Senin, 07 Desember 2015

Joris Misa Lato mengentas PSK



Joris Misa Lato ibarat pahlawan untuk anak-anak yang dilacurkan. Lelaki kelahiran Ende, Nusa Tenggara Timur, itu merupakan salah seorang motor evakuasi pelacur di bawah umur dari sejumlah lokalisasi di Surabaya. Salah satu obsesinya, mengubah Lokalisasi Dupak Bangunsari menjadi kampung permukiman warga.

SUMBER: Jawa Pos, Minggu, 23 November 2008

Bagaimana Anda melihat Lokalisasi Dupak Bangunsari dibanding lokalisasi lain di Surabaya?

Dupak memang berbeda, terutama jika dibanding Dolly dan lokalisasi lain. Sejak dulu, masyarakat di tempat itu menyatu dengan kehidupan para PSK. Segala aktivitas kelam berbaur dengan kehidupan sosial.

Seperti apa imbasnya?

Imbas PSK memang ada yang negatif dan ada yang positif. Kalau yang positif ya dari sisi ekonomi. Mereka yang punya warung jadi ramai. Yang negatif, sudah pasti. Kami menemukan ada remaja yang ternyata mengidap penyakit menular seksual. Nah, karena itu, kami tidak hanya bergerak mendekati PSK, tapi juga memberi pemahaman kepada masyarakat umum.

Apa yang Anda lakukan kepada PSK?

Kami berdialog dan mengajak mereka berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat umum. Itu dimaksudkan agar mereka memiliki kesadaran kritis terhadap diri dan kehidupannya. Kalau mereka mau ke arah itu, pasti akan melakukan tindakan yang menurut mereka sendiri perlu. Jadi, peran kami tidak mengarahkan mereka untuk begini dan begitu. Kami hanya memberikan pemahaman.

Pemahaman seperti apa?

Kami sampaikan kepada mereka segala konsekuensi dari pilihan hidup menjadi PSK. Mereka yang ingin bertahan harus tahu konsekuensi yang bakal dihadapi. Baik dari segi kesehatan maupun pandangan sosial. Begitu juga yang keluar. Intinya, PSK haru siap menerima pilihan hidup mereka ke depan.

Apakah tidak merasa kesulitan saat masuk ke komunitas PSK?

Memang, sangat sulit mendatangi mereka dan mengajak mereka dalam sebuah kegiatan. Mereka kan kebanyakan tidak mau hidupnya diatur-atur. Kami biasanya masuk dengan memanfaatkan isu HIV/AIDS. Jadi, acaranya soal penyuluhan HIV/AIDS, tapi isinya lain.

Bagaimana dengan masyarakat sekitar lokalisasi?

Beberapa warga memang rentan terpengaruh. Kalau mereka terkena penyakit menular seksual, imbasnya nanti pada anak-anak yang dilahirkan istri mereka. Sebab, bila tertular dari suami, penyakit tersebut akan memengaruhi kesehatan rahim.

Upaya yang dilakukan untuk warga?

Kami lebih fokus kepada pemuda. Apalagi, remaja di sini rentan masuk ke dalam kehidupan PSK. Indikasinya jelas. Kami menemukan beberapa pemuda yang terkena infeksi menular seksual. Bukan hanya itu, lingkungan di sini yang kurang ideal bisa membuat mereka terjerumus ke obat-obatan, miras, dan sebagainya.

Karena itulah, kami membangun posko hotline yang bisa digunakan para pemuda untuk berkumpul. Mau apa saja terserah. Mau membaca buku, mau main musik, bisa. Pokoknya, mereka lakukan apa saja, silakan. Daripada mereka bermain di luar yang rawan penyakit sosial.

Cukup tempat berkumpul saja?

Mereka juga kami rangsang untuk membuat kelompok atau komunitas pemuda. Mereka sendiri yang tahu kebutuhannya apa dan mereka yang menjalankan.

Komunitas apa saja itu?

Ada dua. Yaitu, Barsa, singkatan dari Barisan Remaja Bangunsari dan Keong.com, yaitu Kremil Young Community. Kegiatan mereka macam-macam. Ada pentas teater, aksi damai. Lewat teater itu, mereka banyak menyampaikan pesan kepada rekan-rekannya agar bisa menjaga diri. Selain itu, mereka bisa berperan mendidik warga lain melalui kegiatan-kegiatannya. Apalagi, mereka warga asli sini. Jadi, mereka pasti lebih memahami apa yang sesuai dengan masyarakat setempat.

Apakah upaya tersebut berhasil?

Ada seorang anak yang dilacurkan di sini dulu. Dia di sini sejak usia 15 tahun. Saat tiba di sini, dia menjadi primadona. Setiap hari melayani lebih dari sepuluh pelanggan. Bahkan, penghasilannya bisa mencapai Rp 500 ribu per hari biasa.

Kami lantas mendekati dia dan mengajak beraktivitas di Posko Hotline Dupak Bangunsari Gang VIII Nomor 15. Awalnya dia menolak. Namun, lama-kelamaan dia malah aktif ikut meramaikan posko.

Apakah tidak ada hambatan dalam pendekatan tersebut?

Jelas ada. Awalnya, saya mengajak dia berbincang secara rutin. Setelah lama saya dekati, saya kira kami sudah cukup dekat. Lantas saya tanya berapa uang yang sekarang sudah dia kumpulkan. Dia bilang Rp 27 juta dan ingin beli rumah. Saya tawari dia rumah di Gresik seharga Rp 21 juta. Dia langsung marah dan menyebut saya bajingan. Dia kira saya hendak menipu dengan menawarkan rumah tersebut.

Namun, kami terus berusaha mendekat. Kami tanamkan kepercayaan kepada dia bahwa kami tidak ingin mencelakakannya. Dia merelakan penghasilannya dan malah kini menjadi leader dalam menangani persoalan trafficking serta upaya pencegahan penyakit infeksi menular seksual.

Anda sudah melakukan beberapa evakuasi terhadap anak-anak yang dilacurkan dari beberapa lokalisasi. Di mana saja itu?

Dupak Bangunsari pernah, di Merauke, Batam, dan Malaysia.

Bagaimana Anda mengetahui ada anak yang dilacurkan di lokalisasi tersebut?

Di Merauke, misalnya. Dari jaringan informasi yang kami miliki, ada informasi seorang anak di bawah umur dilacurkan di sebuah rumah bordil. Kami lantas memburu kejelasan informasi di sana.

Ternyata, anak tersebut berasal dari Pasuruan. Usianya 15 tahun. Saat itu, ada seseorang yang menawari pekerjaan di Merauke. Katanya kerja di restoran. Gajinya bisa sampai Rp 2 juta per bulan. Dia mau saja. Ternyata, di sana dia dijual ke tempat pelacuran. Kami langsung bergerak mengevakuasi.

Bagaimana proses evakuasi yang dilakukan?

Dengan bantuan Yayasan Pemberdayaan Perempuan (YPP), kami menjemput dia bersama orang tuanya. Kami juga mempersiapkan berkas-berkas untuk menuntut calo yang menjual dia di rumah bordil tersebut. Bukti-bukti kami kuat. Calo tersebut akhirnya divonis lima tahun penjara dan diharuskan membayar denda Rp 150 juta. Mungkin itu adalah kasus hukum pertama yang mengadili tersangka trafficking.

Di tempat lain?

Kami pernah mendapat informasi dari sebuah lokalisasi di Batam tentang adanya empat anak dari Jatim yang dilacurkan di sebuah lokalisasi di sana. Anak-anak itu berasal dari sebuah desa di Madura. Jaringan di Batam tidak menyebutkan desa mana tepatnya. Nama anak-anak itu pun tidak akurat. Sebab, mereka di sana kan ganti-ganti nama.

Saya nekat pergi ke Madura. Di sana, saya mendapat informasi adanya desa yang anak-anaknya banyak keluar kampung untuk bekerja. Mencari nama orang tuanya di desa itu pun tidak mudah. Saya tidak mungkin mengatakan kepada mereka siapa yang anaknya menjadi korban trafficking. Terpaksa, saya harus menyamar menjadi calo atau trafficker. Ternyata malah ketemu.

Sebelum menjemput anak tersebut, saya persiapkan lingkungan dia di desa asalnya. Saya kondisikan masyarakatnya dengan bantuan tokoh setempat. Setelah itu, bersama orang tua dan dua anggota dewan, saya menjemput mereka di Batam.

Tidak ada kesulitan menjemput mereka?

Saya memang sempat khawatir proses evakuasi akan sulit. Sebab, untuk keluar dari lokalisasi, pasti sulit karena penjagaan preman. Setelah sampai di sana, ternyata para penjaganya orang keriting-keriting (masyarakat Indonesia Timur, Red). Saya langsung masuk dan tidak ada yang berani mencegah. Mereka malah sungkan.

Apakah banyak PSK yang akhirnya keluar dari lokalisasi?

Di Dupak Bangunsari sudah sangat banyak. Entah jumlahnya sampai berapa, saya tidak menghitung. Kami sempat mengalami booming PSK keluar. Sekitar 2001 sampai 2003 lah. Tapi, itu bukan berarti mereka keluar dari lokalisasi karena upaya kami. Mereka bisa keluar itu karena mereka mau bekerja sama dengan kami. Sebisa mungkin mereka keluar karena ada kemauan dari diri sendiri. (aga/fat)

Tentang Joris Misa Lato

Lahir: Ende, Nusa Tenggara Timur, 19 Maret 1966

Riwayat Pendidikan

- SDK Puu Kou 1973-1980
- SMPK Inemete 1980-1983
- SMAN Ende 1983-1986
- Universitas Merdeka Malang 1986-1991

Jabatan

- Staf Lapangan Hotline Surabaya 1991-2000
- Koordinator Program Hotline Surabaya 2000 sampai sekarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar