Kamis, 10 September 2015

TINJAUAN ETIS TEOLOGIS TERHADAP PELACURAN

Pandangan Alkitab Tentang Seks
Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Dalam kej 1 : 27, dikatakan demikian : “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Konsep yang sama diajarkan Paulus dalam kolese 3 : 10 dan yakobus 3 : 9 dalam perjanjian baru. Bersamaan dengan itu Allah juga memberikan tujuan hidup bagi manusia, yaitu agar mereka dapat bersekutu dan bergaul dengan Allah. Uhan bercakap-cakap dengan manusia seperti seorang bapa bercakap-cakap dengan anaknya. Tuhan mengikat manusia dengan suatu perjanjian, dan mereka pun akan menjawabnya. Namun, oleh karena dosa, manusia kehilangan tujuan yang ditetapkan Allah. Meskipun demikian, Allah tidak selamanya membiarkan manusia kehilangan tujuan yang telah ditetapkan-Nya. Sebab itu, Ia kemudian mengutus Anak-Nya yang Tunggal, yaitu Yesus Kristus, sehingga manusia dapat kembali kepada tujuannya.
Allah menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan, agar mereka dapat saling melengkapi dan melayani. Mereka diciptakan dengan jiwa, pribadi dan pikiran (rohani, emosi, hubungan sosial dan moral). Pada saat yang sama pula Tuhan menciptakan mereka dengan tubuh daging yang bersifat fisik (kemampuan reproduksi, seksual). Tetapi, banyak orang yang sebenarnya tidak tahu atau tahu sedikit tentang kekristenan mengatakan bahwa kekristenan selalu memandang seks sebagai sesuatu yang jahat. Dan banyak orang Kristen yang kurang memahami iman Kristen menerima pandangan tersebut sebagai kebenaran. Padahal konsep tersebut sama sekali tidak benar.1)
Seperti telah disebutkan, Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Setelah masa penciptaan, Tuhan memberikan perintah-perintah untuk hubungan mereka selanjutnya : “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (kejadian 2 : 24). Tentu saja, :sedaging” mempunyai beberapa konotasi dalam perintah Sang Pencipta; tetapi arti pokoknya cukup jelas, yaitu suami-istri mengadakan hubungan seks dan menikmatinya tanpa rasa malu. Pada bagian lain dalam perjanjian lama, hubungan seks dalam pernikahan dinyatakan sebagai cara normal untuk memenuhi kebutuhan suami-istri (missal amsal 5:18-19, kidung agung 2:6; 8:3). Dalam Perjanjian baru, pada aal pelayanan-Nya, Tuhan Yesus menghadiri dan ikut ambil bagian dalam pesta perkawinan di Kana. Dengan tindakan itu, Yesus menunjukkan bahwa Ia menyetujui pernikahan, termasuk hubungan seks didalamnya (yohanes 2:1-11).
Kemudian ketika orang-orang Farisi menanyakan tentang hal perceraian, Yesus mengulang apa yang tertulis dalam Kitab Kejadian, yaitu bahwa laki-laki akan meninggalkan ayahya dan ibunya supaya bersatu dengan istrinya dalam pernikahan dan mempunyai hubungan “sedaging” (matius 19:3-6; markus 10:6-9). Tuhan Yesus mengingatkan orang-orang Farisi bahwa sejak “awal dunia” hubungan sedaging menjadi rencana Tuhan bagi laki-laki dan perempuan dalam pernikahan. Para penulis lainnya dalam Perjanjian Baru mengikuti penafsiran yang sama mengenai hubungan seks dalam pernikahan (misalnya : Paulus dalam 1kor 7:2-5; 1tes 4:1-8, juga penulis Ibrani dalam Ibrani 13:4).
Seks adalah ciptaan Tuhan yang indah dan baik. Manusia berkewajiban menikah sebab alasan yang sederhana, yaitu dalam Penciptaan Tuhan memerintahkan agar mereka (laki-laki dan perempuan) berbuat demkian.
Herbert J. Miles dalam bukunya mengatakan demikian : “Tuhan menciptakan manusia dengan dorongan seksual yang begitu kuat, sehingga manusia tidak mempunyai pilihan lain. Keinginnya untuk dipuaskan oleh lawan seksnya adalah wajar, sebagaimana nyala api membakar habis jerami yang dilaluinya.2)
Sedangkan Feucht, mengungkapkan bahwa “keinginan seks sama perlu dan pentingnya seperti rasa lapar dan haus.3) Adolph Von Harless menggambarkan bahwa seks dalam pernikahan itu baik dan sesuai dengan pengajaran Kristen dan Alkitabiah. Selanjutnya Dr. Feucht mengutip Von Harless sebagai berikut : “Apabila daya tarik antar dua orang berlawanan seks semata-mata merupakan perkara pikiran dan bukan daya tarik karena tubuh dan pikiran, tidak ada alasan untuk menikah. Pernikahan Kristen merupakan aliran dua kehidupan menjadi satu serta penyerahan keseluruhan kepribadian masing-masing kepada yang lain. Orang Kristen tidak dapat menerima konsep gnostik yang menekankan bahwa tubuh daging adalah jahat, sedangkan hanya pikiran dan hal-hal rohani saja yang baik. Tuhan tidak memerintahkan penghancuran tubuh tetapi penghancuran dosa. Bahkan sebenarnya Tuhan menghendaki agar kita mencintai dan merawat daging ini (efesus 5:29). Peperangan Kristen bukanlah melawan daging, tetapi melawan dosa, sehingga seseorang yang telah dilahirkan kembali dapat memuliakan Tuhan, baik dalam tubuh maupun dalam roh (roma 6:12-13). Dalam pemikiran Kristen, tubuh tidak dianggap rendah dn juga tidak diagung-agungkan (seperti halnya orang yang tidak percaya Tuhan), tetapi dianggap kudus dan dikuduskan bagi Tuhan sebagai bait-Nya (1korintus 6:15, 19-20).4)
Berdasarkan bukti-bukti diatas, dapat dipastikan bahwa seks bukanlah sesuatu yang kotor dan najis sebab Tuhan-lah yang menciptakan seks. Jika ada pandangan yang mengatakan bahwa, seks itu jahat, hal itu semata-mata karena gereja dan orangtua sering salah menekankan aspek-aspek seks itu. Dr. Herbert mengatakan demikian :”Orang tua dan gereja selama ini memang sibuk menekankan aspek-aspek seks yang negatif sehingga mereka tidak menyampaikan dengan terang kepada kaum muda aspek-aspek positif dari seks, bahwa seks itu menjdai bagin dari Tuhan.”5)


Maksud Tuhan Menciptakan Seks
Menurut Verkuyl dalam bukunya Etika Kristen, maksud Tuhan menciptakan seks mempunyai dua arti : pertama, sebagai pernyataan kasih secara badani; dan kedua, sebagai jalan untuk membuahkan keturunan. Hal ini bertentangan dengan teologia Roma Katolik mengajarkan bahwa tujuan tertinggi dari hubunhan seks adalah pembiakan. Dikatakan dalam Etika Kristen yang ditulis Verkuyl, Gereja Katolik berpandangan demikian karena mereka terpengaruh oleh filsafat Yunani, yang mengatakan bahwa nafsu seksual itu adalah sesuatu yang najis dan hina.6)
Etika Kristen melihat dua arti maksud Allah menciptakan seks, yaitu sebagai pernyataan kasih secara badani dan pembentukan keluarga.



a.) Hubungan seks sebagai pernyataan kasih secara badani.
Hubungan seks berarti dua orang menjadi satu (matius 19:5, markus 10:8). Hal ini mempunyai arti yang cukup dalam, yaitu bahwa pribadi yang sebelumnya tidak saling mengenal sama sekali, di dalam persetubuhan dapat memperdalam pengenalan satu sama lain dengan membentuk hubungan mesra yang dulunya dua kini menjadi satu. Dari persetubuhan keluar suatu daya ikat, dimana kedua manusia itu membuka selubung rahasia masing-masing dan membentuk hubungan yang mesra dengan orang lain yang berbeda pribadi.

b.) Untuk melangsungkan seksual keturunan.
Melalui hubungan seks, suami dan istri dapat mewujudkan cinta kasih mereka dalam membuahkan anak. Dengan adanya anak, suami dan istri dapat ambil bagian dalam rencana Tuhan. Namun perlu ditekankan bahwa, melahirkan anak bukanlah satu-satunya fungsi seks dalam pernikahan.7)


PELACURAN DARI SEGI ETIS TEOLOGIS
a.) Pelacuran merupakan perbuatan zinah.
Pelacuran merupakan perbuatan zinah, karena praktik tersebut sama saja dengan melakukan hubungan seks di luar nikah atau tanpa ikatan resmi. Tuhan memberikan hokum kepada bangsa Israel “jangan berzinah” (keluaran 20:14). Sebagai konsekuensinya, siapa yang melakukan perzinahan berarti melawan perintah Allah.
Dalam Perjanjian Lama, terlihat jelas bahwa Allah menentang segala macam bentuk praktek pelacuran. Nilai atau arti keperawanan secara literal sangat dijunjung tinggi. Bila ternyata keperawanan seorang wanita telah hilang sebelum pernikahan, dosa ini dihukum dengan cara “melempari wanita tersebut dengan batu sampai mati“ (ulangan 22:21). Hukuman mati ini dilaksanakan karena konsep Perjanjian Lama menilai perzinahan sama dengan pembunuhan. (ulangan 22:26). Amsal 7:13-27 menegaskan bahwa rumah wanita jalang adalah jalan menuju dunia orang mati (kebinasaan).
Dalam Perjanjuan Baru, perbutan zinah bukan hanya perbuatan seks diluar nikah. Dalam matius 5:27-28, Yesus berkata dengan tegas : “Kamu telah mendengar Firman : Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu : setiap orang yang memandang perempuan dan menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” Disini Tuhan memperluas arti zinah, yaitu dimulai dari dalam hati yang penuh dengan keinginan nafsu perzinahan, sehingga perbuatan zinah itu tidak secara tiba-tiba terjadi melainkan merupakan tindak lanjut dari pikiran yang penuh dengan nefsu.
Alitab berkata, bahwa orang yang berzinah itu :
Nerusak diri atau tubuh (Amsal 6:32)
Tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah (wahyu 2:22; 21:8)

Pelacuran dapat dikategorikan masuk dalam dosa percabulan. “Percabulan’ diterjemahkan dari kata Yunani porneia, sedangkan “orang cabul” atau “penjaja seks” berasal dari kata pornoi. Pornoi mencakup segala bentuk hubungan seks diluar pernikahan, baik perzinahan, homoseksual maupun lesbian.8) Dan di dalam Alkitab, kata “percabulan” (1korintus 7:2) pada dasarnya digunakan untuk menggambarkan segala pelanggaran seksual pada umumnya. Kata “perzinahan” dalam Alkitab di pakai dalam arti hubungan seks di luar pernikahan, hal ini termasuk juga hubungan seks di antara dua orang yang belum menikah maupun dengan seseorang yang bukan suami atau istrinya (keluaran 20:14; markus 10:19; Roma 13:9). Penyalahgunaan seks sering dihubungkan dengan kata-kata “dosa tubuh, hawa nafsu, pencemaran, percabulan dan kenajisan” (roma 5:19; Efesus 5:13; kolose 3:5).
Penyalahgunaan kata “percabulan” sendiri berbeda-beda dalam Perjanjian Baru. Bakers Dictionary of Theology mendefenisikan sebagai berikut : “Dalam arti sempit, kata itu menyatakan hubungan seksual yang dilakukan dengan sukarela antara seseorang yang belum menikah dengan dengan seseorang lainnya yang berlawanan jenis. Dalam arti yang lebih luas, porneia menyatakan hubungan seks dengan seseorang yang sudah menikah. Dan dalam arti yang paling luas, kata itu menyatakan pelanggaran susila pada umumnya, menuju pada semua jenis pelanggaran seksual.9)
Dari efenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa percabulan mempunyai beberapa arti yang berbeda dalam Perjanjian Baru :
Dalam beberapa teks, “percabulan’ menunjuk pada semua pelanggaran seksual secara umum (1kor 6:13,18; efesus 5:3). Tetapi ayat-ayat tersebut mempunyai arti hubungan seks antara seseorang yang masih single dengan seseorang yang telah menikah atau antara orang yang masih single dengan orang yang masih single. Beberapa ayat mengandung pengertian pelacuran, misalnya seorang wanita yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki untuk mendapatkan sejumlah uang. Disini kata “percabulan dihubungkan dengan kata pelacuran.
Kata “percabulan” digunakan sebagai sinonim dari “perzinahan” (mat 5:32; 19:9)
Dalam ayat lain, istilah “perzinahan” dan “percabulan” digunakan bersama untuk menunjukkan perbedaan diantara kedua kata tersebut (matius 15:19; markus 7:21-22; 1korintus 6:9). Kata “perzinahan” menyangkut tingkah laku orang-orang yang telah menikah, sedangkan kata “percabulan” sebagai salah satu artinya menunjuk kepada hubungan seks dan penyalahgunaan seks diantara orang-orang yang belum menikah. Ayat ini menyatakan petunjuk langsung terhadap hubungan seks sebelum menikah.
“Percabulan” menyatakan hubungan seks tanpa terpaksa antara dua orang yang belum menikah atau antara orang yang belum menikah dengan otang yang sudah menikah.

b.) Pandangan Alkitab terhadap pelacur.
Pelacur adalah sebutan bagi orang yang menjalankan profesi pelacuran. Di dalam Alkitab, kita bertemu dengan pelacur yang dipakai Tuhan untuk menjalankan rencananya, seperti Rahab yang dipakai Tuhan untuk menyelamatkan dua pengintai (Yosua 2:1; 6:25), kemudian ia masuk dalam garis rencana keselamatan Allah bagi keselamatan dunia (matius 1:5).
Kita juga mendapati sikap Tuhan Yesus saat bertemu dengan seorang perempuan Samaria yang berpredikat pelacur (yohanes 4:16,17,42), walaupun bertentangan dengan kebudayaan Yahudi, sebab orang Yahudi menganggap orang Samaria sebagai “The Marjinal Man” (Golongan masyarakat yang tidak masuk hitungan).10) Kita melihat disini bagaimana Yesus sendiri yang adalah orang Yahudi, mau berkomunikasi sekaligus melayani wanita tersebut hingga bertobat.
Sangat jelas di sini bahwa Yesus yang hidup dan menyatu dengan kebudyaan Yahudi, ternyata Ia juga membawa pembaharuan atau menjadi “reformator’ terhadap norma yang berlaku di dalam konteks kebudayaan pada waktu itu.
Yang menjadi problem etis adalah pandangan orang Kristen terhadap pelacur. Apakah orang Kristen memiliki pandangan dan sikap apriori, masa bodoh ataukah memiliki pandangan dan sikap yang memperhatikan dan memberi jalan keluar bagi si pelacur?

c.) Konsekuensi etis terhadap pelacuran.
Alkitab adalah norma etis yang normatif, sehingga Alkitab menjadi tolak ukur dalam keputusan etis. Alkitab menyatakan secara gamblang bahwa praktek pelacuran merupakan perbuatan zinah, dan hal tersebut adalah dosa. Setiap orang Kristen harus tegas menolak praktek-praktek pelacuran, namun tidak dapat disangkali secara social pelacuran sulit ditiadakan.
Agustinus berkata demikian : “Pelacuran itu sama dengan saluran riol di istana yang kotor dan busuk baunya. Akan tetapi, kalau riol itu dilenyapkan, maka kotoran dan kebusukan akan masuk ke istana.11)
Orang Kristen harus menyadari bahwa pelacuran selalu ada di setiap zaman, sehingga perlu berjaga-jaga agar jangan jatuh di dalam perbuatan tersebut.
Orang Kristen harus meneladani Tuhan Yesus dalam hal memandang dan bersikap positif terhadap pelacur. Kristus memandang pelacur sebagai manusia yang adalah ciptaan Allah yang sama dengan orang lainnya (non-pelacur), juga adalah orang berdosa dan membutuhkan pengampunan dosa. Hal ini sangat jelas sekali pada waktu Yesus diperhadapkan dengan seorang wanita yang tertangkap basah berbuat zinah dan yang harus di hukum. Para ahli Taurat dan orang Farisi itu sudah tentu menghendaki agar Yesus juga menghukum wanita tersebut. Namun, Yesus berkata, “Barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (yohanes 8:7). Dan kenyataannya, tidak ada satu orang pun yang melempari batu kepada wanita tersebut. Yesus pun tidak melemparinya, melainkan menyuruh dia pergi dan jangan berbuat dosa lagi (yohanes 8:11).
Pelacur pun membutuhkan pengampunan atau anugrah dari Allah. Dengan demikian, orang Kristen seharusnya memiliki sikap dan pandangan, bahwa pelacur adalah manusia ciptaan Allah yang harus diperhatikan dan harus pula mendengar Injil, bukannya menghakimi atau mengucilkannya.
Orang Kristen hidup dalam suatu lingkungan tertentu dan pasti dipengaruhi oleh kebudayaan daerah tersebut, tetapi bukan berarti bahwa orang Kristen berkompromi dengan kebudayaan. Orang Kristen harus menggunakan Alkitab sebagai “filter” untuk menyaring kebudayaan yang mempengaruhinya. Demikian juga, pandangan dan sikap masyarakat terhadap pelacur yang dapat mempengaruhi orang Kristen hendaknya jangan diterima begitu saja, melainkan haruslah dilihat dari terang Firman Tuhan. Orang Kristen dapat menolak pandangan dan sikap yang salah terhadap pelacur melalui atau sesuai dengan Firman Tuhan.
Pelacur yang sudah bertobat adalah ciptaan baru (2korintus 5:17), sehingga ia harus diterima dalam persekutuan orang percaya, tanpa melihat latar belakangnya. Sebab, semuanya telah dikuduskan Allah di dalam Kristus (kolose 3:12).
sumber: http://nhkbppdg.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar