Selasa, 23 September 2014

Desa Pelacur di India

    Photo: Felix Gaedtke
Pemerkosaan beramai-ramai dan pembunuhan terhadap seorang perempuan India di sebuah bus di Delhi telah memicu perdebatan panas soal hak-hak perempuan di negeri itu. 
Namun hanya sedikit yang membicarakan soal pelacuran. 
Nat Purwa adalah sebuah desa kecil di negara bagian berpenduduk terpadat di India, Uttar Pradesh. 
Sekitar lima ribu jiwa tinggal di sini. 
Para perempuan di sini mewariskan pelacuran sebagai sebuah profesi dari satu generasi ke generasi berikutnya. 
Belum lama ini, semua perempuan di desa ini adalah pekerja seks. 
Pinku, Kepala Desa Nat Purwa.
“Awalnya masyarakat terbagi berdasarkan sistem kasta. Orang dari kasta yang lebih tinggi biasanya mempekerjakan orang dari kasta yang lebih rendah untuk bekerja di ladang dan kebun. Para istri dan anak perempuan dari kaum Dalit ini dipaksa menjadi budak seks oleh para majikan. Mereka minum-minum dan tidur dengan perempuan Dalit untuk memuaskan hasart seksnya. Tidak ada yang membantu para perempuan ini dan mereka tidak bisa melawan. Perlahan ini kemudian berubah menjadi bisnis.” 
Apa yang diceritakan Pinku hanyalah sebagian cerita. 
Para pakar merujuk ke cerita lain. 
Orang yang tinggal di Nat Purwa adalah masyarakat yang terpinggirkan. Mereka disebut masyarakat ‘Nat', yang dulunya berprofesi sebagai pemain sandiwara dan penghibur tradisional.  
Pada masa kolonial, aktivitas mereka ini dikategorikan sebagai 'kejahatan' dan mata pencarian mereka dimatikan. 
Inilah yang mendorong para perempuan di sana menjadi pelacur. 
Generasi berikutnya, para anggota keluarga, sebagian besar pria, mulai menjadi mucikari para perempuan itu untuk mencari nafkah. 
Tapi seorang perempuan bernama Chandralekha menentang tradisi ini. Ia menjadi pekerja seks saat berusia 15 tahun. 
“Ayah tidak mau saya jadi pelacur. Tapi nenek bilang menikah bukanlah tradisi di desa ini. Tidak ada pernikahan di desa saat itu. Dia bilang jika dia menikah dia akan dipukuli. Semua warga desa terlibat dalam pelacuran jadi apa yang membuatnya berbeda adalah apakah ia bergabung atau tidak, kata nenek saya. Dialah yang membuat saya terlibat dalam prostitusi.”
Chandralekha mengatakan saat itu dia tidak punya pilihan lain. 
“Saya selalu merasa buruk. Dengan laki-laki pertama lalu yang kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam. Ribuan pria datang ke satu perempuan. Saya bilang perempuan mulai merasa buruk sejak awal, tapi di sana kelemahannya. Ada perut lapar yang harus diisi. Lalu juga ada pemikiran 'saya sudah terjebak dalam bisnis ini dan sudah tidak ada harapan lagi untuk keluar.' Walau sudah merasa buruk sejak awal tapi perempuan harus melakukannya.”
Setelah 20 tahun berlalu, ada satu kejadian yang membuatnya berubah pikiran. 
“Suatu hari, saya sedang menari di sebuah desa tetangga. Saya bertengkar dengan seseorang di desa itu. Dia menyumpahi dan mencaci maki ibu saya. Saat itu saya sangat marah. Saya belajar bahwa dalam kehidupan nyata, tidak ada yang menghargai kehidupan seorang pelacur. Pelacur adalah pelacur. Dua hari saya di sana untuk menari dan menyanyi. Saya tidak makan selama di sana dan terus menangis. Saya sangat marah. Ketika saya pulang, saya berjanji pada diri sendiri bahwa saya tidak akan pernah mengenakan gelang di kaki saya setelah hari itu. Saya melepaskan gelang saya hari itu juga.”
Ada begitu banyak stigma yang dilekatkan pada desa Nat Purwa dan masyarakatnya. 
Ram Babu, seorang pekerja sosial menjelaskan.
“Anak siapa kamu? Anak pelacur? Kalau begitu kamu pasti juga bajingan. Tidak ada yang tahu siapa ayahmu. Tidak ada yang tahu kamu anak siapa. Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus kami hadapi di luaran. Dan ketika seorang anak laki-laki menghadapi pertanyaan semacam ini, saya yakin mereka akan terluka. Tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada yang membantu mereka.”
Ram Babu bekerja di sebuah LSM bernama ASHA untuk membantu para perempuan yang terlibat dalam pelacuran. 
Usaha yang dilakukan LSM ini berhasil mengubah perilaku masyarakat. 
Selama beberapa tahun, mereka sudah meyakinkan lebih banyak perempuan untuk mendobrak tradisi dan meraih masa depan yang lebih baik. 
Kata dia, 60 persen perempuan di sini berhasil meninggalkan masa lalunya. Tapi masih ada tantangan lain. 
“Jika Anda ingin melihat perubahan, Anda harus mampu menawarkan cara alternatif untuk menghasilkan uang. Jika mereka diberi pilihan konkrit mereka akan menganggapnya serius. Langkah jangka panjang yang juga harus dilakukan adalah dalam bidang pendidikan. Ini masalah besar di sini. Jika tidak ada pendidikan, mereka akan mudah diatur orang lain.”
Ram Babu mengeluhkan kurangnya dana dan bantuan dari pemerintah. 
Lambat laun, mulai ada tanda-tanda perubahan. Generasi pertama anak-anak perempuan di Nat Purwa sudah bersekolah.
Baislu adalah salah satu murid di sekolah negeri di Nat Purwa. 
“Saya mau jadi dokter agar bisa mengobati dan merawat orang miskin.” (http://www.portalkbr.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar