Pintu rumahnya senantiasa terbuka.
Dengan sikap serta pakaian yang merangsang, dia duduk di atas tempat
tidur. Kain seprenya bewarna merah muda. Senyum manisnya selalu
terhambur kepada siapa saja. Tempat tidurnya dapat terlihat dari arah
pintu.
Setiap laki-laki yang lewat dan
melihatnya, pasti akan tergetar birahinya. Seringkali dari pandangan
yang sekilas itu para laki-laki tersebut begitu terangsang hawa
nafsunya. Akibatnya, dengan segala cara mereka mengumpulkan uang,
paling tidak sepuluh dinar untuk memasuki rumah perempuan itu.
Suatu ketika ada seorang alim muda
melewati depan pintu rumahnya. Alim ini adalah seorang santri yang tekun
beribadah. Namun, begitu bertatapan mata dengan perempuan itu, tubuhnya
berkeringat. Pandangannya terpaku kepada wajah yang halus dan tersenyum
itu.
Dengan segala kemampuan tekadnya, dia
mencoba memerangi perassaannya sendiri. Di meminta kepada Allah supaya
melenyapkan hawa nafsu yang rasanya sudah hampir meledak. Namun, ia
tidak mampu mengendalikan diri. Tubuh yang indah itu. Mata yang tajam
itu. Bibir yang mungil itu. Bayangan-bayangan semacam itu terus
membayanginya sepanjang perjalanan.
Akhirnya, si alim muda itu nekad.
Akhirnya semua pakaiannya dijual, juga semua miliknya yang lainnya.
Karena masih kurang dari sepuluh dinar, dia smpai berhutang ke
kiri-kanan. Begitu terkumpul uang yang dikehendaki, ia buru-buru
berangkat. Saking tidak kuatnya menahan diri, sampai ia lari
terengah-engah.
Begitu tiba dirumah perempuan itu, ia
disuruh menyerahkan uangnya kepada perempuan yang berada di kamar
sebelah. Waktu ia kembali ke tempat perempuan tersebut, pelacur itu
sudah bersolek lebih cantik lagi. Ia sengaja membuka sebagian auratnya
agar lebih merangsang. Lalu,ia terbaring di tempat tidurnya.
Si alim muda, begitu melihat lawan jenis
yang meruntuhkan imannya itu telah siap di tempat tidur, buru-buru
mendekat dan duduk di sebelahnya. Gemetar tubuhnya mengalami kejadian
yang baru pertama kali ini.
Namun, rupanya Tuhan masih sayang
kepadanya. Rahmat Allah teriring sebagai balasan bagi ibadahnya yang
tekun dan tobatnya yang sungguh-sungguh pada masa lalu.
Ketika tangannya telah hendak terjulur
memeluk perempuan itu, tiba-tiba badannya menggigil, dan ketakutan dalam
hatinya. Bergema di segenap jiwanya bahwa Tuhan melihat keadaannya
sekarang dan mengawasi semua tindak-tanduknya. Berubah wajahnya
seketika, pucat bagaikan putih salju.
Si perempuan, waktu melihat warna muka alim muda tersebut, sangat kuatir dan heran. Ia bertanya,
“Apa yang telah terjadi padamu? Sakit?”
“Tidak. Saya takut kepada Allah. Izinkanlah saya pergi.” Jawab si santri ketakutan.
“Ha! Gila! Berapa laki-laki yang
kepingin seperti ini sampai mengemis ngemis. Sedangkan kau, sudah
teruskan saja, mau dibatalkan? Tidak bisa.”
“Sungguh,saya takut kepada Allah. Biarlah yang sepuluh dinar saya serahkan kepadamu. Asal kau izinkan saya keluar.”
“Tapi tidak begini saja bukan? Ayo…!”
“Tidak, tidak. Cukup begini saja. Saya takut kepada Allah.”
Karena heran, perempuan itu pun lalu bertanya,
“Dimana engkau tinggal? Siapa namamu?”
Sesudah pertanyaan ini dijawab, barulah
santri itu diperbolehkan keluar. Setiba dirumahnya, santri itu menangisi
dosanya dan bertobat kepada Allah.
Adapun keadaan perempuan sepeninggal
santri tersebut, jauh berbeda dari sebelumnya. Biasanya ia tidak dapaat
berpikir tentang dosa dan maksiat. Ia hanya tahu bersenang-senang saja.
Tetapi berkat pergaulannya yang sangat singkat dengan pemuda ahli ibadah
tadi, tumbuh rasa takut yang besar dari waktu ke waktu. Dalam batinnya
ia berkata sendiri,
“Laki-laki itu baru saja berbuat dosa,
dia sudah ketakutan seperti itu. Padahal aku sudah berlaku hina sejak
bertahun-tahun lamanya. Berapa banyak dosa yang telah kulakukan?
Mestinya aku harus lebih takut daripada dia, karena Tuhan yang
ditakutinya adalah Tuhanku juga.”
Dengan pikian-pikiran semacam itu,
akhirnya perempuan tersebut berhenti dari pekerjaan hinanya. Ia bertobat
sama sekali. Pintu rumahnya selalu terkunci. Dan pakaian-pakaian yang
merangsang dibuangnya. Dengan tekun ia beribadah siang malam,mendekatkan
diri kepada Tuhan yang telah ditinggalkannya selama ini.
Sementara itu, ikatannya tidak pernah
lepas dari pemuda alim yang menaklukannya. Ia berpikir, “Andaikata aku
dapat kawin dengannya pastilah aku bisa dipimpinnya untuk beribadah
lebih baik.”
Karena tekadnya sangat kuat untuk
menemukan pemuda itu, maka ia pun bersiap-siap mengadakan perjalanan
jauh. Dikumpulkammya harta benda serta kekayaannya. Bujang-bujangnya
diperintahkan untuk mengawalnya. Hari itu pula kafilah itu berangkat,
mencari kampung tempat tinggal si alim muda.
Sesudah menempuh jarak berhari-hari,
sampailah mereka di kampung yang dituju. Seseorang memberi kabar kepada
si alim, bahwa ada seorang tamu mencarinya. Alim itu keluar menyongsong
tamu yang dimaksud.
Begitu bertemu dengan si alim tersebut,
karena sangat gembira, perempuan itu buru-buru menutup wajahnya. Alim
itu terpekik kaget. Tergambar kembali ingatan lamanya saat ia hampir
terjerumus melakukan dosa besar. Dia takut kepada Allah, dan dia malu,
malu sekali. Saking terperanjat dan tidak disangka-sangka dari semula,
putuslah urat jantungnya dan ia tewas saat itu juga.
Perempuan itu menjerit sedih. Dengan
cepat, ia menubruk si alim. Namun pemuda itu sudah tidak bernyawa lagi.
Ia pun menangis menyesali dirinya. Mengapa musibah ini terjadi, padahal
kedatangannya dengan maksud baik?
Dengan biaya ditanggung seluruhnya oleh
perempuan itu, mayat si alim dikuburkan baik-baik. Setelah selesai masa
berkabung, perempuan itu lantas berkata,
“Saudara-saudara sekalian, kedatangan
saya kemari sebetulnya ingin menjadi istri almarhum. Tapi ternyata
takdir lebih berkuasa. Karena itu, apakah kiranya dia mempunyai saudara
laki-laki yang mau memperistri saya?”
Orang-orang menjawab,”Ada, dia punya abang belum beristri. Dia orang yang saleh, cuma kelewat miskin.”
Perempuan itu menjawab, “Itu tidak jadi soal. Hartaku cukup untuk menjamin makan kami berdua sampai mati.”
Maka kawinlah perempuan itu dengan abang
si alim. Mereka hidup bahagia smapai tua, dan dari perkawinannya lahir
tujuh orang anak laki-laki. Semuanya menjadi pemimpin yang saleh di
kalangan Bani Israil, berkat pendidikan dan lingkungan yang baik.
Hal ini sejalan dengan janji Allah bahwa
semua dosa, betapapun besar dan kejinya, pasti akan diampuni oleh
Allah, kecuali dosa menyekutukan Allah dengan yang lain, baik di dalam
peribadatan maupun waktu memohon doa. Menyekutukan Allah sama artinya
dengan memfitnah Allah dan menuduh Allah seolah-olah Allah tidak punya
daya dan kuasa apabila tidak dibantu oleh sekutu-sekutu-Nya.
Sedangkan, dosa yang dilakukan oleh
perempuan itu adalah dosa Adami, dosa yang dikerjakan dengan menyesali
perbuatanya dan mengakui kekejiannya, serta dilakukan dengan dorongan
hawa nafsu, bukan denan niat menentang hukum dan peraturan Allah.
Oleh K.H.Abdurrahman Arroisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar