Selasa, 20 Januari 2015

Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)


Wawancara. Dunia pelacuran atau prostitusi merupakan fenomena yang tak kunjung berujung karena dianggap sebagai salah satu pekerjaan tertua yang dilakukan manusia di muka Bumi ini.
Anggapan bahwa pelacuran sebagai penyimpangan hanya ditujukan kepada perempuan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) yang juga dengan berbagai sebutan.
Anggapan itu dipakai sebagai pembenaran sikap yang moralistis sebagian orang dari luar ketika memandang pelacuran sebagai kegiatan yang tidak bermoral.
Pekerjaan itu dianggap bergelimang dosa karena merupakan penyimpangan dari aspek norma, moral, agama, dan hukum. Pemerintah pun, dalam hal ini Departemen Sosial, menjalankan program resosialisasi dan rehabilitasi terhadap PSK. Melalui program itu diharapkan PSK beralih pekerjaan dan lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup dengan harapan tidak ada lagi pelacuran. Tentu saja ini salah karena praktek pelacuran bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.
PSK diberikan pendidikan agama dan keterampilan dengan tujuan agar mereka bisa dikembalikan ke masyarakat. Di sana ada harapan agar mereka berhenti menjadi PSK. Hasilnya? “Ya, selalu gagal karena bagi mereka itu bukan jalan keluar,” kata Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, sisiolog di Univ. Airlangga, Surabaya.
Ada apriori terhadap PSK bahwa Anda tidak benar dan berada di jalur yang salah. Ini terjadi karena ada pembenaran bahwa pelacuran merupakan penyimpangan.
Kalangan moralitas pun mengatakan: “Kami sudah punya solusi untuk Anda.”Ya, mengentaskan PSK dengan memberikan pelatihan keterampilan.
Tapi, selalu gagal karena konsep itu bukan dari PSK tapi muncul dari policy researh dengan latar belakang apriori [KBBI: berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dsb) keadaan yang sebenarnya].
“Dalam policy researh sudah ada konsep tertentu tanpa mengikutsertakan PSK dalam mengatasi persoalan mereka,” ujar Bang Hotman. Untuk itulah Bang Hotman berharap agar upayapengentasan dilakukan berdasarkan riset partisipatoris agar jalan keluar merupakan keputusan PSK. 
Kelemahan dari policy research adalah selalu ada anggapan bahwa objek bisa diarahkan. Misalnya, PSK diarahkan agar berhenti dan kembali ke ’jalan yang benar’. Sedangkan riset partisipatoris yang terjadi adalah pengarahan yang datang dari hasil diskusi kedua belah pihak sehingga ada proses yang berkelanjutan untuk menghasilkan jalan keluar.
Pendekatan melalui hipotesa yang muncul dari riset partisipatoris akan menghasilkan jalan keluar karena PSK mengetahui tujuan yang dilakukan dan mereka terlibat langsung ketika memutuskan jalan keluar. Selama ini program pengentasan PSK dilakukan dengan menempatkan mereka sebagai objek yang lebih rendah berdasarkan prasangka.
Pendekatan moralitas dalam mengentaskan PSK menghasilkan irasionalitas. PSK sendiri tidak bisa menolak karena mereka tidak mempunyai argumen dan mereka tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Konsep ini berbau kapitalis yang tidak melahirkan rasa keadilan dan tidak pula membuka pemberdayaan tapi yang terjadi justru ketergantungan. Dengan riset partisipatoris pende-katannya rasional dengan melibatkan PSK sehingga mereka bisa memberikan jalan keluar.
Persoalannya adalah: Kalau mereka (baca: PSK) tetap memilih bekerja sebagai PSK? Ya, itu pilihan mereka. Dalam kaitan ini, “Diperlukan upaya yang berkesinambungan untuk merubah stutruktur melalui penyadaran yang berempati tanpa ada kecurigaan,” kata Bang Hotman.
Ketika agama menjadi alat pembenar maka dunia pelacuran pun dihukum sebagai penyimpangan. Tapi, apakah agama(wan) bisa menghentikan pelacuran? Ya, tidak bisa karena praktek pelacuran bukan persoalan agama semata (wawancara tahun 2006). ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar