LANGKA: Agus Sutikno di tengah anak-anak di pinggiran Kanal Banjir Timur Semarang.
Pendeta Agus Sutikno mungkin
tergolong pemuka agama yang langka. Tubuhnya penuh tato, dandanannya sangar,
dan wilayah pelayanan doanya adalah tempat-tempat yang tidak lazim. Dia biasa
blusukan ke kompleks lokalisasi atau tempat-tempat mangkal waria.
”MAS Agus,
Mas Agus bawa apa?” teriak beberapa bocah penghuni tepi Kanal Banjir Timur
Semarang kepada seorang pria berpenampilan seperti preman, berkaus hitam dan
mengenakan sepatu ber-spike ala anak punk. Pria itu lalu mengembangkan senyum
dan mengeluarkan roti dari kantong plastik yang dibawa, kemudian membagikannya
satu per satu kepada anak-anak yang mengerumuninya.
Bak
Sinterklas, kehadiran ”Mas Agus” di kampung pinggiran itu memang ditunggu
anak-anak. Mereka terlihat begitu akrab. Karena itu, anak-anak polos saja
memanggil pria yang setiap kehadirannya ditunggu-tunggu tersebut dengan
panggilan apa adanya, ”Mas Agus”. Padahal, dia seorang pendeta. Ya, pria itu
adalah Pendeta Agus Sutikno alias Agus Tato.
Nama alias
tersebut disematkan lantaran tubuh pendeta yang satu ini dipenuhi tato.
Anak-anak di tempat itu pun lebih senang memanggil sang pendeta dengan
panggilan akrab ”Mas Agus” daripada ”Pak Pendeta”. ”Nggak apa-apa, itu kan
lebih akrab. Apalagi mereka anak-anak yang mungkin belum tahu siapa saya,” ujar
Pendeta Agus Tato ketika ditemui saat blusukan ke tempat-tempat pinggiran di
Semarang, Minggu (14/12).
Setiap
kehadiran Pendeta Agus Tato memang selalu menarik perhatian anak-anak. Karena
itu, tidak heran bila kehadiran Agus selalu disambut anak-anak yang langsung
mengerumuninya. Ada saja tingkah anak-anak minta perhatian sang pendeta. Mereka
terlihat manja begitu bertemu idolanya.
Bocah-bocah
lugu tersebut tidak lain adalah anak para pekerja seks komersial (PSK) yang
tinggal di gubuk-gubuk pinggiran Kanal Banjir Timur Semarang. ”Yang tinggal di
sini rata-rata PSK. Ini anak-anaknya,” kata Agus sambil mengelus kepala seorang
bocah.
Tepat di
seberang jalan dari tempat Agus berdiri, dua waria tua duduk di depan gubuk
kumuh mereka. Keduanya berpakaian seadanya dengan bentuk wajah yang ”bengkak”
karena suntikan silikon. Tangan salah seorang waria itu mulai tremor.
Pemandangan mengiris hati itu jadi sarapan sehari-hari Pendeta Agus Tato.
”Ini garapan
saya. Merekalah ladang tempat saya melayani,” kata pendeta Gereja Pantekosta di
Indonesia (GPDI) tersebut.
Sejak 11
tahun lalu, seluruh hidup Agus tercurah di kawasan merah itu. Dia punya ”tempat
tinggal” kedua di lokalisasi liar tersebut. Memang, di tempat itu, tidak banyak
jemaat gereja atau masyarakat umum yang mau membaur. Mereka khawatir dengan
tingkat kriminalitas di tempat tersebut. Apalagi ancaman persebaran virus
HIV/AIDS. Sebagian takut tertular penyakit kelamin, sedangkan kelompok lainnya
jijik dan bernyali ciut menghadapi mereka. Tapi, berbeda dengan Agus.
Pendeta
berusia 39 tahun itu justru menilai kawasan tersebut merupakan lahan garapannya
yang utama. ”Kalau tidak ada yang ngaruhke, kasihan masa depan anak-anak itu.
Karena itu, saya mau mendampingi mereka,” ucapnya.
Begitu pula
bagi dua waria sepuh yang sudah tidak berdaya di gubuknya tersebut. Bentuk
wajahnya aneh, bengkak di pipi, dahi, dagu, serta hidung karena silikon.
Rambutnya beruban dan lebih mirip nenek sihir sehingga mereka kian diabaikan
masyarakat. Bahkan, banyak yang ”tidak berani” menatap wajah mereka.
”Kak Bon dan
Kak Tesi (panggilan dua waria itu, Red) sudah lama tinggal di sini. Keduanya
sudah terima Yesus,” ujar Agus.
Masa lalu
yang kelam dan keterbatasan ekonomi orang-orang pinggiran itu mendorong Agus untuk
menjangkau mereka. Sebab, dia pernah berada di titik terkelam manusia. Berkawan
dengan iblis dan menjadi budaknya. Namun, nama Yesus jualah yang akhirnya
mengentaskan Agus dari titik kelam tersebut.
Dibesarkan
oleh orang tua yang keras membentuk karakter dan watak Agus yang keras pula.
Tontonan live show tindak kekerasan sang ayah itu menyemai dendam dan kepahitan
dalam diri Agus. ”Saya pernah menantang ayah untuk berantem. Sempat menyesal
punya ayah seperti dia,” ungkap lelaki yang sempat diisi ilmu kebal tubuh oleh
ayahnya tersebut.
Sejak itu,
Agus tumbuh menjadi anak yang suka melawan orang tua. Hidupnya hanya
bermabuk-mabukan dan menjadi penguasa jalanan. Namun, seiring perjalanan waktu,
hati Agus melunak. Timbul kesadaran dalam hatinya untuk berdamai dengan Tuhan.
Karena itu, dia pun bertobat.
Hanya,
lantaran chasing fisiknya telanjur seperti preman, ketika Agus memutuskan untuk
menjadi pelayan doa, kesannya jadi pendeta yang sangar. ”Tuhan Yesus kan sudah
mengasihi saya. Kenapa dengan orang pinggiran kita jadi jaga jarak?” tegas
lelaki yang pernah terlibat dalam kejahatan narkoba dan segala jenis kekerasan
jalanan itu.
Sejak
kedatangannya pada 2005 di kawasan tepian Kanal Banjir Timur Semarang, satu per
satu warga tersentuh oleh sikap dan pengajaran Agus akan kebaikan Kristus.
Tidak bermaksud mengkristenkan warga. Bahkan, Agus tidak peduli apakah warga
yang dibina beragama Kristen atau beragama lain.
”Saya hanya
ingin membaur dengan mereka. Mendampingi mereka dalam suka dan duka,” tegas
pria kelahiran 17 Agustus 1975 itu.
Pendeta yang
hingga kini tetap memelihara tato di sekujur tubuh itu memberikan pelayanan doa
kepada umat binaannya. Dalam aktivitas pelayanan doa, Agus mengisinya dengan
memberikan les pelajaran kepada anak-anak TK dan SD. ”Saya dan istri merangkap
jadi guru. Tapi, kalau pelajarannya susah, ya saya nggak bisa ajari mereka,”
ujar bapak seorang anak itu, lantas tertawa.
Mata
pelajaran yang diajarkan adalah matematika, bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan
kesenian. Lulusan Sekolah Alkitab Magelang itu juga siap memberikan pelajaran
agama apa saja. ”Ada anak yang minta diajari sejarah para nabi dalam Alquran,
ya saya usahakan,” tuturnya.
Selama
sejam, belasan anak ingusan duduk anteng hingga pukul 18.00 di atas spanduk
bekas di gubuk. Di pojok tempat les sederhana beraroma kali dan sampah
tersebut, cita-cita mereka dibentuk. ”Tapi, pernah ada anak yang tiba-tiba
nangis saat les. Dia melihat ibunya dibawa tamu pria masuk ke kamar,” katanya
lirih.
Meski
demikian, pelayanan pria yang ingin berpuasa 40 hari meniru Yesus itu penuh
liku dan terjal. Dia pernah patah arang dalam memberikan pelayanan doa kepada
kaum pinggiran. Tiga kali dia berniat kabur, namun selalu gagal. ”Saya sempat
kelelahan, merasa sebatang kara berjuang menyelamatkan mereka,” jelasnya.
Kini, selain
pelayanan tiap Minggu di gereja, Agus fokus mengayomi para penghuni tepian
Kanal Banjir Timur Semarang. Bahkan, secara rutin tiap pukul 05.00 dia
melakukan pelayanan doa pribadi bagi keluarga yang membutuhkan. ”Meski cuma
satu orang, saya tetap akan layani. Seperti yang Tuhan bilang untuk selalu taat
pada panggilannya,” tandas Pendeta Agus Tato. (*)
- See more
at:
http://www.indopos.co.id/2014/12/agus-sutikno-pendeta-bertato-pendamping-orang-orang-pinggiran.html#sthash.S65mds84.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar