Minggu, 01 Juni 2014

Setelah Monyet, Kapan Pelacur?





 















Jika menertibkan monyet sudah, ditunggu aksi Gubernur Jokowi untuk menertibkan yang haram-haram.
Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan para monyet di Jakarta yang tak bisa beraksi lagi. Sedih atau justru gembira karena akan berpindah ke kebun binatang. Yang jelas mereka tak lagi bisa bergaya ala “Sarimin pergi ke pasar” yang mengundang senyum dan tawa.
Entah bagaimana pula perasaan anak-anak balita yang kehilangan hiburan merakyat itu. Tapi yang sudah ketahuan adalah perasaan para pemilik topeng monyet itu. Mereka sedih karena kehilangan mata pencahariannya.
Ya, topeng monyet dianggap melanggar Pasal 302 KUHP karena bukanlah hewan peliharaan dan habitatnya bukan di perkotaan. Monyet lebih baik hidup di alam bebas. Selain itu, para monyet ditertibkan karena bisa menularkan penyakit kepada manusia seperti rabies atau TBC. Begitu pula sebaliknya, manusia dapat menularkan penyakit ke monyet.
Tak hanya itu, menjamurnya topeng monyet mengamen di pinggir jalan Kota Jakarta dianggap mengganggu ketertiban umum dan keindahan kota. Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI bertekad membebaskan Jakarta dari topeng monyet 2014. Seluruh monyet yang dipekerjakan sebagai topeng monyet akan dibeli dan ditampung di Taman Margasatwa Ragunan untuk konservasi
Lebih Bahaya
Tentu, banyak pihak mendukung kebijakan untuk mengembalikan monyet ke habitatnya. Terlebih jika diniatkan untuk menjaga kelestarian binatang tersebut dan upaya preventif penyebaran penyakit melalui perantara monyet.
Yang dibutuhkan hanyalah memberi solusi bagi para pengamen topeng monyet tersebut. Dan itu sudah dipikirkan Pemprov DKI Jakarta. Dengan membeli monyet milik pengamen dan bukan sekadar merampasnya, diharapkan pengamen bisa mencari usaha lain dengan sedikit modal tersebut. Meski mungkin tak mudah bagi para pengamen, karena mereka tentunya sudah cukup lama mendapatkan rezeki dari topeng monyet. Tapi mau tak mau memang harus mencari solusi baru untuk membuka pintu nafkah.
Nah, jika menertibkan monyet sudah, ditunggu aksi Gubernur Jokowi untuk menertibkan “yang haram-haram”. Misalnya menertibkan para pelacur yang masih menjamur, tempat hiburan maksiat, miras, dll. Bukankah semua kemaksiatan tersebut jauh lebih besar bahayanya dibanding topeng monyet?
Jika monyet mengganggu ketertiban umum, keberadaan pelacur juga mengganggu “syahwat” kaum lelaki. Jika monyet menyebarkan rabies atau TBC, pelacur lebih membahayakan karena berpotensi menyebarkan penyakit menular seksual (PMS), termasuk di dalamnya HIV/Aids yang mematikan.
Demikian pula eksistensi tempat hiburan malam yang menjadi lokasi dugem, pesta miras, narkoba hingga pesta seks. Semua itu menyebarkan penyakit sosial berupa kemerosotan moral yang sangat membahayakan umat manusia, khususnya generasi muda. Sudah selayaknya jika hal tersebut menjadi perhatian besar agar segera dienyahkan dari Jakarta.
Ya, bisakah Jakarta menjadi kota yang bersih dari kemaksiatan? Bisakah Jakarta bebas pelacuran?  Jakarta sebagai ibukota negeri Muslim terbesar di dunia jangan malah menjadi ikon suburnya dunia gemerlap alias maksiat dan kemudian ditiru seluruh kota-kota besar (bahkan kecil) di pelosok negeri ini. Buktinya, dunia malam ala Jakarta sekarang sudah merambah ke berbagai daerah.
Jakarta seharusnya menjadi mercusuar tegaknya nilai-nilai kehidupan religius mengingat posisinya sebagai ibukota negeri muslim terbesar di dunia. Jika Jakarta menjadi kota bebas maksiat, niscaya kota-kota lain bisa diciptakan hal yang sama. Dan Jakarta akan berkah jika diterapkan syariah.

Prioritas
Mengapa pelacuran menjadi problem sosial yang harus diprioritaskan, karena transaksi prostitusi sungguh luar biasa. Berdasarkan perhitungan Biro Riset Infobank (birl), nilai transaksi prostitusi per bulan sekitar Rp 5,5 trilyun.
Angka itu berdasarkan asumsi jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang dikeluarkan beberapa lembaga seperti United Nations Development Programme (UNDP), Dinas Sosial, dan Komisi Penanggunalan AIDS (KPA), bahwa jumlah PSK di Indonesia sekitar 193.000-272.000. Angka ini tak berlebihan. Di luar Jawa seperti Bangka Belitung (Babel) saja, misalnya, Dinas Sosial merilis ada sekitar 7.441 PSK pada 2011.(infobank.news.com, 23/8/12).
Di Surabaya, dari enam lokalisasi saja ada sekitar 2.027 orang dengan 612 mucikari per 2011. Jumlah itu termasuk mengalami penyusutan ketimbang 2009 yang mencapai 3.225 PSK dan 868 mucikari. Di tempat lokalisasi seperti itu per satu orang PSK rata-rata mendapat pelanggan dua hingga tiga orang dalam sehari.
Untuk jumlah PSK, Jakarta mencatatkan angga tertinggi. Peramu nikmat di Ibukota Jakarta diperkirakan mencapai 23.000 hingga 27.000 orang. Angka itu belum termasuk jumlah PSK yang merangkap bekerja di tempat hiburan malam dan bekerja secara silently. Per 2011 pekerja hiburan malam di Jakarta mencapai 670.000 orang.
Berdasarkan hasil penelusuran tim Infobank, pekerja hiburan malam banyak yang merangkap sebagai wanita prostitusi. Di beberapa panti pijat, misalnya, wanita-wanita muda yang berprofesi sebagai terapis juga merangkap sebagai peramu nikmat. Bahkan, nilai transaksinya jauh lebih besar daripada hasil yang diperoleh panti pijat tempatnya berpraktik.
Tentu saja, kondisi ini sangat meresahkan. Hal itu menyebabkan menjamurnya kemerosotan moral. Keberadaan mereka memberi peluang bagi para lelaki hidung belang. Akibat selanjutnya, kegoncangan rumah tangga karena suami yang suka ‘jajan’, penularan penyakit seksual dan termasuk kelahiran bayi-bayi tanpa nasab yang jelas.
Bukan Mustahil
Problem pelacuran menjadi salah satu penyakit sosial paling tua di kota-kota besar. Belum ada pemimpin negeri ini yang benar-benar mampu menumpas pelacuran tuntas hingga ke akar-akarnya. Padahal, bukan mustahil jika Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya bisa bebas dari pelacuran.
Dulu, Jakarta punya Kramat Tunggak yang merupakan lokalisasi pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Tahun 1990-an, jumlah pelacurnya lebih dari 2.000 orang di bawah kontrol sekira 258 mucikari. Tempat ini juga menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 700 pembantu pengasuh, sekira 800 pedagang asongan, dan 155 tukang ojek. Belum lagi tukang cuci dan pemilik warung-warung makanan yang bertebaran di sekitarnya. Lahan lokalisasi juga terus berkembang hingga 12 hektare. Namun pada 1999, atas ide Gubernur Sutiyoso, lokalisasi ini ditutup dan dibangun Jakarta Islamic Centre di sana.
Jadi, bukan tidak mungkin pelacuran bisa dihilangkan. Lagipula, para pelacur itu juga manusia. Sebagian dari mereka terjerumus di lembah hitam karena keterpaksaan. Desakan ekonomi, begitulah alasan klasiknya. Jika mereka dientaskan dan diberi kehidupan normal yang layak, naluri normal mereka niscaya tidak akan menolak. Terlebih jika usia semakin senja, akankah mereka melacur selamanya? Atau bahkan mewariskan profesinya itu pada anak cucunya?
Sungguh kejam jika hal ini terus dibiarkan. Penghapusan pelacuran di Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya, sangat penting agar tidak terjadi regenerasi prostitusi. Jangan sampai generasi muda yang saat ini begitu dekat dengan pergaulan bebas, mewarisi pelacuran sebagai pelampiasan.
Bukankah sekarang sudah begitu banyak gadis-gadis remaja menjadi korban perdagangan manusia? Mereka terjerumus ke lembah hitam, menggantikan para pendahulunya yang semakin layu dan tak lagi laku. Naúzubillahiminzalik. Hentikan itu semua dengan menerapkan syariah Islam. (http://mediaumat.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar