Jumat, 23 Oktober 2015

Hukum Nikah Mut’ah dalam Islam

Nikah Mut'ah = Zina

Kawin Kontrak, Nikah Mut'ah, Mut'ah = Zina
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisnya, manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” -QS adz Dzariyat ayat 49-. Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas dan posisi masing-masing.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]
Oleh karenanya, salah satu maqashid syari’ah (pokok dasar syariah), yaitu menjaga keturunan. Islam menganjurkan umat Islam untuk menikah dan diharamkan membujang. Islam melarang mendekati zina dan menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut. Islam juga mengharamkan perzinaan yang berbalutkan dengan sampul pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan. Di antara pernikahan yang diharamkan oleh Islam, ialah seperti :
1. Nikah tahlil, yaitu seseorang menikah dengan seorang wanita yang telah dithalak tiga oleh suaminya, dengan tujuan agar suami pertama dapat rujuk dengannya.[2]
2. Nikah syighar, yaitu seseorang menikahkan putrinya dengan seseorang, dengan syarat orang yang dinikahkan tersebut juga menikahkan putrinya, dan tidak ada mahar atas keduanya.[3]
3. Nikah muhrim, dan seterusnya.
Juga terdapat pernikahan yang diharamkan, yang dikenal dengan nikah kontrak (kawin kontrak). Nikah yang biasa disebut nikah mut’ah ini merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam. Uniknya, nikah mut’ah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama Syi`ah dengan mengatasnamakan agama. Berikut ini penjelasan fiqih Islam tentang hukum nikah mut’ah.
DEFINISI NIKAH MUT’AH
Yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.[4]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[5]
Jadi, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada empat :
1. Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.[6]
NIKAH MUT’AH PADA MASA PENSYARIATAN, ANTARA BOLEH DAN LARANGAN
Nikah mut’ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat- diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat.
Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut’ah pada awal Islam ialah :

عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً ” .

Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[7]

وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا

Dari beliau, juga berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami”. [8]

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا

Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami”. [9]
Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mut’ah? Untuk menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut’ah berbeda-beda.
Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut’ah, sesuai dengan urutan waktunya.[10]
1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu.
Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.
• Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai pada umrah qadha [11], perang Tabuk[12] dan Haji Wada [13] tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut :
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada masa perang Khaibar :

عَنْ مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ خَيْبَرَ

Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.[14]
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk mut’ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermut’ah dengan salah seorang dari kami?” Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku baru, mengkilap”. Dia berucap,”Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut’ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya.[15]
Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut’ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al Akwa`.
• Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan [16], bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian [17]. Seharusnya ucapan beliau, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”. Dengan demikian, larangan mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna”.[18]
Sedangkan riwayat pengharaman mut’ah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut’ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali. Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.” [19]
Al Qurthubi berkata, “Telah berkata Ibnul ‘Arabi, ‘Adapun mut’ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena mut’ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut’ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.”[20]
Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mut’ah, mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan.[21]
Kesimpulan Dari Pembahasan Di Atas.
Pertama : Telah terjadi perselisihan tentang waktu pengharaman. Ibnul Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Mekkah.[22]
Kedua : Bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik haramnya nikah mut’ah; karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah terjadi kesapakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya.
Al Qurthubi berkata, ”Pengharaman mut’ah telah berlaku stabil. Dan dinukilkan dari Ibnul ‘Arabi, bahwa tekah terjadi Ijma’ (kesepakatan) atas pengharamannya (yaitu ijma` Ahlus Sunnah yang datang kemudian, wallahu a`lam, Pen).” [23]
HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT’AH
Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma’, dan secara akal.
• Dari al Qur`an :

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ – إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ – فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24]

وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut’ah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut’ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut’ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut’ah.
Di antara pernyataan tersebut ialah :
  1. Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
  2. Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang mut’ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.[27]
  3. Qadhi Iyadh berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi’ah, Pen)”. [28
  4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut’ah nyaris menjadi sebuah Ijma’ (maksudnya Ijma’ kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi’ah”. [29]
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :[30]
  1. Sesungguhnya nikah mut’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
  2. ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah.
  3. Haramnya nikah mut’ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
  1.  Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
  2. Disia-siakannya anak hasil mut’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
  3. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.
SEPUTAR IJTIHAD IBNU ABBAS RADHIYALLAHU ‘ANHU DALAM MASALAH MUT’AH [31]
Dalam permasalahan ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu mempunyai tiga pendapat.[32]
• Membolehkannya secara mutlak.
Disebutkan dari ‘Atha`, beliau mendengar Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa nikah mut’ah boleh …[33]
• Membolehkannya dalam keadaan darurat. Riwayat ini yang termasyhur dari beliau.
Di antaranya riwayat dari Ubaidillah [34] : “Bahwa Abdullah bin Abbas berfatwa tentang mut’ah. Para ahli ilmu mencelanya karenanya, akan tetapi beliau tidak bergeming dari pendapatnya, hingga para ahli syair melantunkan syair tentang fatwanya :
Wahai kawan, kenapa engkau tidak melakukan fatwa Ibnu ‘Abbas?
Apakah engkau tidak mau dengan si perawan sintal, dan seterusnya …
Maka berkatalah Ibnu Abbas: “Bukan itu yang aku maksud, dan bukan begitu yang aku fatwakan. Sesungguhnya mut’ah tidak halal, kecuali bagi yang terpaksa. Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya seperti makan bangkai, darah dan daging babi”.
• Melarangnya secara mutlak, akan tetapi riwayat ini lemah. [35]
TANGGAPAN ULAMA TENTANG FATWA IBNU ABBAS RADHIYALLAHU A’NHU
• Tanggapan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Salim budak Ibnu ‘Umar, ia berkata :
Dikatakan kepada Ibnu Umar: “Ibnu Abbas memberi keringanan terhadap mut’ah”. Beliau (Ibnu ‘Umar, Red) berkata,”Aku tidak percaya Ibnu Abbas mengucapkan itu.” Mereka berkata,”Benar, demi Allah, beliau telah mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar berkata,”Demi Allah, dia tidak akan berani mengucapkan itu pada masa Umar. Jika dia hidup, tentu dia hukum setiap yang melakukannya. Aku tidak mengetahuinya, kecuali (mut’ah, Red) itu perbuatan zina.” [36]
• Khattabi berkata, “Ibnu Abbas membolehkannya bagi orang yang terdesak, karena lamanya membujang, kurangnya kemampuan. Lalu beliau berhenti dari fatwa tersebut (yaitu rujuk) [36].” Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibnul Qayyim. [38]
• Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Kalangan ulama menilai fatwa Ibnu Abbas dalam masalah mut’ah merupakan satu-satunya fatwa yang mengatakan boleh.” [39]
Demikian permasalahan nikah mut’ah, atau padanan dalam bahasa kita dikenal dengan istilah kawin kontrak. Tak syak lagi, bahwa Rasulullah telah mengharamkan praktek nikah mut’ah ini. Islam menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor dan menjijikan. Islam mengharamkan perzinaan yang berbalutkan pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan. Billahi taufiq.
Ustadz Armen Halim Naro –rahimahullah
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun IX/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Silahkan lihat Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, Maktabah Ubaikan (2/104).
[2]. Jami’ Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/137).
[3]. Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Risalah (5/108).
[4]. Jami’ Ahkamu Nisaa` (3/169-170), dan silahkan lihat juga definisinya di dalam Subulus Salam, Ash Shan’ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Alam Kutub (10/46).
[5]. Subulus Salam, ash Shan’ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
[6]. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq (2/132).
[7]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[8]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[9]. HR Muslim, 9/157, (1405).
[10]. Silahkan lihat pembahasan ini di dalam Jami’ Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/171-205).
[11]. Haditsnya diriwayatkan oleh Ibnu Manshur di dalam Sunan-nya (1/217), akan tetapi haditsnya mursal.
[12]. Haditsnya diriwaytakan oleh Ibnu Hibban, no.1267. Di dalam sanadnya terdapat rawi Mukmal bin Ismail dan Ikrimah bin Ammar. Keduanya tidak lepas dari kritikan, Jami’ Ahkam Nisaa’ (3/193).
[13]. Hadistnya diriwayatkan oleh Ahmad (3/404), Thabrani (6532), al Baihaqi di Sunan Kubra (7/204) dan yang lainnya. Riwayatnya Syaz (yaitu penyelisihan hadits ini dengan riwayat yang lebih kuat). Lihat Irwa` Ghalil (6/312).
[14]. HR Muslim, 9/161, (1407).
[15]. HR Muslim, 9/158, (1406).
[16]. Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169),
[17]. Di dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan antara Ali yang memandang haramnya mut’ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya membolehkan mut’ah. Kemudian Ali berkata kepadanya: “Engkau, orang yang bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan mut’ah pada perang Khaibar”.
[18]. Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim (4/111).
[19]. Tafsir al Qur`anil ‘Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449).
[20]. Jami’ Ahkamil Qur`an, al Qurthubi, Dar Syi’ib (5/130-131).
[21]. Ibid. (5/131).
[22]. Silahkan lihat Zadul Ma’ad (3/460).
[23]. Jami’ Ahkamil Qur`an (5/87).
[24]. Mukhtashar Itsna Asy’ariah, Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 228.
[25]. Ibid.
[26]. Jami’ Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).
[27]. Syarh Ma’anil Atsar (3/27).
[28]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).
[29]. Aunul Ma’bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[30]. Silahkan lihat asy Syi’ah wal Mut’ah, Muhammad Malullah, Maktabah Ibnu Taimiyah, hlm.19; Mukhtashar Itsna Asy’ariah, Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 227-228 dan Fiqih Sunnah, Sayid Sabiq (2/130-131).
[31]. Sebagian ulama menyebutkan nama sebagian sahabat yang berpendapat bolehnya mut’ah, akan tetapi sengaja tidak kami sebutkan, karena lemahnya riwayat dari mereka, atau rujuknya mereka tentang hal itu. Silahkan lihat Fahul Bari (9/174).
[32]. Silahkan lihat Irwa` Ghalil (6/319) dan Jami` Ahkamin Nisaa` (3/195).
[33]. HR Mushannaf, Abdurrazzaq (14022)
[34]. HR Muslim (9/174), dan ucapan Ibnu Abbas di atas disebutkan oleh al Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/205).
[35]. Dikeluarkan oleh at Tirmidzi (1122) dan al Baihaqi (7/205). Dalam sanadnya terdapat Musa bin ‘Ubaidah ar Rabzi, dan dia dha’if.
[36]. HRAbdur Razaq di Mushannaf-nya (14020) dengan sanad shahih. Lihat Jami` Ahkamin Nisaa’ (3/199).
[37]. A’unul Ma’bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[38]. Zadul Ma’ad (5/112).
[39]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar