Sabtu, 10 Januari 2015

Akhir Pergundikan di Hindia Belanda

Istilah nyai (nyahi) muncul mengacu pada bahasa Bali dengan arti perempuan muda atau adik perempuan. Selain itu Nyai adalah sebutan umum di Jawa Barat, khususnya bagi wanita dewasa. Namun, kata ini memiliki konotasinya lain pada zaman kolonial Hindia Belanda. Ketika itu nyai berarti gundik, selir, atau wanita piaraan para pejabat dan serdadu Belanda. Nyai bersinonim dengan gundik dan selir. Baik nyai, gundik maupun selir, dalam KBBI, diartikan sebagai bini gelap, perempuan piaraan, dan istri yang tidak pernah dikawini resmi. Bini Selir malah berarti istri yang kedudukannya lebih rendah dari pasa istri terhormat (istri utama). Pergundikan di Hindia-Belanda di kalangan laki-laki Eropa banya berbagai macam istilah sebutan selain Nyai, yaitu moentji (mulut kecil), meubel (perabot), inventarisstuk (barang inventaris), boek (buku), woondenboek (kamus), mina, sarina sebutan di Tangsi KNIL, Deli Kartina di perkebunan Deli.
Sebutan ini muncul berberengan dengan kedatangan orang Eropa di Nusantara pada abad XVII. Para perempuan dijadikan budak oleh orang Eropa dan dikondisikan untuk menjelma nyai dan gundik demi kehidupan kaum lelaki Eropa. Kemunculan nyai juga terkait dengan kesulitan mendatangkan kaum perempuan Eropa untuk datang dan mau hidup di Hindia Belanda. Ketika itu Belanda telah memperlihatkan karakteristik yang akan menjadi kebiasaan di pemukiman-pemukiman mereka di Asia, sebuah kebiasaan yang tidak ada di negeri asal mereka, yaitu memiliki budak dan menjadikan perempuan setempat sebagai gundik. Diawali oleh suatu kebijakan yang melarang kedatangan para perempuan Eropa ke tanah Hindia, maka pergundikan ini mulai berkembang. Perempuan-perempuan yang dijadikan gundik ialah para budak perempuan di rumah tangga Eropa yang kebanyakan melakukannya dengan terpaksa.
Pada umumnya Nyai ditugaskan untuk bekerja sebagai pengurus dalam rumah kehidupan antara dua budaya yang sangat jauh berbeda. Hal inilah yang mengakibatkan nyai hanya dianggap sebagai pemuas nafsu, selain mengurus rumah tangga. Namun nyai tetap bertindak sebagai kepala rumah tangga. Pembantu-pembantu lain dan kuli-kuli kontrak patuh dan tidak berani membantahnya. Wanita pribumi begitupun nyai sangat piawai dalam masalah obat-obatan tradisional dari tanaman atau akar alami. Sehingga walaupun mereka hidup serumah bersama laki-laki Eropa, saat menderita sakit ringan mereka lebih senang menggunakan obat-obatan tradisional daripada berkonsultasi pada dokter yang mendalami ilmu kedokteran barat. Bidang ini memberi kekayaan pengetahuan pada wanita.
Nyai dan gundik memiliki peran penting dalam menginformasikan dan mengajarkan pelbagai hal tentang Nusantara pada lelaki Eropa. Mereka juga menyerap bahasa, pengetahuan, dan kultur Eropa untuk ditransmisikan pada kaum pribumi. Memasuki abad ke-19, muncul suatu titik balik terhadap pergundikan, dimana pada awalnya pergundikan merupakan suatu sistem paksa bagi para budak pribumi, menjadi suatu kesukarelaan dari mereka.
Meski peraturan pemerintah pada 1818 telah melarang perdagangan budak internasional (berkaitan dengan penjualan budak rumah tangga di Hindia Belanda), namun perbudakan nasional di Hindia Belanda baru benar-benar dihapuskan pada 1860. Akhirnya, para pemuda Eropa yang senang dengan dunia pergundikan harus mencari gundik atau nyai mereka di antara orang-orang pribumi bebas atau bukan budak. Kepengurusan rumah tangga merupakan sarana yang tepat untuk menjalani kebiasaan ini dengan mudah.


Sekitar tahun 1870 pembudidayaan tanaman ekspor meledak dan perkebunan-perkebunan bermunculan. Untuk mencari daerah yang cocok asisten perkebunan bahkan menjajaki daerah-daerah yang cukup terpencil. Oleh karena itu untuk asisten perkebunan dicari yang masih bujangan. Di samping biaya hidup lebih ringan, seorang istri (Eropa) dianggap tidak cocok hidup sebagai perintis. Baru setelah enam tahun diijinkan menikah. Tahun 1922 barulah larangan itu dihapus. Tetapi bukan berarti selama itu mereka hidup sendiri. Mereka bisa hidup bersama dengan seorang “nyai”, yang akan mengajari bahasa dan adat istiadat setempat. Merupakan hal yang biasa apabila seorang asisten perkebunan setelah enam tahun cuti dan pulang ke negeri Belanda untuk menikah. Setelah kembali bersama istrinya, mau tidak mau harus menghadapi masa lampau seorang bekas “nyai” dan anak-anak sebelumnya (voorkinderen, anak sebelum bapaknya menikah/anak dengan “nyainya”).  (http://deviciptyasari.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar