oleh Charles Roring
Malam minggu
adalah malam yang panjang. Kompleks 666, pusat industri hiburan di kota
Sorong sejak sore tadi sudah ramai dikunjungi orang. Kompleks ini
terletak jauh di luar kota. Perlu waktu satu jam berkendaraan untuk
berkunjung ke sana. Walau terpencil, Kompleks 666 selalu ramai
dikunjungi para “wisatawan.”
Waktu
menunjukkan pukul 20.00 WIT. Semarak lagu dangdut terdengar nyaring di
pengeras suara. Para pria larut dalam goyangan dangdut ditemani
kaleng-kaleng bir dan wanita-wanita penghibur. Mereka adalah
perantau-perantau yang datang ke tanah Papua untuk mengadu nasib. Ada
yang bekerja di perusahaan kayu, perusahaan ikan, serta ada pula yang
hanya berprofesi sebagai sopir angkutan umum atau tukang ojek.
Kebanyakan dari mereka datang untuk melupakan keletihan dan kepenatan
kerja.
Di salah satu
kamar yang berjejer di belakang ruang diskotik, seorang wanita baru saja
mandi. Namanya Linda. Berdiri di depan cermin, ia mengeringkan tubuhnya
dengan sebuah handuk yang berhiaskan ornamen ikan, kapal dan lautan.
Handuk ini pemberian Oom Gendut yang bekerja di sebuah kapal ikan.
Handuk itu dibeli Oom Gendut waktu ia berlayar ke Jepang.
Dulu sebulan
sekali Oom Gendut datang mengunjunginya. Ia selalu memberi uang yang
banyak sekali padanya. Linda bisa memperoleh lima ratus ribu rupiah
setiap akhir pekan kalau menemani Oom Gendut itu. Sayang sekali, Oom
Gendut tidak pernah lagi menampakkan dirinya di tempat ini. Oom Gendut
pernah bilang daerah operasi kapal ikannya akan dipindahkan ke kawasan
selatan perairan Papua, atas perintah kantor pusat yang berkedudukan di
Jakarta. Oleh karena itu ia tidak akan bisa bertemu Linda lagi. Linda
tidak bersedih hati. Hampir setiap hari selalu saja ada pria yang datang
dan mengajaknya bermain cinta.
Sejenak Linda
memandangi tubuhnya yang telanjang bulat di hadapan cermin. Kulitnya
yang putih mulus, lekak-lekuk tubuhnya yang indah dan payudaranya yang
kencang adalah modal utamanya dalam menjaring rupiah di perantauan ini.
Tak terhitung banyaknya lelaki yang pernah jatuh ke dalam pelukannya. Ia
tahu ia semakin tua. Tak selamanya kulitnya mulus, tak selamanya
lekak-lekuk tubuhnya menarik, tak selamanya payudaranya menonjol
kencang. Semua ada waktunya. Dan waktunya itu kian pendek. Mulai
sekarang ia harus mempersiapkan diri. Walaupun masih kelihatan cantik,
ia tidak muda lagi. Usianya sudah mencapai tiga puluh lima tahun.
Baru-baru ini,
manajer Kompleks 666 mendatangkan puluhan “pelayan-pelayan kafe” dari
Sulawesi Utara. Mereka putih bersih, usia mereka masih sangat muda.
Rata-rata delapan belas tahun ke atas dan kuat minum. Manager menyukai
pelayan yang kuat minum ketika menemani tamu demi meningkatkan omset
penjualan Bar 666. Sepintas, penampilan wanita-wanita penghibur asal
Sulut mirip aktris Mandarin dalam film-film Hongkong. Hanya saja, mereka
itu dikirim dari kampung-kampung di Minahasa.
Andai saja
Linda tidak memiliki ketrampilan khusus, ia pasti sudah dipensiunkan
dari Kompleks 666. Walaupun dengan kemampuan suara yang pas-pasan, Linda
bisa menyanyikan lagu-lagu pop barat dengan baik. Rata-rata wanita
penghibur di Kompleks 666 tidak pandai menyanyi lagu barat. Kebanyakan
hanya mampu menyanyikan lagu pop biasa dan dangdut. Oleh karena itu
Linda masih memiliki sejumlah penggemar setia.
Ia pernah
kursus bahasa Inggris selama tiga bulan di Surabaya sebelum merantau ke
Papua. Rencananya ia akan bekerja di sebuah perusahaan gas alam yang
dikelola oleh sebuah konsorsium asing. Sayang sekali, nasibnya saja yang
kurang beruntung sehingga ia terdampar di kompleks prostitusi ini.
Sehabis
mengusapi wajah dan sekujur tubuhnya dengan bedak, Linda lalu
menyemproti ketiak-ketiak dan lehernya dengan parfurm berbau mawar.
Tubuhnya wangi. Kemudian ia mengenakan bh, celana dalam, rok, dan baju.
Semua pakaian luar dan dalam yang dipakainya malam ini berwarna merah
menyala. Roknya pendek sekali, satu jengkal ke paha bila diukur dari
lututnya. Kalau ia duduk dengan paha sedikit terbuka, orang yang
berhadapan dengannya, pasti dengan mudah dapat melihat pangkal paha dan
selangkangannya yang dibalut kain berwarna merah. Bibirnya juga
digoresnya dengan lipstik tipis berwarna merah. Semuanya berwarna merah.
Selesai berdandan ia tak berencana pergi memajang diri di “akuarium” depan.
Tiga bulan
terakhir ini, dia kerap dikunjungi seorang pemuda yang sedang
tergila-gila padanya. Pemuda itu berumur 27 tahun. Namanya Aldo. Ia
seorang sopir truk yang hampir setiap hari lewat di depan Kompleks 666.
Truk itu mengangkut kapur, batu, pasir, kayu atau hasil-hasil pertanian
ke kota.
Suatu siang
Aldo bersama sopir-sopir truk lainnya mampir di Kompleks 666 untuk
sekedar makan dan mabuk-mabukkan. Ketika itu, Linda sedang bekerja.
Linda menyanyikan lagu-lagu barat. Aldo juga menyukai lagu-lagu itu.
Mereka lalu bernyanyi bersama.
Awalnya Linda
hanya memperlakukan Aldo seperti pelanggan-pelanggan lain, tak ada yang
istimewa. Namun Aldo semakin sering mengunjunginya. Setiap kali berduaan
di kamar, Aldo memperlakukannya dengan lembut dan istimewa. Perilakunya
berbeda dibandingkan pria-pria lain yang pernah ia layani.
Di antara para operator chain saw,
pelaut, sopir taksi atau tukang ojek yang singgah untuk menyalurkan
kebutuhan biologis mereka di Kompleks 666, ada beberapa orang yang
perilakunya kurang Linda sukai. Ada yang datang dengan badan belum mandi
dan berbau keringat. Ada pula yang mabuk berat sehingga suka memukul.
Meskipun butuh rupiah, Linda enggan melayani orang-orang seperti itu.
Walaupun
berprofesi sebagai pelacur, ia menginginkan pelanggan yang bersih, sopan
dan mau memperlakukannya sebagai seorang wanita. Terlebih lagi bila
pelanggan itu membawa bunga padanya. Aldo adalah satu-satunya pelanggan
yang suka membawa seikat bunga mawar untuknya.
Belakangan ini
Linda sering dikunjungi Aldo. Dalam seminggu Aldo bisa menginap di
kamarnya tiga sampai empat kali. Lama-kelamaan Linda jatuh cinta
padanya. Alis mata Aldo yang tebal dan tatapan matanya yang tajam,
membuat Linda semakin menyukai pemuda ini. Namun demikian, Aldo belum
pernah mengungkapkan cintanya padanya.
“Mungkin Aldo
hanya ingin menyalurkan kebutuhan biologisnya saja, tidak lebih. Mungkin
pemuda itu hanya menyukaiku karena aku cukup berpengalaman di tempat
tidur, tidak lebih. Mungkin sopir truk yang tampan ini hanya menyukai
suaraku membawakan lagu-lagu barat di panggung karaoke saja, tidak
lebih.” Linda berusaha mencari jawaban mengapa pemuda ini sering
mendatanginya.
Sebenarnya,
bayaran yang diterima Linda setiap kali melayani Aldo tidaklah tinggi.
Bahkan Aldo pernah tidak membayarnya sama sekali dan berjanji akan
memberi lebih pada kesempatan berikutnya. Linda tidak marah karena ia
menyukai pemuda ini. Memang Aldo menepati janjinya, ia membayar lebih
setelah itu, padahal Linda tidak pernah menagih apa-apa.
*
Linda yakin,
malam ini Aldo akan datang. Ia berjalan menuju tempat tidurnya.
Ditariknya ujung-ujung seprei dan disisipkannya di bawah kasur.
Dibersihkannya permukaan kasur hingga kelihatan kencang dan rapi. Kursi
plastik berwarna hijau dirapatkannya ke meja rias. Sampah-sampah yang
masih tersisa di atas meja dibuangnya ke tong sampah di luar kamar.
Disapunya lantai kamarnya hingga terasa licin tak berdebu. Setelah
kamarnya benar-benar bersih dan rapi, ia kembali duduk di atas tempat
tidurnya. Ia menyalakan TV kecil miliknya yang terletak di samping meja
rias dan menyaksikan iklan sebuah kompleks hunian baru di kota Jakarta.
Tak lama kemudian pintu kamar berbunyi, “tok, tok, tok…. tok, tok, tok”
Linda membuka pintu. “Hai,” ucapnya pada pemuda yang telah dari tadi ditunggunya, “Aku pikir kamu tidak akan datang.”
“Aku kan sudah bilang, aku pasti datang malam ini,” kata Aldo sambil langsung memeluknya. Mereka berdua berciuman lama.
Linda mengambil
barang bawaan Aldo. Seikat mawar yang dibungkus dalam kertas koran dan
sebuah bungkusan plastik yang berbau makanan. Ditaruhnya semua di atas
meja.
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?” tanya Linda pada pelanggannya itu.
“Lumayan. Tadi
aku tiga kali mengangkut pasir kapur ke rumah seorang pengusaha. Ia
ingin memperbesar rumahnya. Hari ini aku dapat bonus tiga ratus ribu,
lumayan buat dihabiskan selama akhir pekan ini bersamamu.”
“Wah, itu
banyak. Syukurlah kalau begitu. Berarti kita bisa bersenang-senang malam
ini. Kamu mau minum apa? Nanti aku ambil di bar depan.”
“Tidak usah repot-repot. Aku sudah membawa makanan dan minuman untuk kita berdua.”
Aldo membuka
kantong plastik besar yang tadi dibawanya. Dikeluarkannya tiga kotak
karton berwarna putih. Isinya nasi, ayam goreng, dan capcai.
Dikeluarkannya lagi sebotol besar Sprite dingin. Linda mengambil piring
dan gelas. Mereka berdua lalu menyantap makanan itu. Sekali-sekali
mereka dua bersuap-suapan.
Meskipun larut
dalam canda dan tawa, Linda bisa merasakan bahwa Aldo sedang gugup malam
itu. Dalam hati, ia berpikir mungkin ini pesta perpisahan, dan Aldo
akan meninggalkannya setelah itu. Sebagai seorang pelacur, ia tidak bisa
menahan pemuda yang tampan ini. Sehabis makan, Linda membuang sisa-sisa
makanan serta membersihkan lagi kamarnya. Sementara itu, Aldo pergi ke
kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah itu, mereka kembali naik
ke tempat tidur. Aldo berbaring di kasur sedangkan Linda duduk melipat
kedua kakinya sambil memijiti kedua paha pemuda itu.
“Linda,” kata Aldo, “Aku ingin membicarakan sesuatu.”
“Ada apa?”
Linda mendekat dan menindih Aldo. “Kamu mau bicara apa?” ujar Linda
sambil duduk di atas kedua pangkal paha Aldo dan perlahan-lahan membuka
kancing bajunya.
“Sabar dulu Linda, aku mau membicarakan sesuatu denganmu sekarang.”
Melihat wajah Aldo nampak serius, Linda berhenti menindihnya dan mengancing kembali pakaiannya.
“Kamu kelihatan gugup dari tadi. Ada apa?” tanya Linda sambil mengecup mata Aldo.
“Begini, aku
tidak pandai merangkai kata-kata untuk mengatakan hal ini padamu. Kamu
tahu belakangan ini aku sering mengunjungimu.”
“Iya, aku tahu,
kamu suka datang kemari. Dan tidak ada wanita lain di sini yang kamu
kunjungi selain aku. Terima kasih atas semua itu.” Linda menatap wajah
pemuda itu dalam-dalam dengan tatapan mata yang sayu, “lalu ada apa?”
Sambil menarik
nafas panjang Aldo berkata, “Linda, aku merasa bahwa aku suka padamu,
aku sayang padamu.” Tangan Aldo memegang kedua tangan Linda, “Tapi masih
ada yang mengganjal dalam hatiku.”
Mendengar
kata-kata itu, Linda menjadi canggung. Ia memang menyukai Aldo, namun ia
tidak menyangka bahwa pemuda ini akan jatuh cinta padanya. “Maksudmu,
Kamu mencintai aku?”
“Iya, aku mencintaimu.”
“Lalu apanya yang menjadi ganjalan?”
“Keadaanmu yang sekarang. Aku mau kamu berhenti bekerja di tempat ini. Kita bisa hidup bersama.”
“Aldo, apa kamu serius?”
“Aku serius. Tinggalkan tempat ini. Kau bisa tinggal bersamaku di kota.”
“Aldo, aku ini
sudah tua sedangkan kamu masih muda. Aku tiga lima sedangkan kamu dua
tujuh. Kamu tampan, tentu ada banyak gadis di kota sana yang tertarik
padamu. Mengapa kamu tidak menikahi saja gadis baik-baik, dan jangan
aku. Aku hanya seorang pelacur.”
“Tapi, aku hanya sayang padamu, Linda.”
“Kamu sayang atau kasihan? Aku tidak butuh dikasihani.”
“Aku sayang
padamu. Justru itu, aku tidak mau bila kamu terus di sini. Aku cemburu
bila di hari-hari lain saat aku tidak ada, ternyata kamu sedang berduaan
dengan pria lain.”
“Aldo, aku ini
seorang pelacur. Sejujurnya aku suka dan sayang padamu, tapi aku tidak
layak menerima cintamu. Kasihan kamu nanti.”
Aldo bangkit
dari tempat tidur, dia menarik kursi dan duduk di situ. “Dengar, apa
kedatanganku selama tiga bulan ini belum cukup menunjukkan kesungguhanku
dan rasa sayangku padamu?”
“Belum,” jawab Linda pendek.
Linda merebahkan diri di tempat tidurnya. Matanya menerawang ke langit-langit kamar, “Aldo, apa kamu pernah pacaran?”
“Pernah, Mengapa?”
“Sudah berapa kali kamu pacaran?”
“Mungkin sudah lima kali.”
“Mengapa tidak kamu nikahi saja salah satu dari pacar-pacarmu itu?”
“Tak ada yang benar-benar aku cintai”
“Aku sudah tua, Aldo. Nanti, kamu tidak akan benar-benar mencintaiku”
“Linda, beri aku kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku sungguh mencintaimu.”
“Aldo, usiaku
membuat aku tak mampu lagi pacaran seperti layaknya para remaja. Aku
sudah terlalu lelah bertualang dengan cinta. Selama aku di sini, aku
selalu kalah. Pria-pria yang mengunjungiku kebanyakan sudah beristri.
Aku hanya menjadi selingkuhan mereka saja, tempat mereka mencari
pemuasan nafsu ketika bosan dengan istri-istri mereka. Hanya kamu saja
yang masih bujangan yang sungguh-sungguh menyatakan perasaanmu padaku.”
“Aku tidak
mengajakmu bertualang cinta. Aku sungguh sayang padamu. Jadi aku
memintamu berhenti bekerja di sini dan kita pindah ke tempat lain. Di
tempat yang baru, kita bisa mulai lagi lembaran hidup yang baru.”
Linda terdiam, “Apakah pemuda ini serius?” tanyanya dalam hatinya.
Linda tiba-tiba
saja merasa gugup, dia bangkit kemudian duduk di tepi tempat tidurnya.
Ditatapinya lekat-lekat kedua mata Aldo. Lama mereka bertatapan. Mereka
hanya diam saja.
Sementara itu
di luar sana, semarak lagu dangdut, dan nyanyian para pemabuk riuh
terdengar. Suara desahan nikmat dan lenguhan panjang yang dibuat-buat
oleh para wanita penghibur bersama pasangan-pasangan mereka di
kamar-kamar lain menembus ke kamar tempat Linda dan Aldo berada. Mereka
berdua tidak mempedulikan semua itu.
Linda berdiri.
Aldo juga berdiri. Mereka lalu berpelukan erat. Linda menangis.
Dibenamkannya wajahnya di dada Aldo yang hangat dan wangi. Mereka larut
dalam pelukan, belum ada kata-kata yang terucap. Aldo menunggu jawaban
dari Linda.
“Aldo, aku juga sayang padamu. Aku akan keluar dari tempat ini. Mulai hari ini aku tidak akan menerima tamu apapun selain kamu.”
“Linda, keluarlah sekarang juga. Tinggallah bersamaku di kota.”
“Aku pasti akan pindah. Aku sayang padamu. Tapi, berilah aku waktu untuk berpikir.” jawab Linda.
“Aku lega mendengar jawabanmu itu.
Di usianya yang
sudah tiga puluh lima, sebenarnya ia masih menarik bagi pria-pria lain
yang lebih kaya, yang suka datang ke Kompleks 666. Namun Linda
menginginkan cinta. Ia tidak ingin menjadi isteri kedua atau sekedar
selingkuhan orang-orang berduit saja. Ia mendambakan seorang suami yang
mencintainya seorang.
Walaupun penuh
dengan keragu-raguan akan masa depannya, Linda memutuskan untuk keluar
dari Kompleks 666 menuruti permintaan Aldo – pelanggannya yang kini
menjadi kekasihnya. Tapi Linda tidak mau tinggal serumah dengan pemuda
itu. Ia memilih tinggal di sebuah tempat kos yang terpisah. Dandanannya
tidak lagi menantang seperti sebelumnya.
Mereka lalu
pindah ke kota lain di kawasan selatan Papua, yakni Merauke. Di sana
enam bulan setelah pindah, akhirnya mereka menikah. Aldo tetap bekerja
sebagai sopir truk sedangkan Linda membuka sebuah salon kecantikan di
rumah kontrakan mereka. Linda belum tahu jika di kota yang sama tinggal
juga Om Gendut yang bekerja di kapal ikan. Om Gendut dulu rajin
mengunjunginya dan menaruh hati padanya.
sumber: https://charlesroring.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar