Pada jaman Bani Israil, ada seorang perempuan yang sangat cantik. Lekuk-lekuk tubuhnya menggiurkan, dan dia amat pandai mempergunakan kecantikannya untuk memikat laki-laki. Tidak sedikit pria baik-baik tergiur dalam rayuannya.
Pintu rumahnya senantiasa terbuka. Dengan sikap serta pakaian yang merangsang, dia duduk di atas tempat tidur. Kain seprenya bewarna merah muda. Senyum manisnya selalu terhambur kepada siapa saja. Tempat tidurnya dapat terlihat dari arah pintu.
cerita-islami.com_pelacur-taubat
Setiap laki-laki yang lewat dan melihatnya, pasti akan tergetar birahinya. Seringkali dari pandangan yang sekilas itu para laki-laki tersebut begitu terangsang hawa nafsunya.  Akibatnya, dengan segala cara mereka mengumpulkan uang, paling tidak sepuluh dinar untuk memasuki rumah perempuan itu.
Suatu ketika ada seorang alim muda melewati depan pintu rumahnya. Alim ini adalah seorang santri yang tekun beribadah. Namun, begitu bertatapan mata dengan perempuan itu, tubuhnya berkeringat. Pandangannya terpaku kepada wajah yang halus dan tersenyum itu.
Dengan segala kemampuan tekadnya, dia mencoba memerangi perassaannya sendiri. Di meminta kepada Allah supaya melenyapkan hawa nafsu yang rasanya sudah hampir meledak. Namun, ia tidak mampu mengendalikan diri. Tubuh yang indah itu. Mata yang tajam itu. Bibir yang mungil itu. Bayangan-bayangan semacam itu terus membayanginya sepanjang perjalanan.
Akhirnya, si alim muda itu nekad. Akhirnya semua pakaiannya dijual, juga semua miliknya yang lainnya. Karena masih kurang dari sepuluh dinar, dia smpai berhutang ke kiri-kanan. Begitu terkumpul uang yang dikehendaki, ia buru-buru berangkat. Saking tidak kuatnya menahan diri, sampai ia lari terengah-engah.
Begitu tiba dirumah perempuan itu,  ia disuruh menyerahkan uangnya kepada perempuan yang berada di kamar sebelah. Waktu ia kembali ke tempat perempuan tersebut, pelacur itu sudah bersolek lebih cantik lagi. Ia sengaja membuka sebagian auratnya agar lebih merangsang. Lalu,ia terbaring di tempat tidurnya.
Si alim muda, begitu melihat lawan jenis yang meruntuhkan imannya itu telah siap di tempat tidur, buru-buru mendekat dan duduk di sebelahnya. Gemetar tubuhnya mengalami kejadian yang baru pertama kali ini.
Namun, rupanya Tuhan masih sayang kepadanya. Rahmat Allah teriring sebagai balasan bagi ibadahnya yang tekun dan tobatnya yang sungguh-sungguh pada masa lalu.
Ketika tangannya telah hendak terjulur memeluk perempuan itu, tiba-tiba badannya menggigil, dan ketakutan dalam hatinya. Bergema di segenap jiwanya bahwa Tuhan melihat keadaannya sekarang dan mengawasi semua tindak-tanduknya. Berubah wajahnya seketika, pucat bagaikan putih salju.
Si perempuan, waktu melihat warna muka alim muda tersebut, sangat kuatir dan heran. Ia bertanya,
“Apa yang telah terjadi padamu? Sakit?”
“Tidak. Saya takut kepada Allah. Izinkanlah saya pergi.” Jawab si santri ketakutan.
“Ha! Gila! Berapa laki-laki yang kepingin seperti ini sampai mengemis ngemis. Sedangkan kau, sudah teruskan saja, mau dibatalkan? Tidak bisa.”
“Sungguh,saya takut kepada Allah. Biarlah yang sepuluh dinar saya serahkan kepadamu. Asal kau izinkan saya keluar.”
“Tapi tidak begini saja bukan? Ayo…!”
“Tidak, tidak. Cukup begini saja. Saya takut kepada Allah.”
Karena heran, perempuan itu pun lalu bertanya,
“Dimana engkau tinggal? Siapa namamu?”
Sesudah pertanyaan ini dijawab, barulah santri itu diperbolehkan keluar. Setiba dirumahnya, santri itu menangisi dosanya dan bertobat kepada Allah.
Adapun keadaan perempuan sepeninggal santri tersebut, jauh berbeda dari sebelumnya. Biasanya ia tidak dapaat berpikir tentang dosa dan maksiat. Ia hanya tahu bersenang-senang saja. Tetapi berkat pergaulannya yang sangat singkat dengan pemuda ahli ibadah tadi, tumbuh rasa takut yang besar dari waktu ke waktu. Dalam batinnya ia berkata sendiri,
“Laki-laki itu baru saja berbuat dosa, dia sudah ketakutan seperti itu. Padahal aku sudah berlaku hina sejak bertahun-tahun lamanya. Berapa banyak dosa yang telah kulakukan? Mestinya aku harus lebih takut daripada dia, karena Tuhan yang ditakutinya adalah Tuhanku juga.”
Dengan pikian-pikiran semacam itu, akhirnya perempuan tersebut berhenti dari pekerjaan hinanya. Ia bertobat sama sekali. Pintu rumahnya selalu terkunci. Dan pakaian-pakaian yang merangsang dibuangnya. Dengan tekun ia beribadah siang malam,mendekatkan diri kepada Tuhan yang telah ditinggalkannya selama ini.
Sementara itu, ikatannya tidak pernah lepas dari pemuda alim yang menaklukannya. Ia berpikir, “Andaikata aku dapat kawin dengannya pastilah aku bisa dipimpinnya untuk beribadah lebih baik.”
Karena tekadnya sangat kuat untuk menemukan pemuda itu, maka ia pun bersiap-siap mengadakan perjalanan jauh. Dikumpulkammya harta benda serta kekayaannya. Bujang-bujangnya diperintahkan untuk mengawalnya. Hari itu pula kafilah itu berangkat, mencari kampung tempat tinggal si alim muda.
Sesudah menempuh jarak berhari-hari, sampailah mereka di kampung yang dituju. Seseorang memberi kabar kepada si alim, bahwa ada seorang tamu mencarinya. Alim itu keluar menyongsong tamu yang dimaksud.
Begitu bertemu dengan si alim tersebut, karena sangat gembira, perempuan itu buru-buru menutup wajahnya. Alim itu terpekik kaget. Tergambar kembali ingatan lamanya saat ia hampir terjerumus melakukan dosa besar. Dia takut kepada Allah, dan dia malu, malu sekali. Saking terperanjat dan tidak disangka-sangka dari semula, putuslah urat jantungnya dan ia tewas saat itu juga.
Perempuan itu menjerit sedih. Dengan cepat, ia menubruk si alim. Namun pemuda itu sudah tidak bernyawa lagi. Ia pun menangis menyesali dirinya. Mengapa musibah ini terjadi, padahal kedatangannya dengan maksud baik?
Dengan biaya ditanggung seluruhnya oleh perempuan itu, mayat si alim dikuburkan baik-baik. Setelah selesai masa berkabung, perempuan itu lantas berkata,
“Saudara-saudara sekalian, kedatangan saya kemari sebetulnya ingin menjadi istri almarhum. Tapi ternyata takdir lebih berkuasa. Karena itu, apakah kiranya dia mempunyai saudara laki-laki yang mau memperistri saya?”
Orang-orang menjawab,”Ada, dia punya abang belum beristri. Dia orang yang saleh, cuma kelewat miskin.”
Perempuan itu menjawab, “Itu tidak jadi soal. Hartaku cukup untuk menjamin makan kami berdua sampai mati.”
Maka kawinlah perempuan itu dengan abang si alim. Mereka hidup bahagia smapai tua, dan dari perkawinannya lahir tujuh orang anak laki-laki. Semuanya menjadi pemimpin yang saleh di kalangan Bani Israil, berkat pendidikan dan lingkungan yang baik.
Hal ini sejalan dengan janji Allah bahwa semua dosa, betapapun besar dan kejinya, pasti akan diampuni oleh Allah, kecuali dosa menyekutukan Allah dengan yang lain, baik di dalam peribadatan maupun waktu memohon doa. Menyekutukan Allah sama artinya dengan memfitnah Allah dan menuduh Allah seolah-olah Allah tidak punya daya dan kuasa apabila tidak dibantu oleh sekutu-sekutu-Nya.
Sedangkan, dosa yang dilakukan oleh perempuan itu adalah dosa Adami, dosa yang dikerjakan dengan menyesali perbuatanya dan mengakui kekejiannya, serta dilakukan dengan dorongan hawa nafsu, bukan denan niat menentang hukum dan peraturan Allah.
Sumber: 30 Kisah Teladan
Oleh K.H.Abdurrahman Arroisi