Sabtu, 31 Mei 2014

Elegi Malam Gang Permata



PETANG belum pula beranjak malam. Namun tamu Wisma Mami Trimo, yang terletak di ujung Gang Permata sebuah lokalisasi tak resmi Rawa Silir, sudah berdatangan. Sementara, Surtini sang primadona belum juga keluar dari kamar. Ia masih asyik melukis bulan sabit di atas mata dan melentikkan bulu matanya.
Malam ini ia ada janji dengan pelanggannya yang blantik sapi. Tapi, malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Ada sesuatu yang spesial di antara mereka berdua. Sebab itu ia merias demikian sempurna agar tampil memuaskan.
Tamu yang lain masih dapat dilayani oleh kawan-kawan sewisma Surtini. Selera tamu-tamu petang di ambang malam ini belum sampai pada puncak kenikmatan sajian Surtini sang primadona. Terlebih lagi belum ada tamu sekelas atau sekelas lebih tinggi dari sang blantik sapi.
Alkisah petang di ambang malam itu berlalu begitu saja bagi Surtini. Ia tetap belum bersedia menerima siapapun kecuali Tukino sang blantik sapi. Beruntung Mami Trimo –ibu asuh wisma—dapat menerima sikap Surtini.
Surtini teringat malam kemarin ketika ngobrol-ngobrol dengan Tukino. Pagi tadi, Tukino kebanjiran rezeqi lantaran 100 ekor sapinya diborong habis buat memenuhi nazar seorang anak keluarga tajir.
Alangkah banyaknya duit yang ada di kantong Tukino hari ini, senyum Surtini dalam hati. Semalaman ia membayangkan bakal memperoleh duit lebih daripada biasanya. Hanya dari Tukino seorang. Alangkah mudahnya, gumamnya lagi seorang diri.
Tukino. Surtini mengenalnya sudah cukup lama. Tidak lama setelah ia resmi menjadi penghuni Wisma Mami Trimo. Tidak ada yang istimewa pada sosok laki-laki setengah baya itu. Wajahnya biasa saja, tanpa kekhasan.
Umurnya barangkali sama dengan bapaknya Surtini yang tinggal nun jauh di kampung halaman. Tingginya pun tidak jauh berbeda. Bahkan barangkali sama, kalau saja Tukino tidak sedikit bungkuk. Rambutnya masih hitam legam, namun giginya nampak kecoklatan dimakan tembakau.
Satu lagi yang mirip dengan bapaknya adalah suaranya. Tapi Tukino bukanlah bapaknya. Begitu selalu kata Surtini dalam hati setiap kali nuraninya tersentak mendengar suaranya. Suara bariton bapaknya. Suara yang dulu selalu mengejarnya untuk belajar mengaji dan shalat lima waktu. Ah, begitu kontras kehidupannya kini dengan masa kanak-kanak dulu.
Seperti apa gerangan bapaknya kini. Sudah tuakah? Tentu sekarang sangat menderita dengan kedua kaki yang lumpuh. Ah, terlalu lama sekali ia tak sua lagi dengan keluarganya. Sejak ia memasuki lumpur kelam ini. Hanya Yanto adiknya yang menjembatani komunikasi dirinya dengan keluarganya. Melalui cerita Yanto lah ia dapat membayangkan keadaan bapaknya, adik-adiknya, dan anaknya semata wayang yang segera menjadi kembang desa.
***
 JAM di dinding Wisma Mami Trimo tepat menunjuk pukul tujuh malam. Waktu yang dijanjikan Tukino kemarin malam. Namun, Tukino belum jua menampakkan batang hidungnya. Surtini sudah siap di etalase. Tak jauh duduk Mami Trimo memperhatikannya.
Sejenak matanya diedarkan ke sekeliling ruangan etalase. Tidak ada Tukino yang ditunggunya! Tiba-tiba matanya berpapasan dengan Sapto. Pengunjung tetap yang satu ini pelanggannya. Bukan pula yang lain. Tiap kali datang, dia sekadar minum dan ngobrol. Tapi semua penghuni Wisma Trimo menyukainya. Karena kadang-kadang dia mau membantu manakala ada pemuda yang iseng mengganggu.
Surtini cuma tersenyum ketika Sapto datang mendekat.
“Malem Mbak Tin,” sapa Sapto ramah.
“Malem juga,” sahutnya singkat.
“Ada yang ditunggu?” tanya Sapto lagi.
“Iya nih, aku menunggu Mas Tukino yang blantik sapi itu,” kata Surtini.
“Sambil nunggu boleh dong aku temani ngobrol,” pinta Sapto.
“Boleh, tapi sudah minta izin Mami belum?” tukas Surtini seraya melirik ke arah Mami Trimo.
“Ah, biasanya aku tak perlu minta izin!”
“Malam ini beda, aku sudah mengikat janji spesial dengan Mas Tukino,” Surtini jual mahal.
“Daripada Mbak Tin bengong sendirian, kan lebih baik kita bunuh waktu dengan ngobrol-ngobrol,” Sapto terus mendesak.
“Okelah kalau begitu,” akhirnya Surtini mengalah.
Sapto memang dikenal baik oleh Mami Trimo kendati tak pernah lebih daripada sekadar minum.
Mereka lalu ngobrol ngalor-ngidul. Sapto memang enak diajak ngobrol. Sehingga, Surtini sejenak lupa dengan orang yang ditunggunya.
“Bagaimana Mbak Tin sampai di Wisma Mami Trimo ini? Jadi primadona lagi,” tanya Sapto perlahan.
“Ah, ingin tahu urusan orang saja,” Surtini mengelak.
“Bukan, aku dengar ... bapakmu merupakan sosok yang cukup ketat dalam mendidik anak-anak dan lagi dikenal sebagai tokoh agama di kampungmu,” Sapto memancing.
“He-eh, kami memang dididik sangat ketat oleh bapak. Kekerasannya dalam mendidik kami, membuat kami terkekang. Kami tak boleh sedikitpun membuat kesalahan. Kalau sampai bapak tahu, kami bolos mengaji atau malas mengikuti kuliah subuh, apalagi kalau sampai lupa shalat, jangan diharap kami bisa lepas dari cambukan rotan. Itu kami alami sampai lulus sekolah dasar,” panjang-lebar Surtini berkisah ringan.
Sapto diam tak berkomentar. Ditawarinya Surtini rokok. Surtini tak menolak, diambilnya sebatang lalu dinyalakannya. Dalam embusan asap yang pertama Surtini melanjutkan kisahnya.
“Lulus sekolah dasar, aku disekolahkan di kota kabupaten yang berjarak 30 kilometer dari desaku. Jauh dari bapak ternyata mengasyikkan. Semua bisa dikerjakan. Semua serba bebas. Kadang-kadang saja aku menjalankan apa yang diajarkan oleh bapak.”
“Jadi kau merasa terbebas.”
“Begitulah!”
“Lantas, bagaimana Mbak Tin bisa berkenalan dengan dunia yang demikian berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kecil Mbak ini?”
“Wah, ceritanya panjang Mas,” ucap Surtini sambil ngeloyor menjumpai Mami Trimo untuk menanyakan apakan Tukino sang blantik sapi sudah datang.
“Ceritanya panjang Mas dan sepertinya klasik. Di kota perantauan itu, aku bersekolah sampai akademi. Nah, saat kuliah di akademi, aku berkenalan dengan seorang pemuda yang mengaku dari Jakarta. Mulai saat itu, aku berpacaran dengan pemuda tampan itu. Dan, aku betul-betul lepas kendali, jatuh ke pelukannya dan kami melangkah terlampau jauh.”
“Ketika aku hamil dan minta pertanggung-jawabannya, ia langsung ngacir ke Jakarta. Aku tak pernah tahu lagi di mana alamatnya di Jakarta yang demikian besar ini,” papar Surtini usai menjumpai Mami Trimo.
“Dan, Mbak Tin langsung menceburkan diri di lokalisasi tak resmi ini,” tanya Sapto prihatin.
Nggak Mas! Saat itu aku sadar. Aku jadi teringat bapak. Bapak ternyata benar. Aku menyesal sekali. Tapi untuk pulang aku malu. Setelah melahirkan anakku dan kutitipkan pada ibu, aku mulai mencari kerja. Aku tak mungkin lagi meminta uang pada bapak. Karena aku dengar bapak murka sekali mendengar apa yang aku lakukan. Dan aku tidak mungkin meneruskan kuliah tanpa biaya. Maka bermodal suara, aku mulai menjadi penyanyi di sebuah klub malam.”
“sejalan dengan itu, aku dengar bapakku lumpuh. Aku tak tahu pasti apa penyebabnya. Aku semakin taku pulang. Aku merasa kelumpuhannya karena ulahku. Akulah penyebabnya, begitu selalu yang terngiang dalam telingaku.”
Lalu?” tanya Sapto tertegun.
“Aku jadi berkeinginan kuat untuk menyembuhkan bapak. Bapak yang telah pensiun itu tidak mungkin berobat. Biaya dari mana? Ibuku bukan orang kantoran. Kakak dan adikku bekerja dengan gaji yang biasa-biasa saja. Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Dari situlah aku mulai menerima ajakan ngamar para tamu klub malam tempatku bekerja. Satu-dua kali, ternyata hasilnya lebih besar daripada sekadar menyanyi. Bisa ditebak ‘kan, aku keterusan dan aku sangat disukai cukong-cukong berkantong tebal di kota ini. Sampai kemudian cukong-cukong yang acap mengajakku ngamar itu merasa bosan, mereka ingin mencari daun muda. Aku tidak populer lagi di mata mereka. Penghasilanku pun menyusut, tak sebanyak saat masih 25-an tahun,” Surtini dengan mata menerawang.
Punten, kalau aku membangkitkan memori lama Mbak,” Sapto pura-pura merasa bersalah sambil menyodorkan segelas air putih.
“Menyadari aku tak laku lagi di kota itu, aku lalu lari ke Jakarta. Aku sempat mampir di Prapanca dan melayani cukong-cukong berkantong tebal. Cukup lama juga aku di situ. Hasilnya, aku bisa membangun rumah termewah di desaku dan memenuhi kebutuhan sehari-hari di atas rata-rata kelayakan warga desaku. Tapi bapak tetap tidak bisa sembuh. Bapak tidak punya gairah untuk hidup, kata adikku. Entahlah, apa yang ada di benak bapak,” tutur Surtini.
“Lantas, nasibmu sama lagi dengan saat di kota Bengawan?” tanya Sapto memastikan.
“Betul. Aku baru enam bulan di lokalisasi tak resmi ini. Selama itu pula aku menjadi primadona, banyak cukong-cukong pas-pasan yang selalu memesan aku pada Mami Trimo. Yah, satu malam kadang-kadang sampai harus melayani lima tamu. Tapi, malam ini aku hanya ingin melayani satu tamu, Tukino sang blantik sapi,” ungkap Surtini dari lubuk hati terdalam.
***
TAK terasa waktu bergulir. Dua jam sudah Surtini ngobrol dengan Sapto. Tamu yang ditunggu Surtini datang tatkala jam di pergelangan tangan Surtini sudah menunjuk jam sembilan malam.
“Eh... Mas Tukino, ke mana saja, jam segini baru nongol?” sapa ramah Surtini pada Tukini sang blantik sapi.
“Tadi ada sedikit urusan,” sahutnya tanpa ekspresi.
Tanpa basa-basi lagi, Surtini langsung mengajak Tukino ke kamarnya. “Ayo Mas, pokoknya malam ini kita buat malam paling mengasyikkan dalam sejarah panjang karirku,” Surtini menggelayut di pundak Tukino.
Keduanya langsung ngamar.
Sapto menatap keduanya dengan senyum-senyum. Lalu diayunkan langkahnya menghampiri Mami Trimo.
“Mi, bagaimana prospek Mbak Tin di sini?” tanya Sapto.
“Susah diharapkan, ia itu kan baru tapi lama. Memang wajah dan bodinya masih yahud. Tapi, umurnya tak mampu menipu. Aku pikir tak sampai setahun di sini, ia mesti pindah lagi agar kelihatan senantiasa baru,” tutur Mami Trimo.
“Kenapa Mami mau menerimanya? Sudah tahu umurnya di sini tak bakalan panjang, apa untungnya,” ujar Sapto lagi.
“Aku ini cuma menolong, ia itu anak penceramah agama di desaku. Di Jakarta ini ia terlunta-lunta setelah mampir di Prapanca. Sementara ia butuh duit banyak, terutama setiap adiknya datang. Jadi, yah aku tampung. Eh, nggak tahunya di sini malah jadi primadona. Ya, rezeqiku. Sekiranya nanti tak laku lagi, ya aku oper ke Mami Marmi di lokalisasi tak resmi di pinggiran Surabaya,” jawab Mami Trimo yang telah cukup lama membuka usaha di pinggiran Jakarta Timur ini.
“Kalau begitu proyek rugi dong!” ledek Sapto.
“Ah, kami ini bisa saja,” ucap Mami Trimo sembari melemparkan kipas yang sedari tadi digenggamnya.
“Iya kan, Mami biasanya memilih perempuan-perempuan bau kencur dari pantai utara atau lereng gunung kapur selatan. Benar kan kataku,” Sapto masih ingin meledek.
“Sok tahu kamu ini!” Mami Trimo singkat.
Kemudian obrolan mereka beralih ke lingkungan Wisma Mami Trimo sampai desas-desus bakal digurusnya lokalisasi tak resmi itu. Sapto menikmati sekali obrolan dengan wanita setengah tua ini. Sekilas orang akan mengira kalau Mami Trimo ini seorang penguasa, yang memeras keringat anak-anak asuhnya.
Padahal, dari obrolan Sapto dengan beberapa orang anak asuhnya, tak satu pun yang mengeluh. Hubungan mereka seperti tak ubahnya ibu dan anak. Satu sikap yang barangkali tak dijumpai di lokalisasi lain, Mami Trimo sangat menghargai anak buahnya.
“Mi, sudah lebih dari satu jam Tukino dan Surtini ngamar. Tumben, biasanya paling lama setengah jam. Jangan, jangan ...,” Sapto tak melanjutkan lagi.
“Jangan, jangan apa? Biarlah kita tunggu lima menit lagi, ia kan berjanji memberi layanan spesial pada Tukino malam ini,” ujar Mami Trimo menenangkan diri sendiri.
Lima menit berselang, Surtini dan Tukino belum jua keluar kamar. Akhirnya Sapto dan Mami Trimo sepakat menghampiri kamar mereka.
“Mi, dikunci dari dalam,” kata Sapto saat berusaha membuka pintu kamar mereka.
“Ah ... yang benar! Coba ketuk,” pinta Mami Trimo.
Beberapa kali Sapto mengetuk. Tiada jawaban pula. Membisu. Tak bersuara. Tak ada cekakak-cekikik khas saat Surtini ngamar seperti malam-malam sebelumnya.
“Dobrak saja pintunya!” teriak Mami Trimo panik.
Sapto lantas ambil ancang-ancang. Satu, dua, tiga ... blaar! Pintu langsung jebol.
Astaga. Surtini sudah terkulai kaku, tak sehelai benang pun membelit tubuhnya yang putih mulus. Lima bekas tusukan ada di leher, dada dan ulu hatinya.
“Oh Surtiniiiii.....” jerit Mami Trimo panjang. Lalu tak bersuara lagi. Jatuh. Tak sadarkan diri.
Lantas tiba-tiba anak muda yang dikenal sebagai adiknya Surtini datang menerjang kerumunan, “Mbak Tin, kok jadi begini. Mana bapak, di mana bapakku ...” ***
Bekasi, November 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar