Senin, 02 Juni 2014

Dolly dan sejarah prostitusi di tanah Jawa

Dolly dan sejarah prostitusi di tanah Jawa
Ilustrasi (dok:Sindonews)
Penutupan Lokalisasi Dolly oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, di Jalan Putat Jaya Timur, Surabaya, Jawa Timur, menimbulkan polemik di masyarakat. Lokalisasi yang sudah ada sejak zaman Belanda ini, dianggap memberi penghidupan bagi masyarakat sekitar.

Jika ditarik ke belakang, ternyata sejarah pelacuran di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman kerajaan, jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Nusantara.

Seperti dikutip dalam Wakhudin (2006), Proses Terjadinya Degradasi Nilai Moral pada Pelacur dan Solusinya (Thesis),  Bandung: Program Studi Pendidikan Umum, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dikatakannya, pelacuran sudah ada sejak zaman raja-raja Jawa.

Seluruh kehidupan yang ada di atas tanah Jawa, mulai dari air, udara, tanah, dan sebagainya, adalah milik raja. Hukum dan keadilan, serta kebenaran juga hanya milik raja.

Ketika raja sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menghalangi. Termasuk saat dia ingin mempersunting seorang istri di luar permaisuri atau selir. Bahkan, banyak bangsawan yang ingin puteri cantik dan memikatnya dijadikan selir seorang raja, karena dianggap penghormatan.

Di luar selir, para raja juga menyimpan gundik, atau wanita di luar nikah. Praktik pergundikan ini merupakan adat raja-raja Jawa, yang menyebar ke masyarakat luas.

Praktik pergundikan ini terus dijaga hingga zaman kolonial. Namun pada masa itu yang terjadi bukan lagi raja dengan masyarakatnya. Melainkan tuan tanah dengan perempuan dari kalangan pribumi atau budak yang menjadi bawahannya. Hal ini terjadi karena tidak adanya perempuan yang sederajat.

Praktik pergundikan di zaman kolonial ini, kemudian melahirkan kelas dalam masyarakat yang disebut dengan istilah kaum Indo, pada abad ke-19 dan ke-20.

Sedikitnya, ada 11 kabupaten yang dalam sejarah dikenal sebagai pemasok perempuan untuk raja. Terdiri dari Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat, Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan, di Jawa Timur.

Kecamatan Gabus Wetan, di Indramayu, bahkan terkenal sebagai sumber pelacur muda yang dikirim ke Istana Sultan Cirebon. Selain istana, tempat prostitusi atau pergundikan juga tersebar di daerah. Bahkan telah menjadi industri seks yang khusus menyediakan wanita penghibur.

Dalam perkembangannya, para pelaku seks di tempat prostitusi terbagi menjadi tiga kelas. Pertama adalah kelas atas, menengah, dan bawah. Kelas atas terdiri dari orang Indo, dan Eropa. Kelas menengah adalah Cina dan Jepang. Kelas bawah, terdiri dari orang Melayu atau Jawa.

Orang Eropa, biasanya suka dan dianjurkan memakai perempuan Eropa, Cina, Jepang, dan lokal. Sedangkan orang Jawa, Cina maupun Jepang, tidak boleh memakai perempuan Eropa.

Bisnis prostitusi bertambah pesat, setelah dilakukan perluasan industri perkebunan di Jawa Barat, dan Sumatera. Industri gula di Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Serta pembangunan jalan raya dan jalur kereta api di sejumlah daerah. Proyek ini menyebabkan migrasi tenaga kerja laki-laki besar-besaran.

Keterangan itu diperkuat oleh pernyataan Rudolf Mrazek (2002) yang mengatakan, Jawa sejak pembukaan Jalan Daendels tahun 1808 dan jalur kereta api (trem uap) antara Semarang-Demak-Kudus-Juwana, pada 1883-an, membuat perekonomian masuk ke masyakarat pedesaan.

Proyek pembangunan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa, seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta, dan Surabaya, tahun 1884, melahirkan tempat prostitusi.

Jejak prostitusi yang mengiringi pembangunan proyek itu dapat terlihat di kawasan Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, Saritem, Pasarkembang, Balongan, Sosrowijayan, Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian besar tempat pelacuran itu, hingga kini masih beroperasi.

Di tempat-tempat lain, seperti di Stasiun Tawang,  Stasiun Beos (Stasiun Kota, Jakarta), Stasiun Pasar Senen (Jakarta), Bendungan Hilir, Bongkaran, Kali Malang, Kaligot, Gang Mangga, Petamburan, dan Gang Hamber, juga dapat ditemukan lokasi prostitusi.

Begitupun dengan di Banjarsari, Turisari, Cinderejo (Terminal Tirtonandi), Sangkrah, Alun-Alun Kidul, Semanggi, Sangkrah dan sepanjang jalan Pasar Legi.

Tempat prostitusi juga dapat ditemukan di kawasan Tanjung Perak, dan Banyu urip. Bahkan, antara Banyu Urip sampai pelabuhan Tanjung Perak, disebut sebagai jalan pelacur (prostitution street).

Berdasarkan data yang terhimpun, jumlah pelaku prostitusi di Surabaya, pada 1864 adalah 228 dengan 18 rumah bordil. Jumlah itu meningkat pada 1869, dan semakin banyak pada tahun-tahun krisis 1920-1930. Hingga kini, sebagian tempat prostitusi itu masih beroperasi.

Di antara tempat prostitusi yang masih beroperasi hingga kini adalah prostitusi di gang Dolly, yang pertama dibuka oleh seorang noni Belanda, bernama Dolly van Der Mart. Tempat ini menyediakan para wanita penghibur dari Semarang, Kudus, Pati, Purwodadi, Nganjuk, Surabaya, dan Kalimantan.

Sejak dibuka oleh Dolly, lokalisasi ini langsung menjadi buah bibir. Hingga menjadi tempat wajib ketika para pelancong datang ke Surabaya. Seketika, Dolly menjadi lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, melebihi Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.(http://daerah.sindonews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar