Rabu, 21 Januari 2015

Sejarah Resosialisasi Silir

Resosialisasi Silir adalah termasuk dalam kompleks pelacuran yang terdaftar dan teratur dengan rapi di Indonesia. Resosialisasi ini sendiri terletak di pinggiran kota Solo sebelah timur. Bagi pengunjungnya disediakan karcis masuk, dan semua kendaraan yang masuk harus diparkir di sebelah luar lokasi. Silir merupakan shooping – center cinta yang rapi, penuh bau-bauan wangi yang khas dan gelak ria kaum wanita. Silir juga merupakan tempat yang menyenangkan bagi para petualang-petualang malam yang memerlukan cinta mesra dan memberikan kesegaran ”kasih” kepada pria-pria yang haus dan kesepian cinta.
Secara formal, penanganan masalah pelacuran dimulai sejak tahun 1953 yaitu dengan dikeluarkannya peraturan daerah kota besar surakarta nomor 10 tahun 1953 tentang pemberantasan pelacuran. Namun hasilnya sangat jauh dari yang dinginkan, maka dianggap perlu meminimalkan pengaruh buruk dari pelacuran dengan jalan membatasi tindak pelacuran dalam suatu tempat khusus Pada tahun 1959, melihat maraknya pelacuran di jalan-jalan kota Solo, Masyumi sebagai partai yang berpegang pada ajaran-ajaran agama Islam merasa khawatir dengan fernomena tersebut. Hal ini disebabkan karena dampak dari adanya perkembangan pelacuran liar yang begitu pesat tersebut ternyata telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat kota Solo. Kejahatan menjadi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah preman-preman dan tidak jarang terjadi kasus perkelahian antar preman, antar pelacur, antar lelaki hidung belang yang disebabkan berebut pelanggan. Kondisi tersebut mendorong partai Masyumi mengajukan ide untuk menempatkan para pekerja seks tersebut ke dalam suatu tempat yang terisolir. Hal ini meminimalkan imbas negatif yang timbul dari adanya aktivitas tersebut. Ide teresebut menadapat respon positif dari walikota pada saat itu Hutomo Ramelan, yang selanjutnya membentuk badan pelaksana yang disebut Badan Pemerintah Harian yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat dan diketuai oleh K.H. Sahlan Rosidi.
Melalui perdebatan pro dan kontra akhirnya keputusan tersebut dapat terealisasi pada tahun 1961 Kepala Daerah Kotapraja Surakarta mengeluarkan Surat Keputusan No.36/1/ Kep. Tentang Penunjukan Kampung Silir sebagai pengecualian yang dimaksud Pasal 4 Perda Kota Besar Surakarta No. 10 tahun 1953. dikeluarkanya Surat keputusan No.36/1/ Kep, didasarkan pertimbangan bahwa:
1. Hasil pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Besar Surakarta No. 10 tahun 1953 belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan.
2. Dibiarkan tindak pelacuran dalam kota dapat memberikan pengaruh buruk dalam segi padagogis dan sosiologis kepada masyarakat sekitarnya.
3. Dipandang perlu untuk membatasi tindak pelacuran dalam suatu tempat khusus, disamping larangan yang termasuk dalam peraturan diatas.
4. Dengan diadakannya lokalisasi diharapkan:
a) Pengurangan tindak pelacuran dalam kota yang memberikan pengaruh buruk dalam segi pedagogis dan sosiologis.
b) Lebih efektif dalam pengawasan tentang kesehatan dan pendidikan untuk membantu usaha rehabilitasi kemayarakatan.
Penetapan kampung Silir sebagai tempat lokalisasi bagi para pelacur tersebut. Sedangkan alasan yang menjadi pertimbambangan dipilihnya kampung silir sebagai tempat lokalisasi bagi para pelacur tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Kampung Silir terletak di luar pusat kota Surakarta dan letaknya cukup terisolir. Penempatan lokalisasi pelacur di tempat ini diharapkan dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat luas dari adanya aktivitas tersebut dapat diminimalisir atau ditekan.
2. Sejak dahulu kampung Silir sudah memiliki legenda yang dikenal sebagai daerah maksiat oleh masyarakat sekitarnya. Ketika itu Silir dikenal sebagai tempat memelihara kuda-kuda kerajaan kasusunan, dimana para penjaga kuda yang dikenal dengan istilah pekatik yang tinggal dan bermalam tersebut sering membawa wanita-wanita penghibur yang diajak bermalam. Lama kelamaan hal tersebut diketahui oleh masyarakat luas. Kebiasaan membawa wanita penghibur ke dalam kandang mendapat pandangan yang tidak baik oleh masyarakat, akhirnya daerah silir yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai tempat maksiat. Karena adanya citra buruk tersebut maka dipilihlah kampung silir sebagai tempat penampungan para germo dan WTS.
Selanjutnya dengan kebijaksanaan tersebut permerintah daerah berharap bahwa adanya fenomena pelacuran liar dan terselubung yang berkembang di ambil oleh pemerintah pada waktu itu memang telah cukup tepat, karena dengan memusatkan kegiatan para pelacur dalam satu kawasan, kota akan terhindar dari kegiatan transaksi seks di jalanan. Selain itu melalui kebijakan ini, pemerintah daerah berharap bahwa daerah pemukiman penduduk dan hotel-hotel tertentu daerah turis di kota akan terbebas dari aktivitas pelacuran.
Dari segi kesehatan, adanya kebijakan tersebut juga dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat memantau perilaku para pelacur, germo serta pengguna jasa seks dalam industri seks. Dengan memantau perilaku mereka diharapakan dapat berbagai dampak kesehatan yang ditimbulkan seperti adanya penularan berbagai penyakit kelamin dapat diantisipasi sejak dini.
Tanah yang ada di daerah Silir pada waktu itu masih merupakan milik kraton kasusunan sebagai tempat pemeliharaan dan penguburan kuda-kuda kerjaan, maka pemerintah meminta kepada pihak keraton menggunakan tanah tersebut sebagai tempat lokalisasi. Setelah mendapat izin serta diberikan hak atas kepemilikan tanah tersebut, maka langkah selanjutnya dilakukan oleh pemerintah adalah mengumpulakan para germo dan mucikari, liar yang ada di kawasan kota surakarta seperti di daerah gilingan, RRI dan di sekitar wilayah alun-alun kidul untuk diadakan pengarahan dan pendataan yang kemudian diberi hak untuk menggunakan wilayah lokalisasi silir untuk digunakan sebagai tempat menjalankan usaha di bidang jasa seks. Selain itu, para germo dan mucikari diberi kewajiban untuk membina para pelacur yang telah menjadi anak didik mereka. Para germo disini hanya memiliki hak untuk menggunakan dan bukan hakl milik atas tanah yang mereka tempati sehinmgga mereka dilarang menjual tanah yang mereka tempati. Selanjutnya di atas tanah tersebut para pelacur diberi wewenang untuk membangun dan mendirikan bangunan sesuai dengan kemampuan ekonomi yang mereka miliki guna menampung pelacur yang menjadi anak didik mereka.
Penunjukkan kampung Silir secara resmi sebagai tempat untuk lokalisasi dengan maksud agar pengawasan terhadap pelacuran dapat lebih efektif, terutama pengawasan di bidang kesehatan dan pendidikan sebagai upaya untuk membantu usaha rehabilitasi kemasyarakatan. Pada tahun 1975, peraturan daerah tersebut diperbaharui dengan Peraturan Daerah Tingkat II Surakarta No. 1 tahun 1975 tentang Pemberantasan Tuna Susila.
Untuk memperlancar pengelolaan resosialisasi Silir melalui Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta No. 462/165/1/1985 Tentang Penunjukan Kewenangan Pengelolaan Tempat Resosialisasi Silir, maka ditunjuklah Dinas Sosial Kotamadya Dati II Surakarta sebagai instansi yang berwenang mengelolanya. Hal ini ditindak lanjuti oleh Dinas Sosial dengan mengeluarkan Keputusan Kepala Dinas Sosial Kotamadya Dati II Surakarta No. 462.3/111 – II – 1986, tentang Penunjukan Kewenangan Pelaksanaan Tugas Panitia Pengelola Resosialisasi Silir. Kemudian atas keputusan ini dibentuklah tim panitia pengelola yang berwenang dan bertanggung jawab untuk mengelola secara operasional resosialisasi Silir.(http://dekanio.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar