Kerajaan air mata sebelum manusia mengenal cinta:
Saya tidak habis pikir mengapa Tuhan mengirimkan seorang pelacur untuk saya saat itu. Tuhan mengirimkan pelacur? Ya! Itulah kenyataannya. Kalau bukan Tuhan, siapa lagi? Bukankah semua proses hingar-bingar kejadian di dunia atas kehendak-Nya? Kayu terbakar bukanlah karena api, tetapi karena ada campur tangan Tuhan, buah apel jatuh ke tanah bukan karena gravitasi melainkan kehendak Tuhan, erosi terjadi bukan karena gunung gundul, tetapi karena kemauan Tuhan, manusia hanyalah menebang pohon sehingga gunung tersebut gundul, tetapi erosi terjadi itu karena Tuhan. Intinya, sekali lagi, Tuhan menjadi “sutradara sekaligus produser” drama yang akan dipentaskan diatas panggung. Dunia adalah panggung, dan pemeran drama adalah manusia. Makanya, saya tiada pernah heran jika saya kadang melihat manusia baik, manusia berpura-pura baik, manusia jahat, atau manusia yang berpura-pura jahat. Semuanya sudah diatur oleh “sang sutradara!”
Asal tahu saja, saya adalah salah satu manusia baik sesuai dengan kriteria Tuhan, dan kadang-kadang saya teramat egois menganggap diri sayalah yang terbaik, diri sayalah yang paling benar, diri sayalah yang paling sempurna. Bahkan, dibanyak kesempatan, saya menganggap diri saya sebagai seorang “Nabi untuk diri sendiri?” manakala saya melihat banyak orang-orang jahat, atau berpura-pura jahat. Segala kriteria yang ditetapkan Tuhan sebagai tolak ukur orang baik, saya rasa sudah saya laksanakan tanpa keluhan apalagi bantahan. Separuh hidup saya habiskan untuk berdoa, beribadah, memuji Tuhan, memerangi orang-orang jahat yang menghujat Tuhan, bekerja mencari nafkah halal, menuntut ilmu, menolak ketika ada teman menawarkan lentingan ganja, menghancurkan botol-botol bir, mencaci maki pelacur dan pemabuk, intinya, saya merasa apa yang saya lakukan dalam hidup saya, nyaris tanpa cela yang bisa dikategorikan manusia pengumpul berdosa.
Tetapi, manakala ribuan benih-benih doa saya telah letupkan ke angkasa raya, manakala jidat saya telah menghitam kebanyakan sujud, manakala saya menganggap diri saya orang berilmu, manakala saya berhasil menolak perbuatan maksiat, tiba-tiba saja Tuhan mengirimkan pelacur untuk saya. Tepatnya, Tuhan mengirimkan seorang pelacur laknat, bangsat, sialan, sundal menjadi istri saya. Tiadalah usah saya menceritakan bagaimana proses Tuhan mengirimkan pelacur itu, bagaimana hubungan sebab-akibat dan logika, karena menurut saya, dalam kasus ini saya tidak mendapatkan logika dan hubungan sebab akibat sedikitpun. Ini murni “ketetapan Tuhan?” .
Bagaimana mungkin Tuhan mengirimkan pelacur untuk “hamba baik” seperti saya tanpa sebab yang jelas? Pelacur itu tiba-tiba datang mengetuk pintu, mengulas perutnya yang bunting, dalam genangan air mata sambil berkata, “inilah takdirmu, jadikanlah saya istrimu, dan jadilah ayah bagi anak di dalam rahimku!”, saya memberontak, saya menamparnya, saya meludahinya,lalu pelacur itu melanjutkan perkataannya, “ apakah kau percaya bahwasaya Tuhan benar-benar ada? Apakah kau percaya bahwasanya takdir benar-benar ada? Inilah takdir yang dikirimkan Tuhan untukmu.!”
Saya seketika teringat dengan teman saya yang bernama Hume, oh! Bukan teman, tetapi mantan teman yang telah saja gilas karena berani mengatakan jika tidak ada bukti yang dapat kita ketahui bahwa Tuhan benar-benar ada dan bahwasanya Tuhan menyelenggarakan dunia. Berani-beraninya Huge mengingkari pembuktian Tuhan (saya) bahkan menganggap Tuhan (saya) tidak ada? Hume, mantan teman saya telah menghancurkan objektivitas seluruh pengetahuan saya bahkan sampai pada titik dimana konsepsi tentang Tuhan sebagai pencipta /penyebab munculnya alam materi menjadi tak bermakna.
Begitulah, karena saya termasuk orang-orang baik, karena saya percaya dengan takdir, maka saya tidak punya alasan untuk menolak “kiriman” Tuhan saya berupa pelacur bunting yang membuat selera saya menukik tajam lalu berdiam abadi di dalam kerak bumi. Saya menikah dengan pelacur itu tanpa mengucapkan rasa syukur, tanpa puji-pujian kepada Tuhan, dan jujur saja, saat itu, di mana manusia baik-baik lainnya atau yang berpura-pura baik, manusia jahat atau berpura-pura jahat, mencemooh saya dengan kata-kata setajam silet semisal “orang baik jodohnya pelacur bunting!” atau “dasar manusia munafik!”, atau, “apakah kau mengantongi tasbih ketika menghajar selangkangan pelacur itu?” saya seketika menghujat Tuhan dalam hati, saya seketika menganggap Tuhan tidak adil, saya seketika menganggap Tuhan pilih kasih dan saya mempertanyakan kepada Tuhan apakah betul Tuhan akan meninggikan derajat orang-orang yang berserah diri? Karena ketika saya harus beristri pelacur bunting hasil garapan ribuan lelaki di lokalisasi, derajat saya tidak hanya diturunkan, melainkan dicopot lalu dikalungkan kelehr anjing!
Dimana letak kesalahan doa saya? Apa arti kebaikan saya selama ini? Bukankah Engkau telah berkata jika akan memberikan pasangan kepada siapa saja yang memintanya? Oh! Betul, Engkau telah memberikan pasangan kepada saya, seorang pelacur bunting yang lebih patut dirajam daripada dinikahi. Padahal separuh dari usia saya habiskan untuk berdoa, “ ya Tuhan! Berikanlah jodoh kepada hambamu ini perempuan yang baik hati, lembut, jujur, penuh damai dan suka cita, murah hati, penuh pengertian, pintar, humanis, dan tinggikanlah derajat saya bersama orang baik lainnya!”
Hingga pada suatu hari, setelah saya puas menghujat Tuhan, setelah say memiliki anak haram, setelah saya serumah dengan pelacur laknat, setelah derajat saya dibawah kabur anjing betina, saya menatap lekat wajahku di depan cermin dan bayanganku sebagai saksinya : kepada hati saya yang paling dalam yang sering saya katakana sebagai nurani, saya bertanya kepada diri saya sendiri, benarkah tuduhan saya kepada Tuhan (saya) selama ini? Bahwasanya Dia telah sedemikian memperlakukan saya secara tidak adil? Cermin itu perlahan bergerak, tengahnya tiba-tiba retak, tirai tersibak, angin malam menyeruak, dan hati berkata, “ wahai tubuh, Tuhan telah memberikan yang terbaik kepadamu dengan ke-Maha Rahasiaan-Nya. Tidaklah adil bagi-mu belum tentu tidak adil bagi Tuhan, pelacur bagimu, bisa jadi wanita calon penghuni surga bagi Tuhan, apakah dirimu pantas mendapatkan seseorang yang penuh dengan cinta dan kasih kepadamu jika terkadang engkau masih kasar, atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau seringkali kejam, atau seseorang yang mudah mengampuni tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam, seseorang yang sensitif, seseorang yang jujur sedangkan engkau sendiri kadang tidak jujur pada dirimu sendiri?!.
Lalu aku berbalik menatap bayanganku! Ia berkata, “ lebih baik Tuhan memberikan kepadamu seseorang yang Aku tahu dapat menumbuhkan segala kualitas yang engkau cari selama ini daripada membuat engkau membuang waktu mencari seseorang yang sudah mempunyai semuanya itu. Berbaik sangkalah kepada-Nya, karena belum tentu perempuan baik seperti permintaanmu bisa membuatmu lebih bijak memaknai hidup. Perempuan-perempuan baik menurutmu, perempuan-perempuan lemah lembut, humanis, jujur, penuh damai dan suka cita, pintar, pengertian bisa jadi akan membuatmu menjadi manusia lupa diri dalam kesombongan! Tuhan tidak akan memberikan kesempurnaan kepadamu, karena kamu sendiri tidak akan sempurna sebagai manusia, dan rendahnya derajatmu di mata manusia lain, sekiranya manusia menganggapmu seperti anjing atau babi sekalipun, belum tentu derajatmu rendah dimuka Tuhan!”
Lalu cermin retak itu juga berkata,”bisakah kau mengembalikan keadaanku seperti semula? Bercaya , licin, mengkilap dan dijadikan benda berharga para manusia penghias diri? Jika tidak, kembalilah lanjutkan hidupmu, namun jika bisa, jangan sekali-kali lakukan! Sebaiknya, kembalikan saja istri dan anak harammu kalau memang haram ketempat yang semestinya, kederajat yang mulai disisi Tuhanmu!”
Kaca cermin itu semakin retak, hancur berkeping-keping, memenuhi lantai, membulat seperti bola, mengecil, meruncing, membulat lagi, semakin kecil, kecil, kecil dan bulat, berkilau persis seperti butiran tasbih yang telah saya kurung di tong sampah sejak hati saya sekarat dalam cawan-cawan ambisi***
sumber: http://www.kompasiana.com
Saya tidak habis pikir mengapa Tuhan mengirimkan seorang pelacur untuk saya saat itu. Tuhan mengirimkan pelacur? Ya! Itulah kenyataannya. Kalau bukan Tuhan, siapa lagi? Bukankah semua proses hingar-bingar kejadian di dunia atas kehendak-Nya? Kayu terbakar bukanlah karena api, tetapi karena ada campur tangan Tuhan, buah apel jatuh ke tanah bukan karena gravitasi melainkan kehendak Tuhan, erosi terjadi bukan karena gunung gundul, tetapi karena kemauan Tuhan, manusia hanyalah menebang pohon sehingga gunung tersebut gundul, tetapi erosi terjadi itu karena Tuhan. Intinya, sekali lagi, Tuhan menjadi “sutradara sekaligus produser” drama yang akan dipentaskan diatas panggung. Dunia adalah panggung, dan pemeran drama adalah manusia. Makanya, saya tiada pernah heran jika saya kadang melihat manusia baik, manusia berpura-pura baik, manusia jahat, atau manusia yang berpura-pura jahat. Semuanya sudah diatur oleh “sang sutradara!”
Asal tahu saja, saya adalah salah satu manusia baik sesuai dengan kriteria Tuhan, dan kadang-kadang saya teramat egois menganggap diri sayalah yang terbaik, diri sayalah yang paling benar, diri sayalah yang paling sempurna. Bahkan, dibanyak kesempatan, saya menganggap diri saya sebagai seorang “Nabi untuk diri sendiri?” manakala saya melihat banyak orang-orang jahat, atau berpura-pura jahat. Segala kriteria yang ditetapkan Tuhan sebagai tolak ukur orang baik, saya rasa sudah saya laksanakan tanpa keluhan apalagi bantahan. Separuh hidup saya habiskan untuk berdoa, beribadah, memuji Tuhan, memerangi orang-orang jahat yang menghujat Tuhan, bekerja mencari nafkah halal, menuntut ilmu, menolak ketika ada teman menawarkan lentingan ganja, menghancurkan botol-botol bir, mencaci maki pelacur dan pemabuk, intinya, saya merasa apa yang saya lakukan dalam hidup saya, nyaris tanpa cela yang bisa dikategorikan manusia pengumpul berdosa.
Tetapi, manakala ribuan benih-benih doa saya telah letupkan ke angkasa raya, manakala jidat saya telah menghitam kebanyakan sujud, manakala saya menganggap diri saya orang berilmu, manakala saya berhasil menolak perbuatan maksiat, tiba-tiba saja Tuhan mengirimkan pelacur untuk saya. Tepatnya, Tuhan mengirimkan seorang pelacur laknat, bangsat, sialan, sundal menjadi istri saya. Tiadalah usah saya menceritakan bagaimana proses Tuhan mengirimkan pelacur itu, bagaimana hubungan sebab-akibat dan logika, karena menurut saya, dalam kasus ini saya tidak mendapatkan logika dan hubungan sebab akibat sedikitpun. Ini murni “ketetapan Tuhan?” .
Bagaimana mungkin Tuhan mengirimkan pelacur untuk “hamba baik” seperti saya tanpa sebab yang jelas? Pelacur itu tiba-tiba datang mengetuk pintu, mengulas perutnya yang bunting, dalam genangan air mata sambil berkata, “inilah takdirmu, jadikanlah saya istrimu, dan jadilah ayah bagi anak di dalam rahimku!”, saya memberontak, saya menamparnya, saya meludahinya,lalu pelacur itu melanjutkan perkataannya, “ apakah kau percaya bahwasaya Tuhan benar-benar ada? Apakah kau percaya bahwasanya takdir benar-benar ada? Inilah takdir yang dikirimkan Tuhan untukmu.!”
Saya seketika teringat dengan teman saya yang bernama Hume, oh! Bukan teman, tetapi mantan teman yang telah saja gilas karena berani mengatakan jika tidak ada bukti yang dapat kita ketahui bahwa Tuhan benar-benar ada dan bahwasanya Tuhan menyelenggarakan dunia. Berani-beraninya Huge mengingkari pembuktian Tuhan (saya) bahkan menganggap Tuhan (saya) tidak ada? Hume, mantan teman saya telah menghancurkan objektivitas seluruh pengetahuan saya bahkan sampai pada titik dimana konsepsi tentang Tuhan sebagai pencipta /penyebab munculnya alam materi menjadi tak bermakna.
Begitulah, karena saya termasuk orang-orang baik, karena saya percaya dengan takdir, maka saya tidak punya alasan untuk menolak “kiriman” Tuhan saya berupa pelacur bunting yang membuat selera saya menukik tajam lalu berdiam abadi di dalam kerak bumi. Saya menikah dengan pelacur itu tanpa mengucapkan rasa syukur, tanpa puji-pujian kepada Tuhan, dan jujur saja, saat itu, di mana manusia baik-baik lainnya atau yang berpura-pura baik, manusia jahat atau berpura-pura jahat, mencemooh saya dengan kata-kata setajam silet semisal “orang baik jodohnya pelacur bunting!” atau “dasar manusia munafik!”, atau, “apakah kau mengantongi tasbih ketika menghajar selangkangan pelacur itu?” saya seketika menghujat Tuhan dalam hati, saya seketika menganggap Tuhan tidak adil, saya seketika menganggap Tuhan pilih kasih dan saya mempertanyakan kepada Tuhan apakah betul Tuhan akan meninggikan derajat orang-orang yang berserah diri? Karena ketika saya harus beristri pelacur bunting hasil garapan ribuan lelaki di lokalisasi, derajat saya tidak hanya diturunkan, melainkan dicopot lalu dikalungkan kelehr anjing!
Dimana letak kesalahan doa saya? Apa arti kebaikan saya selama ini? Bukankah Engkau telah berkata jika akan memberikan pasangan kepada siapa saja yang memintanya? Oh! Betul, Engkau telah memberikan pasangan kepada saya, seorang pelacur bunting yang lebih patut dirajam daripada dinikahi. Padahal separuh dari usia saya habiskan untuk berdoa, “ ya Tuhan! Berikanlah jodoh kepada hambamu ini perempuan yang baik hati, lembut, jujur, penuh damai dan suka cita, murah hati, penuh pengertian, pintar, humanis, dan tinggikanlah derajat saya bersama orang baik lainnya!”
Hingga pada suatu hari, setelah saya puas menghujat Tuhan, setelah say memiliki anak haram, setelah saya serumah dengan pelacur laknat, setelah derajat saya dibawah kabur anjing betina, saya menatap lekat wajahku di depan cermin dan bayanganku sebagai saksinya : kepada hati saya yang paling dalam yang sering saya katakana sebagai nurani, saya bertanya kepada diri saya sendiri, benarkah tuduhan saya kepada Tuhan (saya) selama ini? Bahwasanya Dia telah sedemikian memperlakukan saya secara tidak adil? Cermin itu perlahan bergerak, tengahnya tiba-tiba retak, tirai tersibak, angin malam menyeruak, dan hati berkata, “ wahai tubuh, Tuhan telah memberikan yang terbaik kepadamu dengan ke-Maha Rahasiaan-Nya. Tidaklah adil bagi-mu belum tentu tidak adil bagi Tuhan, pelacur bagimu, bisa jadi wanita calon penghuni surga bagi Tuhan, apakah dirimu pantas mendapatkan seseorang yang penuh dengan cinta dan kasih kepadamu jika terkadang engkau masih kasar, atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau seringkali kejam, atau seseorang yang mudah mengampuni tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam, seseorang yang sensitif, seseorang yang jujur sedangkan engkau sendiri kadang tidak jujur pada dirimu sendiri?!.
Lalu aku berbalik menatap bayanganku! Ia berkata, “ lebih baik Tuhan memberikan kepadamu seseorang yang Aku tahu dapat menumbuhkan segala kualitas yang engkau cari selama ini daripada membuat engkau membuang waktu mencari seseorang yang sudah mempunyai semuanya itu. Berbaik sangkalah kepada-Nya, karena belum tentu perempuan baik seperti permintaanmu bisa membuatmu lebih bijak memaknai hidup. Perempuan-perempuan baik menurutmu, perempuan-perempuan lemah lembut, humanis, jujur, penuh damai dan suka cita, pintar, pengertian bisa jadi akan membuatmu menjadi manusia lupa diri dalam kesombongan! Tuhan tidak akan memberikan kesempurnaan kepadamu, karena kamu sendiri tidak akan sempurna sebagai manusia, dan rendahnya derajatmu di mata manusia lain, sekiranya manusia menganggapmu seperti anjing atau babi sekalipun, belum tentu derajatmu rendah dimuka Tuhan!”
Lalu cermin retak itu juga berkata,”bisakah kau mengembalikan keadaanku seperti semula? Bercaya , licin, mengkilap dan dijadikan benda berharga para manusia penghias diri? Jika tidak, kembalilah lanjutkan hidupmu, namun jika bisa, jangan sekali-kali lakukan! Sebaiknya, kembalikan saja istri dan anak harammu kalau memang haram ketempat yang semestinya, kederajat yang mulai disisi Tuhanmu!”
Kaca cermin itu semakin retak, hancur berkeping-keping, memenuhi lantai, membulat seperti bola, mengecil, meruncing, membulat lagi, semakin kecil, kecil, kecil dan bulat, berkilau persis seperti butiran tasbih yang telah saya kurung di tong sampah sejak hati saya sekarat dalam cawan-cawan ambisi***
sumber: http://www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar