Wawancara. Dunia
pelacuran atau prostitusi merupakan fenomena yang tak kunjung berujung karena
dianggap sebagai salah satu pekerjaan tertua yang dilakukan manusia di muka
Bumi ini.
Anggapan
bahwa pelacuran sebagai penyimpangan hanya ditujukan kepada perempuan, dalam
hal ini pekerja seks komersial (PSK) yang juga dengan berbagai sebutan.
Anggapan
itu dipakai sebagai pembenaran sikap yang moralistis sebagian orang dari luar
ketika memandang pelacuran sebagai kegiatan yang tidak bermoral.
Pekerjaan
itu dianggap bergelimang dosa karena merupakan penyimpangan dari aspek norma,
moral, agama, dan hukum. Pemerintah pun,
dalam hal ini Departemen Sosial, menjalankan program resosialisasi dan
rehabilitasi terhadap PSK. Melalui program itu diharapkan PSK beralih pekerjaan
dan lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup dengan harapan tidak ada lagi
pelacuran. Tentu saja ini salah karena praktek pelacuran bisa terjadi di mana
saja dan kapan saja.
PSK diberikan pendidikan agama
dan keterampilan dengan tujuan agar mereka bisa dikembalikan ke masyarakat. Di
sana ada harapan agar mereka berhenti menjadi PSK. Hasilnya? “Ya, selalu gagal
karena bagi mereka itu bukan jalan keluar,” kata Prof. Dr. Hotman M. Siahaan,
sisiolog di Univ. Airlangga, Surabaya.
Ada apriori terhadap PSK bahwa
Anda tidak benar dan berada di jalur yang salah. Ini terjadi karena ada
pembenaran bahwa pelacuran merupakan penyimpangan.
Kalangan moralitas pun
mengatakan: “Kami sudah punya solusi untuk Anda.”Ya, mengentaskan PSK dengan
memberikan pelatihan keterampilan.
Tapi, selalu gagal karena
konsep itu bukan dari PSK tapi muncul dari policy researh dengan latar
belakang apriori [KBBI: berpraanggapan
sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dsb) keadaan yang sebenarnya].
“Dalam policy researh
sudah ada konsep tertentu tanpa mengikutsertakan PSK dalam mengatasi persoalan
mereka,” ujar Bang Hotman. Untuk itulah Bang Hotman berharap agar
upayapengentasan dilakukan berdasarkan riset partisipatoris agar jalan keluar
merupakan keputusan PSK.
Kelemahan dari policy
research adalah selalu ada anggapan bahwa objek bisa diarahkan. Misalnya,
PSK diarahkan agar berhenti dan kembali ke ’jalan yang benar’. Sedangkan riset
partisipatoris yang terjadi adalah pengarahan yang datang dari hasil diskusi
kedua belah pihak sehingga ada proses yang berkelanjutan untuk menghasilkan
jalan keluar.
Pendekatan melalui hipotesa
yang muncul dari riset partisipatoris akan menghasilkan jalan keluar karena PSK
mengetahui tujuan yang dilakukan dan mereka terlibat langsung ketika memutuskan
jalan keluar. Selama ini program pengentasan PSK dilakukan dengan menempatkan
mereka sebagai objek yang lebih rendah berdasarkan prasangka.
Pendekatan moralitas dalam
mengentaskan PSK menghasilkan irasionalitas. PSK sendiri tidak bisa menolak
karena mereka tidak mempunyai argumen dan mereka tidak mempunyai posisi tawar
yang kuat. Konsep ini berbau kapitalis yang tidak melahirkan rasa keadilan dan
tidak pula membuka pemberdayaan tapi yang terjadi justru ketergantungan. Dengan
riset partisipatoris pende-katannya rasional dengan melibatkan PSK sehingga
mereka bisa memberikan jalan keluar.
Persoalannya adalah: Kalau
mereka (baca: PSK) tetap memilih bekerja sebagai PSK? Ya, itu pilihan mereka.
Dalam kaitan ini, “Diperlukan upaya yang berkesinambungan untuk merubah
stutruktur melalui penyadaran yang berempati tanpa ada kecurigaan,” kata Bang
Hotman.
Ketika agama menjadi alat
pembenar maka dunia pelacuran pun dihukum sebagai penyimpangan. Tapi, apakah
agama(wan) bisa menghentikan pelacuran? Ya, tidak bisa karena praktek pelacuran
bukan persoalan agama semata (wawancara
tahun 2006). ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar