Pemerintah Kota Surabaya menutup lokalisasi prostitusi Dolly
hari ini. Seperti rencana penutupan lokalisasi di manapun, selalu muncul
kelompok kontra terhadap rencana ini. Mereka adalah para wanita
tunasusila (WTS), germo, dan masyarakat sekitar lokalisasi yang banyak
menangguk keuntungan dari bisnis ini, serta kalangan LSM dan aktivis
yang terkait dengan advokasi WTS.
Kelompok penentang penutupan lokalisasi selalu mengemukakan argumen yang
tampak "indah" tentang keberadaan lokalisasi. Argumen ini banyak
meracuni kalangan awam karena seperti mengusung kebenaran. Padahal,
kalau dikaji lebih dalam, sesungguhnya pandangan kelompok ini hanya
memperlihatkan kesesatan berpikir yang tidak didukung fakta dan data
yang valid.
Alasan yang sering dikemukakan para pendukung keberadaan lokalisasi
adalah untuk melokalisasi dan mengendalikan pelacuran. Dengan
lokalisasi, pelacuran bisa terlokalisir pada lokalisasi yang
bersangkutan dan pelacuran di luar lokalisasi menjadi terminimalisasi.
Sementara di dalam lokalisasi sendiri jumlah pelacur akan berkurang
karena mereka diarahkan kembali ke jalan yang benar melalui program
rehabilitasi. Kenyataannya, argumen ini tidak pernah terbukti. Mengapa?
Pendirian lokalisasi sama dengan kegiatan yang dalam teori ekonomi
disebut aglomerasi (pengumpulan atau pemusatan di lokasi atau kawasan
tertentu). Aglomerasi selalu meningkatkan volume jual beli karena di
sana terjadi supply dan demand yang besar. Contohnya, sentra perdagangan
sayur-mayur atau otomotif selalu meningkatkan volume perdagangan
sayur-mayur atau otomotif. Artinya, teori ini membuktikan bahwa
pendirian lokalisasi justru memperbesar pelacuran, bukan
mengendalikannya. Lokalisasi selalu menarik para calon WTS masuk ke
dalamnya untuk menjadi WTS dan mendorong para germo mencari WTS baru
untuk menjaga supply (persediaan), semantara para lelaki hidung belang
pun terus berdatangan sehingga demand (permintaan) tak pernah sepi.
Supply dan demand yang stabil membuat harga pelayanan WTS menjadi
terjangkau dan pelacuran tetap hidup, bahkan terus berkembang.
Program rehabilitasi yang dijanjikan diadakan untuk mengembalikan para
WTS ke jalan yang benar hanya sebagai upaya menampilkan kesan baik
lokalisasi dan menutupi keburukan lokalisasi. Tak pernah ada fakta dan
data yang memperlihatkan keberhasilan program ini. Bahkan, program ini
tak jarang menjadi jalan bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mencari
keuntungan dengan memanfaatkan dana rehabilitasi yang dikucurkan
berbagai pihak. Ironisnya, bukan rehabilitasi yang dilakukan, melainkan
penggalakan seks "sehat" dengan menggunakan kondom yang bisa diartikan
membenarkan pelacuran selama menggunakan kondom.
Fakta, data, dan kenyataan empiris yang ada memang memperlihatkan
lokalisasi tak pernah bisa mengendalikan, apalagi menghentikan
pelacuran. Lokalisasi Dolly yang sudah ada sejak zaman Belanda, sampai
kini tetap eksis. Bahkan, data terakhir terus memperlihatkan peningkatan
para pelakunya. Data pada Mei 2014 mencatat di Dolly terdapat 1.187 WTS
dengan 311 germo. Terjadi pelonjakan jika dibandingan akhir 2012 yang
terdapat 1.022 WTS dengan 292 germo.
Lokalisasi juga tak pernah bisa meminimalisasi pelacuran di luar
lokalisasi karena keberadaan lokalisasi menjadi percontohan untuk para
WTS dan germo melakukan hal yang sama. Keberadaan lokalisasi menjadi
pembenaran dan legalisasi pelacuran sehingga mereka yang melakukan
kegiatan yang sama di luar lokalisasi menjadi memiliki alasan yang kuat
untuk melakukan resistensi terhadap setiap upaya penertiban. Aparat pun
menjadi tak memiliki alasan yang kuat untuk melakukan penertiban,
apalagi penindakan hukum.
Fakta konkretnya, ketika lokalisasi Kramat Tunggak masih berdiri di
Jakarta Utara, selama 28 tahun lokalisasi tersebut ada tak pernah bisa
menghentikan pelacuran liar di sekitarnya, seperti di Cilincing, Ancol,
dan Stasiun Tanjung Priok. Jangankan menghentikan pelacuran di seantero
Jakarta, sebagaimana dijadikan alasan saat pendiriannya pada 1972,
menghentikan pelacuran liar di lingkungan terdekatnya pun tak mampu. Ini
artinya, pendirian lokalisasi hanya mempersubur pelacuran karena
pelacuran di lokalisasi tetap hidup, sementara pelacuran liar di luar
lokalisasi semakin marak.
Sesat pikir kedua dari para pendukung lokalisasi adalah pengabaian
pelanggaran hukum yang nyata dari keberadaan lokalisasi. Lokalisasi
sejatinya adalah pelanggaran hukum yang dilegalkan. Betapa tidak?
Kendati hukum positif (Pasal 284 KUHP) tidak menggolongkan semua
hubungan seks di luar nikah sebagai perzinaan yang bisa dikenai sanksi
hukum, melainkan hanya hubungan seks di luar nikah yang dilakukan oleh
salah satu atau kedua pasangan yang telah beristri/bersuami, pelanggaran
hukum hampir dipastikan terjadi di lokalisasi. Pasalnya, lelaki lacur
yang menginginkan layanan WTS di lokalisasi kebanyakan telah beristri.
Begitupun WTS-nya, banyak di antara mereka yang memiliki suami.
Belum lagi peraturan lain yang dilanggar oleh keberadaan lokalisasi,
seperti Dolly yang melanggar Perda Nomor 7 Tahun 1999 mengenai larangan
bangunan atau rumah tinggal difungsikan sebagai tempat melakukan tindak
asusila. Juga pelanggaran terhadap Undang-Undang Perdagangan Manusia
(human trafficking) karena lokalisasi identik dengan perdagangan manusia
dengan berbagai modusnya.
Sesat pikir berikutnya adalah menempatkan pelacuran sebagai solusi atas
persoalan kemiskinan. Cara berpikir ini berupaya menutupi faktor-faktor
lain yang mendorong terjadinya pelacuran yang sesungguhnya lebih
dominan. Kemiskinan dijadikan pembenaran praktik pelacuran. Menurut
penelitian Kartini Kartono (2005: 245), di samping kemiskinan, ada
motif-motif lain yang memungkinkan terjadinya pelacuran, di antaranya,
keinginan mendapatkan kesenangan melalui jalan pintas, tidak merasa puas
mengadakan relasi seks dengan satu pasangan, aspirasi materiil yang
tinggi pada diri wanita, kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior,
rasa ingin tahu terhadap seks, banyaknya stimulasi seksual dari film,
gambar, dan bacaan porno, keluarga yang broken home, dan mobilitas
pekerja laki-laki yang tidak membawa keluarganya.
Jelas, faktor kemiskinan sesungguhnya hanya bagian kecil dari
faktor-faktor lain. Itu sebabnya tidak semua wanita miskin menjadi
pelacur. Dengan tidak menafikan latar belakang kemiskinan, kemiskinan
adalah masalah sosial yang harus diatasi dengan cara-cara yang
bermartabat, bukan dengan pelacuran.
Sesat pikir selanjutnya adalah dengan mencari pembenaran dengan
mengatakan pelacuran adalah bisnis tertua umat manusia. Pelacuran sudah
terjadi sepanjang sejarah manusia sehingga tidak bisa dihapuskan.
Pendapat ini sungguh keliru ketika upaya memberantas pelacuran masih
dilakukan setengah hati, bahkan cenderung dibiarkan, seperti saat ini.
Sebagai bangsa yang berketuhanan, upaya memberantas pelacuran harus
terus dilakukan karena pelacuran sangat merendahkan martabat manusia,
khususnya kaum wanita. Pelacuran harus ditekan sampai titik terendah,
bahkan sampai angka nol, sebagai tanggung jawab moral bangsa yang
beradab.
Sebagai penutup tulisan ini, kita bisa membuka kedok mereka yang
menentang penutupan lokalisasi. Sesungguhnya ada alasan yang selama ini
ditutupi: pelacuran adalah bisnis yang menggiurkan! Nilai transaksi
pelacuran per bulan berkisar Rp 5,5 triliun dengan asumsi jumlah WTS di
Indonesia sekitar 193.000-272 ribu orang (Biro Riset Infobank, 2012).
Transaksi pelacuran selalu cash sehingga bisnis laknat ini selalu
menghasilkan dana segar. Karenanya, banyak pihak yang berkepentingan
untuk melanggengkannya. Nauzubillahi min zalik!
Muhamad Ilyasa, Pemerhati masalah sosial, editor Penerbit Zikrul Hakim-Bestari
Sumber : http://www.republika.co.id/, Rabu, 18 Juni 2014, 14:00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar