Sebutan ini
muncul berberengan dengan kedatangan orang Eropa di Nusantara pada abad XVII.
Para perempuan dijadikan budak oleh orang Eropa dan dikondisikan untuk menjelma
nyai dan gundik demi kehidupan kaum lelaki Eropa. Kemunculan nyai juga terkait
dengan kesulitan mendatangkan kaum perempuan Eropa untuk datang dan mau hidup
di Hindia Belanda. Ketika itu Belanda telah memperlihatkan karakteristik yang
akan menjadi kebiasaan di pemukiman-pemukiman mereka di Asia, sebuah kebiasaan
yang tidak ada di negeri asal mereka, yaitu memiliki budak dan menjadikan perempuan
setempat sebagai gundik. Diawali oleh suatu kebijakan yang
melarang kedatangan para perempuan Eropa ke tanah Hindia, maka pergundikan ini
mulai berkembang. Perempuan-perempuan yang dijadikan gundik ialah para budak
perempuan di rumah tangga Eropa yang kebanyakan melakukannya dengan terpaksa.
Pada umumnya Nyai ditugaskan untuk bekerja sebagai
pengurus dalam rumah kehidupan antara dua budaya yang sangat jauh berbeda. Hal
inilah yang mengakibatkan nyai hanya dianggap sebagai pemuas nafsu, selain
mengurus rumah tangga. Namun nyai tetap bertindak sebagai kepala rumah tangga.
Pembantu-pembantu lain dan kuli-kuli kontrak patuh dan tidak berani
membantahnya. Wanita pribumi begitupun nyai sangat piawai dalam masalah
obat-obatan tradisional dari tanaman atau akar alami. Sehingga walaupun mereka
hidup serumah bersama laki-laki Eropa, saat menderita sakit ringan mereka lebih
senang menggunakan obat-obatan tradisional daripada berkonsultasi pada dokter
yang mendalami ilmu kedokteran barat. Bidang ini memberi kekayaan pengetahuan
pada wanita.
Nyai dan gundik memiliki peran penting dalam
menginformasikan dan mengajarkan pelbagai hal tentang Nusantara pada lelaki
Eropa. Mereka juga menyerap bahasa, pengetahuan, dan kultur Eropa untuk
ditransmisikan pada kaum pribumi. Memasuki abad ke-19, muncul suatu titik balik
terhadap pergundikan, dimana pada awalnya pergundikan merupakan suatu sistem
paksa bagi para budak pribumi, menjadi suatu kesukarelaan dari mereka.
Meski peraturan pemerintah pada 1818 telah melarang
perdagangan budak internasional (berkaitan dengan penjualan budak rumah tangga
di Hindia Belanda), namun perbudakan nasional di Hindia Belanda baru
benar-benar dihapuskan pada 1860. Akhirnya, para pemuda Eropa yang senang
dengan dunia pergundikan harus mencari gundik atau nyai mereka di antara
orang-orang pribumi bebas atau bukan budak. Kepengurusan rumah tangga merupakan
sarana yang tepat untuk menjalani kebiasaan ini dengan mudah.
Sekitar tahun 1870
pembudidayaan tanaman ekspor meledak dan perkebunan-perkebunan bermunculan.
Untuk mencari daerah yang cocok asisten perkebunan bahkan menjajaki
daerah-daerah yang cukup terpencil. Oleh karena itu untuk asisten perkebunan
dicari yang masih bujangan. Di samping biaya hidup lebih ringan, seorang istri
(Eropa) dianggap tidak cocok hidup sebagai perintis. Baru setelah enam tahun
diijinkan menikah. Tahun 1922 barulah larangan itu dihapus. Tetapi bukan
berarti selama itu mereka hidup sendiri. Mereka bisa hidup bersama dengan
seorang “nyai”, yang akan mengajari bahasa dan adat istiadat setempat.
Merupakan hal yang biasa apabila seorang asisten perkebunan setelah enam tahun
cuti dan pulang ke negeri Belanda untuk menikah. Setelah kembali bersama
istrinya, mau tidak mau harus menghadapi masa lampau seorang bekas “nyai” dan
anak-anak sebelumnya (voorkinderen, anak sebelum bapaknya menikah/anak dengan
“nyainya”). (http://deviciptyasari.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar