KEINGINAN
SEDERHANA: Dari kiri, Herman, Rasti, Anas, Missy, dan Bintang, lima sekawan
yang begitu peduli PSK jalanan. (Eko Priyono/Jawa Pos)
Lima sekawan ini punya cara unik
untuk memberantas prostitusi. Tanpa banyak umbar omongan, malam-malam mereka
mencari pekerja seks komersial (PSK). Dijadikan teman, lalu diajak hidup yang
lebih sehat dan lebih baik.
PAGI masih sangat buta. Jarum jam
menunjukkan pukul 00.20 Rabu (14/1) ketika lima orang keluar dari rumah di
sebuah gang buntu kawasan Asemrowo. Dengan berboncengan sepeda motor, mereka
beranjak dengan kecepatan rendah tanpa mantel meski hujan turun rintik-rintik.
Di tengah
jalan, kelimanya berpencar. Ada yang ke selatan, timur, ada juga yang ke utara.
Mereka merambah sisi gelap Surabaya saat sebagian besar penduduk kota sedang
terlelap tidur. Tujuannya satu. Berbincang dengan PSK yang sedang menanti tamu
datang.
Aktivitas
tersebut merupakan salah satu kesibukan mereka sejak dua tahun terakhir. Lima
orang itu adalah Herman Felani, 20; Rasti Arie Anggraeni, 19; Junasril Agus
alias Anas, 26; Missy Aryati, 32; dan Bintang Ramadan, 31. Mereka terbagi dalam
tiga kelompok dan memiliki kawasan sendiri-sendiri yang didatangi hampir setiap
hari.
Meski tidak
memberikan penghasilan, mereka selalu disambut baik dan disapa ramah ketika
mendekati PSK yang sedang mangkal. ”Monggo Nak,” ucap seorang PSK yang usianya
sudah menyentuh kepala lima kepada Bintang dan Rasti. Setelah bersalaman,
mereka duduk bareng.
Obrolan
ringan mengawali pertemuan dini hari itu. Mulai cuaca yang hujan sejak sore
hingga intensitas tamu yang mendatangi perempuan paro baya tersebut selama
beberapa hari terakhir. Bintang dan Rasti mendengarkan cerita PSK tersebut
tanpa menyela. Sesekali perbincangan itu diselingi tawa yang membuat suasana
hidup.
Di sela-sela
obrolan ringan tersebut, Rasti dan Bintang menyelipkan pesan yang tidak
menghakimi. ”Jaga kesehatan ya, Bu. Masih punya kondom kan?” tanya Bintang. PSK
itu menjawab dengan anggukan. Rasti menimpali dengan permintaan agar memberi
kabar jika membutuhkan bantuan.
Bahan
perbincangan yang sama diucapkan kepada sejumlah PSK yang ditemui di lokasi
tersebut. Terkadang perbincangan sampai memakan waktu hingga 30 menit karena
PSK itu curhat tentang masalah pribadinya.
Bintang
mengatakan, aktivitasnya itu memang lebih banyak mendengarkan kisah dan keluh
kesah PSK di Surabaya. Selama ini tidak ada yang mau mendengar perkataan
mereka. Termasuk masalah yang sedang dihadapi. Karena itulah, kehadiran para
remaja tersebut disambut sangat baik oleh para kupu-kupu malam.
Mereka tidak
hanya membawa pesan moral layaknya dai. Tetapi, mereka juga memosisikan diri
sebagai teman yang kadang memberikan bantuan. Tidak ada kesan menggurui,
sebagai teman curhat. Mereka sekaligus memberikan edukasi secara halus. ’’Kami
memang tak bisa mengangkat hidup mereka dengan memberikan modal. Tapi,
setidaknya kami bisa
membantu mereka untuk meminimalkan efek buruk jadi PSK,’’ tambahnya.
membantu mereka untuk meminimalkan efek buruk jadi PSK,’’ tambahnya.
Kemauan
mendengar itu juga dimanfaatkan untuk memberikan nasihat secara halus tentang
bahaya menjadi PSK. Biasanya, nasihat tersebut dilontarkan melalui pertanyaan
yang jawabannya dikembalikan kepada PSK. ”Misalnya, ibu tahu enggak bahayanya
kalau seperti ini terus? Bagaimana caranya agar tidak terkena penyakit?” ucap
Bintang mencontohkan.
Hal yang
sama dilakukan Missy, Anas, dan Herman. Mereka berusaha masuk dan diterima di
lingkungan para PSK sekadar untuk mendengarkan cerita yang sering
berulang-ulang. Di sela-sela perbincangan itulah, mereka memasukkan pesan agar
PSK menjaga diri sehingga tidak terjangkit HIV/AIDS.
Tidak mudah
bagi mereka bisa diterima di kalangan PSK. Khususnya Bintang, Anas, dan Herman.
Kedatangan mereka awalnya dikira aparat yang sedang memata-matai aktivitas PSK.
Karena itulah, ketika terjun, mereka selalu melibatkan seorang perempuan.
Agar bisa
mendekat dan berbaur, Rasti dan Missy menjadi ujung tombak. Mereka berusaha
meyakinkan bahwa tujuannya hanya untuk berbagi kisah. Banyak PSK yang akhirnya
menerima. Salah satunya disebabkan melihat Rasti yang masih belia. ”Ada yang
salut. Ada juga yang membuat PSK menangis karena teringat anaknya,” ucap
perempuan lulusan MAN I
Situbondo itu.
Situbondo itu.
Dengan
kedekatan tersebut, Rasti sering dipeluk PSK yang teringat anaknya. Saat itulah
dia memasukkan pesan positif. Mulai rajin memakai kondom, meminum vitamin,
sampai rajin memeriksakan diri ke puskesmas agar bisa memantau kesehatannya.
Lain lagi
Missy. Dia mendekati PSK dengan cara mengaku seolah-olah pernah menjadi PSK.
Lulusan SMA I Blitar itu berusaha meyakinkan sasarannya bahwa dirinya pernah
merasakan pengalaman sebagai PSK. Cara tersebut cukup tokcer untuk bisa
diterima. ”Saya sampai bisa tidur-tiduran di kosnya hingga jalan bareng,”
paparnya.
Dari
sanalah, dia berhasil merayu para PSK agar mau memeriksakan kesehatan ke
puskesmas. Berdasar pemeriksaan itulah, diketahui sejumlah PSK yang dikenalnya
positif mengidap HIV/AIDS. Sebagai teman, dia berusaha memberikan masukan dan
penjelasan tentang penyakit tersebut. Termasuk cara menjaga kondisi tubuh tetap
fit.
Kebanyakan
PSK di jalanan memahami jika terkena HIV/AIDS, usianya tidak lama. Padahal,
virus tersebut menjadi parah ketika kondisi tubuh tidak fit. Karena itulah, dia
tidak bosan mengingatkan para PSK kenalannya agar rajin minum obat.
Lima orang
itu juga sering jemput bola agar para PSK mau memeriksakan diri ke puskesmas.
Biaya pendaftaran di puskesmas hasil iuran para remaja tersebut. Mereka juga
pernah memeriksakan secara masal PSK yang berjumlah 40 orang. Mereka iuran
untuk menyewa angkot ke puskesmas.
Dari
blusukan itu, mereka mendapati kenyataan hidup yang cukup miris. ”Mungkin orang
lain tidak percaya. Tapi, ini ada dan nyata,” ucap Anas. Misalnya, mereka
pernah mendapati PSK yang melayani tamu dengan diantar suami dan anaknya yang
masih berusia tujuh tahun.
Ketika PSK
tersebut sedang menjajakan diri, suami dan anaknya menunggu di tempat yang
tidak jauh dari lokasi kencan sampai selesai. Bintang dkk yang menjadi teman
ngobrol ketika suami dan anak itu menunggu PSK tersebut selesai bekerja. Pernah
juga ada PSK yang berumur 53 tahun melayani tamu anak yang masih berusia 13
tahun. Ketika sedang berkencan, tiba-tiba petugas satpol PP merazia. Keduanya
kemudian diangkut ke truk bersama PSK lain yang terkejar petugas.
Saat itulah
PSK tersebut mengatakan kepada petugas bahwa dirinya bukanlah PSK. Dia mengaku
sedang jalan-jalan bersama anaknya. Karena pengakuan itulah, mereka dilepas.
Setelah dilepas, anak tersebut membayar biaya layanan seks yang diterima dari
perempuan yang pantas menjadi ibunya itu.
Ada juga PSK
yang berusia 55 tahun. Di tengah keterbatasan hidup, PSK tersebut menghidupi
seorang anak berusia 14 tahun yang ditinggalkan ibunya yang juga seorang PSK.
”Kalau enggak salah, anak itu juga sekolah,” ucap Herman.
Ditanya
alasan mau bersusah payah berkeliling saat waktu istirahat, mereka terdiam
sesaat. ”Kami hanya ingin melakukan apa yang bermanfaat untuk orang lain.
Meskipun kami tidak bisa berbuat banyak. Setidaknya yang kami punya itu,” ucap
Bintang kemudian.
Tujuan
mereka sederhana saja. Mereka ingin para PSK itu tidak terjangkit HIV/AIDS.
Kalaupun ada yang sudah positif, mereka berusaha memantau sehingga kondisi
tubuhnya terjaga. Blusukan para remaja itu baru berakhir ketika azan subuh
berkumandang. Mereka kembali bertemu di rumah aman Yayasan Embun Surabaya
ketika hari mulai terang. (www.indopos.co.id/2015/01/kisah-lima-sekawan-pemburu-psk.html#sthash.mm40dvi4.dpuf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar