Minggu, 04 Januari 2015

Ada Tuhan di Pelacuran


­
 
image
PADA mulanya, seks dianggap bagian alamiah dari kehidupan manusia (in nature). Namun, sejak dikurung dalam ranah rumah tangga, seks mulai dikonstruksikan menjadi tabu (in nurture). Kini, seks telah menggelembung dan menciptakan ruang uang baru yang tabu. Salah satunya dunia pelacuran.
Pelacuran dilekati stigma buruk dengan tolok ukur moralitas, kesusilaan, dan doktrin agama. Jika dicermati, hal itu justru mengaburkan akar masalah yang sesungguhnya, yakni ketimpangan ekonomi. Pelacur adalah profesi yang dipilih tidak dengan sepenuh kesengajaan pelakunya. Menjadi pelacur tidak bisa disamakan dengan menjadi PNS. Para pelacur bukanlah orang yang melacurkan diri. Mereka adalah orang yang dilacurkan atas nama desakan hidup dan kemudian diterkam oleh ebakan penipuan.
Banyak buku membahas ikhwal pelacuran. Namun buku Agama Pelacur karya Prof. Dr. Nur Syam M.Si ini membabar pelacuran dari perspektif lain. Rektor IAIN Sunan Ampel tersebut mengaitkan pelacuran dengan wacana keagamaan. Dengan mengambil lokus penelitian di Surabaya -kota yang disebut-sebut punya bisnis prostitusi terbesar di Asia Tenggara- ia pertama-tama meletakkan praktik prostitusi sebagai bagian dari dinamika sebuah kota. Prostitusi, kata dia, adalah jalan masuk untuk membaca gerak pembangunan. Di sana terbentang persoalan-persoalan mendasar seperti gender, kelas, hingga migrasi penduduk.
Korban Sistem
Eksploitasi terhadap pelacur adalah fakta tak terbantahkan. Jaringan mafia prostitusi tak henti mengisap sumber daya tubuh mereka.
Pria hidung belang terus-menerus melampiaskan libidonya. Masyarakat yang tak bersentuhan langsung dengan prostitusi, memelihara tuduhan yang memberatkan posisi pelacur secara sosial, ekonomi, dan politik. Sementara pemerintah gagal menjamin hak-hak hidup mereka. Pendek kata, pelacur adalah korban dari sistem yang tak berpihak kepada mereka.
Karena pelacuran ditabukan, eksistensi pelacur tersisih. Mereka dianggap sebagai makhluk hina dina, dan diam-diam ditiadakan dalam peta kemanusiaan. Maka, dalam konstruksi semacam ini, sulit untuk menerima fakta bahwa pelacur adalah makhluk yang bertuhan.
Dengan pendekatan dramaturgi transendental, Nur Syam berusaha menggambarkan panggung depan dan panggung belakang pelacuran. Apa yang tampak di permukaan, belum tentu merupakan kenyataan di belakang layar.
Buku ini berisi pengamatan Nur Syam sekaligus penuturan para pelacur yang menjadi objek penelitiannya. Pembaca akan menemukan banyak kisah yang menggambarkan pergulatan batin pelacur, yang berkelindan pada ketakutan dan pengharapan.
Ketakutan dan harapan adalah dua kutub spiritual yang acap diperlawankan. Namun para pelacur mengalami pergolakan dua kutub tersebut sekaligus. Di satu sisi, takut oleh bayangan dosa akibat melanggar larangan agama. Di sisi lain, menggantungkan harapan kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan adalah satu-satunya pengharapan, karena mereka tak mungkin mendapatkan itu dari lingkungan sosial.
Buku ini mengungkap hal-hal yang selama ini terpendam dari dunia pelacuran. Misalnya fakta bahwa sebagian pelacur menjalankan perintah Tuhan, seperti bersembahyang, berpuasa, dan aktif di majelis taklim.
Mereka juga menyisihkan sebagian pendapatannya untuk kemaslahatan sesama.
Menyantuni fakir miskin, menyumbang panti asuhan, infaq di masjid, dan berzakat di hari raya. Itu semua dilakukan dengan kesadaran untuk berbagi, bertenggang rasa, sekaligus mengharap ridha dari Tuhan.
Fakta-fakta tersebut mengingatkan kita pada ucapan mendiang Gus Dur: "Perasaan keagamaan seorang pelacur belum tentu kalah dengan seorang yang bersembahyang di masjid."
=================================
Judul     : Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental
Penulis  : Prof. Dr. NurSyyam, M.Si
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2010
Tebal     : xviii+200halaman
(Baihaqi Lathif-82/http://www.suaramerdeka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar