Sabtu, 14 November 2015

Bedanya Taksi Pelacur Jepang dan Indonesia

 

Membaca laporan koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo, tentang aktivitas Baishun Takusi (Taksi Pelacuran) di Jepang, Saya jadi ingat masa lalu. Ketika masih aktif di dunia jurnalistik cetak, Saya pernah melakukan investigasi sekitar kehidupan seks orang-orang lokal di Indoneisa, entah itu seksnya orang yang tidak penting maupun seksnya orang penting. Di Indonesia, ada juga layanan seks yang memanfaatkan armada taksi. Apa bedanya layanan seks taksi di Jepang dan Indonesia?


Menurut laporan Richard Susilo di Tribunnews.com,  pelacuran dalam taksi (Baishun Takusi) belakangan ini mejadi sebuah bisnis baru di Tokyo. Bahkan, Baishun Takusidisebutkan sedang menjadi trendi di Jepang dan banyak dicari lelaki kota besar, terutama di Tokyo. Artinya, aktivitas pelacuran di Jepang tidak lagi statis di satu tempat, tapi bisa bergerak menggunakan mobil, termasuk dalam taksi. “mereka melakukan di dalam mobil van, mobil besar pintu sorong (sliding door), biasanya mobil warna putih dan kaca hitam biar tidak kelihatan dari luar,” ungkap sumber seperti dilansir Tribunnews.com.

Konsumen Baishun Takusi boleh memesan taksi dengan menelpon. Setelah datang menjemput pemesan, taksi bergerak menuju satu tempat agak jauh agar ada waktu untuk bermain seks. Jadi selain harus bayar layanan seks, para konsumen juga harus bayar argo taksi. Untuk tariff dari bandara Narita ke tengah kota Tokyo misalnya, akan memakan waktu sekitar satu jam. Biaya argo meter taksi sekitar 35.000 yen, sedang biaya layanan seksnya 30.000 yen. Hanya saja,  bisnis baru ini masih terbatas dan hanya tersebar dari dari mulut ke mulut.

Di Indonesia, di antara pengemudi taksi yang beroperasi di berbagai kota, tidak sedikit yang terlibat dalam bisnis pelacuran. Ini Saya ketahui sejak dulu ketika masih aktif sebagai jurnalis dan melakukan investigasi sekitar pelacuran.  Bedanya, layanan seks yang melibatkan sopir taksi di Indonesia ini tidak dilakukan di dalam taksi seperti di Jepang. Untuk antar jemputnya memang menggunakan taksi, tapi untuk layanan seksnya masih dilakukan di kamar hotel. Karena itu, bila naik taksi cobalah menyelidik kepada sopir taksi soal jasa layanan pelacuran. Kalau pintar mengorek keterangan, mungkin saja Anda akan memperoleh informasi cukup menarik dan mengejutkan.

Dari sopir taksi yang pernah Saya korek keterangannya, tidak sedikit yang menyimpan nomor kontak para pelacur. Dengan kata lain, tampaknya sudah ada kerjasama khusus secara diam-diam antara sopir dengan para pelacurnya. Di antara pelacur yang bekerjasama dengan sopir taksi ini ada yang masih mahasiswa dan ada juga ibu rumah tangga yang kesulitan ekonomi.

Jadi para pelacur yang ngobyek bersama sopir taksi ini tidak seperti pelacur pada umumnya, yang sengaja memamerkan tubuh sesksinya di kawasan kompleks pelacuran atau tempat hiburan malam kota besar. Dalam kehidupan kesehariannya, mereka tetap seperti perempuan baik-baik pada umumnya. Namun, di balik penampilannya yang alim ada sesuatu rahasia disembunyikan bersama sopir taksi.

Yang menarik, ketika di satu kota ada event besar yang melibatkan banyak tamu dari luar kota, sopir taksi yang terlibat dalam pelacuran modern ini dapat memperoleh job dobel, yakni jasa antar jemput tamu maupun jasa antar jemput pelacurnya. Jadi jangan heran, kalau penghasilan sopir taksi bisa cukup besar pula. Sebab, selain mendapat bayaran argo, mereka juga mendapatkan komisi dari para pelacur.

Nah, dari sinilah, Saya menjadi semakin yakin bahwa pelacuran tidak akan mungkin dihapus dari muka bumi ini. Meski ada pemerintah daerah yang melakukan penutupan lokalisasi, transaksi seks tetap dapat dijalan dari mana saja, termasuk dari dalam taksi melalui telepon sel. Kalau angka HIV/AIDS di Indonesia dewasa ini makin naik, patut diduga hal itu sangat terkait erat dengan praktik pelacuran. Sebab, salah satu penyebab naiknya HIV/AIDS di Indonesia juga akibat adanya aktivitas seks bebas semacam ini.

Dari fenomena pelacuran ini pula, Saya melihat adanya benturan kultural dari dua kutub yang berbeda, yakni  sekuler (liberal) dan puritan. Lantas, bagaimana dengan Anda? Apakah mau mencoba menikmati seks bebas lewat jasa taksi dengan “bonus” terkena  HIV/AIDS? Silakan saja pilih sendiri. Yang jelas, dunia ini memang bisa dijadikan syurga bagi para pemburu kenikmatan. Namun dunia ini juga bisa menjadi neraka bagi mereka yang merindukan kedamaian batin. [Kompasiana-SutrisnoBudiharto]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar