimulai sejak korban berada di tangan bapak ayam. Mulai dari paksaan bekerja selama 24 jam sampai pendapatan yang terus di potong mucikari. Satu kali kencan pendek atau short time, wanita semacam Lina dihargai 20 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 50 ribu. Sedangkan untuk kencan panjang atau selama satu malam, lelaki "pengguna jasa" membayar 200 ringgit atau sekitar Rp 500 ribu. Dari tarif yang lumayan besar itu, para pelacur mengaku hanya kebagian secuil. "Paling-paling, saya cuma ambil lima ringgit," ujar seorang pelacur asal Indonesia yang tak mau disebutkan nama maupun jati dirinya.

Rusi yang juga bernasib serupa Lina menuturkan, dalam sehari, dirinya kerap melayani delapan hingga sepuluh lelaki. Lina menambahkan, jika tidak mau melayani, bapak ayam tak segan-segan memukul. "Jadi, saya menangislah!" kata Lina.

Keberadaan para pelacur asal Indonesia ini sebenarnya diketahui sejak lama oleh pihak perwakilan pemerintah Indonesia di Tawau. Sejumlah cara mereka lakukan untuk memutus sindikat perdagangan wanita asal Indonesia. Di antaranya dengan melapor ke kepolisian setempat. Sayangnya, ada dugaan kuat, sejumlah anggota kepolisian setempat justru terlibat bisnis tersebut. Pasalnya, tak jarang laporan pihak Konsulat Jenderal RI tak ditindaklanjuti. Buntutnya, aktivitas pelacuran yang melibatkan perempuan Indonesia tak pernah bisa ditumpas habis. Aktivis perempuan Suharyati menuturkan, kalau pun digerebek, upaya tersebut tidak mendapat hasil maksimal. "Ada yang pasang telinga. Jadi ketika digerebek, tempat itu sudah kosong," kata Suharyati.

Konsul Jenderal RI di Tawau Makdum Tahir mengungkapkan, pihak Konsulat sangat berhati-hati dalam mengungkap sindikat perdagangan wanita Indonesia di Negeri Jiran. "Kita harus berhati-hati dalam bertindak karena saya katakan tadi, ini negara orang. Kalau pun kami melakukan penyergapan, itu berkat adanya wanita kita yang menelepon atau lari," kata Makdum. Terkadang, dia menambahkan, Konsulat juga mengungkap kasus tersebut bila ada anggota keluarga korban yang melapor.

Dalam satu tahun terakhir ini, Konsulat RI di Tawau berhasil membebaskan sekitar 100 korban pelacuran. Mereka yang mayoritas asal Pulau Jawa itu kemudian dikembalikan ke daerah asal. Menurut Makdum, para korban sangat bersyukur jika diselamatkan KJRI. Sebab, kalau polisi yang turun tangan, tak jarang kesempatan buat kembali ke daerah asal justru tertutup. Padahal, status para wanita itu adalah korban. "Tapi mereka diborgol, dimasukkan dalam sel tahanan, sehingga sering saya melakukan protes," kata Makdum.

Seusai diselamatkan KJRI, ternyata, para korban tak otomatis selamat. Sebab, saking rapinya sindikat pelacuran tersebut, tak jarang para korban kembali tertangkap oleh anak buah bapak ayam. Anggota sindikat itu biasanya menunggu di pintu-pintu keluar Malaysia, bahkan di Nunukan, Kaltim. Mereka juga turut mengancam staf KJRI yang menyelamatkan para korban. Wajah-wajah para staf itu dihapal oleh anggota komplotan dengan maksud untuk membuat perhitungan di kemudian hari. "Saya targetkan tiap bulan berusaha menyelamatkan wanita yang dijual. Dan kepada sindikat pelacuran, menyatakan perang. Kendati nyerempet bahaya dan mengancam jiwa, tapi demi tugaslah," Makdum melanjutkan.

Investigasi Tim Derap Hukum SCTV juga mengungkapkan bahwa selain Tawau, perempuan asal Indonesia juga disebar untuk dijadikan pelacur ke sejumlah daerah lainnya, seperti Kinabalu, Keningau, dan Samporna. Hingga saat ini, jumlah pelacur asal Indonesia diperkirakan mencapai ribuan orang. Sebagian dari mereka mungkin sengaja berprofesi sebagai pelacur. Tapi, tak sedikit juga yang memang merasa ditipu seperti yang dialami Lina, Rosi, atau Wati.

Wati mengaku keperawanannya dihargai sebesar 1.500 ringgit atau sekitar Rp 3.750.000. Gadis berusia 15 tahun asal Tuban, Jawa Timur, ini mengaku tak pernah menyangka akan tercebur di dunia hitam prostitusi. Yang dia tahu, sembilan bulan silam, tangannya ditepuk seorang lelaki di Terminal Osowilangun, Gresik, Jatim. Sejak itu, hidupnya pun berubah muram.

"Aku hanya ingat ada lelaki tepuk tanganku. Dia tawarkan pekerjaan, aku mau aja. Lalu [aku] dibawa ke rumah Bu Hariyati. Lepas itu ke Hotel LA terus ke asrama haji di Malaysia. Kak Arsyad (lelaki itu) bilang, kalau kau sekarang masih perawan, nanti pun tetap perawan. ..Aku nggak tahu kalau mau dibawa ke sana [Tawau]," kata Wati.

Sesampai di Malaysia, Wati kaget bukan kepalang. Bukannya bekerja di restoran sesuai yang dijanjikan, Wati justru disuruh menjadi pelacur. Dia dipaksa menyerahkan kegadisannya kepada lelaki hidung belang. Jika menolak perintah bapak ayam, pukulan dan siksaan pun langsung diterima tanpa ampun. Wati mengaku hidupnya hancur selama di Negeri Jiran. Jauh dari orang tua dan tak ada tempat buat mengadu. "Dia [bapak ayam] tahunya hanya uang saja," kata Wati, sedih.

Wati tergolong pelacur primadona di Hotel Hospital. Dalam sehari, dia dipaksa melayani hingga 15 orang. Di luar ini, terkadang Wati di-booking dengan tarif 200 ringgit atau Rp 500 ribu. Sepekan, dia mengaku di-booking lima orang.

Sebenarnya, Wati kerap melawan perintah Arsyad, sang bapak ayam. Caranya dengan menolak melayani tamu. Untungnya, perlawanan diam-diam ini tak diketahui Arsyad. "Cuma tamu yang main sama aku complain, begini-begini," kata Wati.

Wati menuturkan, saat SCTV berniat membebaskan, sebenarnya dirinya agak ragu-ragu. Sebab, orang-orang yang berlagak tulus seperti itu sudah banyak ada. Namun, buntutnya, Wati dan Lina-Lina yang lain justru dijual lagi ke bapak ayam yang lain. Tak heran, dia pun cenderung tak langsung percaya. "Seringkali ada orang yang ngaku keluargaku-lah dan mengajak aku pergi. Padahal di situ aku akan dijual balik. Itulah alasannya aku nggak percaya," kata Wati, polos. Saat keraguan itu melanda hati Wati, temannya satu profesi yang bernama Rina mengajak kabur. Rupanya, Rina juga ditawari ajakan serupa dari SCTV.

Lantaran tak tahan itulah, tekad Wati dan Rina semakin bulat untuk kabur. Mereka lalu mengiyakan bantuan Tim Derap Hukum SCTV. Dan, kedua pelacur ini akhirnya bisa kembali ke Tanah Air dengan segala risiko yang dihadapi di sepanjang jalan, seperti tindakan anak buah Arsyad yang terus menguntit mereka.

Selama dalam perjalanan, Wati terlihat pendiam. Nampaknya, dia mengkhawatirkan sikap keluarga di rumah yang nantinya tak menerima kehadirannya. Maklum, Wati pergi tanpa sepengetahuan orang tua. Dia mengaku kabur lantaran menolak dinikahkan dengan lelaki pilihan orang tua. Terlebih lagi dengan keberadaannya yang kini sebagai pelacur, Wati takut mereka tak mau menerima. Untungnya, perasaan ragu-ragu Wati bisa ditepis. Kedua orang tuanya mau menerima dengan tangan terbuka.

Ihwal orang tua Wati mau menerima sang buah hati sebenarnya tak serta merta berjalan mulus. Adalah inisiatif Tim Derap Hukum yang mengajak orang tua Wati ke sebuah hotel. Di tempat itu, orang tua Wati datang ditemani seorang bocah kecil yang nampaknya adik Wati. Sebelum dipertemukan, orang tua Wati sempat bercerita bahwa sang putri memang kabur karena tak mau dijodohkan. Tapi, yang jelas, sebelum kabur, status Wati sudah dinikahkan.

Dengan kata lain, mereka hendak mengatakan bahwa tindakan sang anak sudah lepas dari tanggung jawab orang tua. Mereka juga menceritakan bahwa dalam pelarian, Wati sempat menelepon. Saat itu, dia mengaku sudah bekerja di Jakarta.

Boleh jadi, kedua orang tua Wati telanjur kecewa melihat tingkah laku sang putri. Namun yang namanya anak, biar bagaimana pun orang tua tetap sayang. Makanya, bapak Wati yang bernama Asmuri mengaku selalu berdoa agar bisa dipertemukan lagi dengan putrinya. Sedangkan ibunya mengaku sudah beberapa kali ke orang pintar untuk menanyakan perihal keberadaan Wati. "Saya ucapkan terima kasih banyak kepada seluruh anggota SCTV terutama bapak [Insan] Kamil dan Budi [Sukmadianto], Konjen RI, Iwan [yang] menyelamatkan saya kembali ke kampung. Hanya itu saja yang bisa saya sampaikan," ujar Wati terisak.

Kini, Wati mengaku akan mengubur kenangan pahit itu di dalam hatinya. Baginya, berkumpul kembali dengan keluarga adalah anugerah yang tak ternilai. Apalagi, sebentar lagi akan datang Hari Raya Idul Fitri. Memang, bagi Wati, tak ada yang lebih indah ketimbang merayakan Lebaran bersama keluarga. (http://news.liputan6.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar