"Membangun Surabaya secara fisik itu mudah,
tapi membangun sumberdaya manusia Surabaya itu yang tidak mudah," ucap
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Pandangan itu disampaikan wali kota perempuan pertama di Kota
Pahlawan itu saat bersilaturahmi ke Kantor LKBN Antara Biro Jatim pada
Ramadan 1434 H (Juli 2013).
Agaknya, pemikiran itulah yang mendasari kenapa alumnus Jurusan
Arsitektur Surabaya itu membangun taman kota yang bukan sekadar taman,
melainkan taman yang sangat dirindukan anak-anak kota ini yang semakin
sulit menemukan tempat bermain.
Tidak hanya itu, ia juga mengaku sangat sedih sekali dengan
tereksploitasinya anak-anak jalanan, atau terjebaknya anak-anak dalam
sindikat perdagangan anak-anak untuk dipekerjakan.
Pejabat dengan gaya Suroboyo-an itu sering mengunjungi
Mapolrestabes Surabaya untuk menemui anak-anak yang terlibat dalam
sindikat "jual beli" anak-anak untuk dunia kerja atau "pelacur"
anak-anak.
Dalam konteks itu, eksekutif yang akrab disapa Risma itu pun
menyempatkan diri untuk berdialog dengan anak-anak yang "hidup" di
kawasan lokalisasi.
Bahkan, Risma pun sempat menangis saat menceritakan nasib anak-anak
di kawasan lokalisasi Dolly saat diwawancarai sebuah televisi nasional.
"Anak-anak di Dolly harus diberi wawasan yang lebih luas bahwa
lingkungan di mana mereka tinggal tidak hanya berupa praktik-praktik
prostitusi," tuturnya.
Rasa sedih yang mendalam itu pula yang akhirnya mendorong Risma
untuk menutup sejumlah lokalisasi. Bukan sekadar "emoh" dengan dunia
prostitusi, melainkan lebih pada "penyelamatan" anak-anak kota ini.
Dari situ, Risma yang ingin menjadi guru SD itu memiliki
kepentingan untuk warga kota yakni membangun sumberdaya manusia Surabaya
yang lebih riang, lebih berbudi/berakhlak, dan lebih berpendidikan.
Bungkul
Oleh karena itu, kemarahan Risma saat PT Unilever melakukan
bagi-bagi es krim di Taman Bungkul (11/5) yang membuat taman itu rusak
itu tidak harus dipahami sebagai arogansi dan sikap berlebihan.
Namun, hal itu harus dimaklumi sebagai bentuk kejengkelannya atas
"gangguan" terhadap komitmen Risma untuk membuat anak-anak Surabaya
menjadi riang dan berbudi.
Dus, kemarahan itu pun tak perlu dikaitkan dengan upaya pengalihan
isu terkait kecaman terhadap Risma atas penghargaan yang diterima dari
EBA yang bukan piala kategori "Socrates Award", melainkan penghargaan
untuk kategori "United Europa Award" (UEA).
Masalahnya, kaitan antara komitmen untuk "menyelamatkan" anak-anak
kota ini dengan pengalihan isu terkait penghargaan yang "salah kategori"
itu jauh dari konteks, kecuali politisasi persoalan oleh politisi yang
tidak memihak pada kepentingan generasi kota ini.
Taman Bungkul dan taman tengah kota itu rusak karena terinjak-injak
pengunjung "car free day" yang ternyata mencapai puluhan ribu, padahal
Walls hanya menyiapkan 10 ribu es krim.
Dampaknya, warga yang ingin segera mendapatkan pembagian es krim
gratis untuk pemecahan rekor MURI itu pun tidak melintasi jalan yang
semestinya, tetapi memilih jalan pintas dengan menerjang tanaman lokasi
taman kota.
Hasilnya, ada tiga lokasi taman kota yang kondisinya hancur dan
harus dilakukan penanaman ulang yakni di Jalan Raya Darmo, Taman
Bungkul, dan Jalan Serayu.
Menyikapi kemarahan Risma itu, Asisten Branch Manager Walls,
Kaninia Radiyatni, mengaku pihaknya siap bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan taman.
"Kami siap memberikan ganti rugi atas banyaknya tanaman yang mati akibat kegiatan yang kami selenggarakan," katanya.
Hingga kini, Risma sudah memperketat perizinan acara di kawasan
Tugu Pahlawan hanya untuk acara-acara yang membangkitkan jiwa
kepahlawanan, sedangkan acara pertunjukan musik sudah tidak
diperbolehkan, sedangkan di Taman Bungkul belum ada aturan itu.
Dolly
Idem dengan Bungkul, rencana Pemkot Surabaya untuk menutup
lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara yakni Dolly dan Jarak pada 19 Juni
2014 juga menuai tantangan dari sejumlah pihak.
Bahkan, ganjalan juga datang dari perbedaan pendapat antara Wali
Kota Surabaya Tri Rismaharini dan wakilnya Wisnu Sakti Buana. Wisnu
menyatakan penutupan Dolly tidak bisa dipaksakan.
Wisnu Sakti mengharapkan penutupan lokalisasi Dolly semestinya
melibatkan warga sekitar lokalisasi, yakni Putat Jaya. Mereka diajak
musyawarah terlebih dahulu sebelum penutupan dilakukan.
"Beberapa kali saya turun ke sana, ternyata warga di sana
mengeluhkan belum pernah diajak berembuk soal penutupan," ucap wakil
wali kota yang juga ketua DPC PDIP Kota Surabaya itu.
Menurut dia, warga masih memiliki ketergantungan yang cukup besar
terhadap Dolly, di antaranya dengan bekerja sebagai tukang laundry,
salon, warung makanan, toko pracangan, dan lainnya.
Pandangan itu jelas beda dengan Risma yang justru lebih ingin
menyelamatkan masa depan anak-anak kota ini yang tinggal di sana. Aneh,
wakil wali kota bersikap seperti legislatif, padahal dirinya merupakan
eksekutif.
Menurut Risma, sasaran penutupan adalah rumah-rumah yang selama ini
menjadi tempat praktik prostitusi (wisma), sehingga yang dilibatkan
untuk berdialog tentang penutupan adalah para penghuni wisma, baik itu
PSK maupun mucikari.
"Meski begitu, pelatihan keterampilan yang diadakan pemkot untuk
penghuni lokalisasi guna memberi solusi bila lokalisasi Dolly ditutup
itu juga bisa diikuti warga masyarakat lainnya. Nantinya, fasilitas umum
dan sentra usaha yang dibangun pada eks lokalisasi itu juga akan
menjadi sumber penghidupan yang baru bagi warga," katanya.
Tentu kepentingan manusiawi untuk "memperbaiki" sumberdaya manusia
Surabaya lebih mengemuka dalam penutupan lokalisasi itu, bahkan rencana
penutupan itu bukan dilakukan secara tiba-tiba, karena sejumlah
lokalisasi di Surabaya sudah ditutup sebelumnya.
Agaknya, ikhtiar Risma akan selalu mendapat dukungan warga Kota
Pahlawan, karena apa yang dilakukan selama ini terbukti untuk kebaikan
kota ini dan warganya, kendati upaya politisasi akan tetap menyeruak
dengan berbagai kepentingan, mengingat wali kota juga merupakan jabatan
politik. sumber: http://www.antaranews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar