Siapa
sekarang yang tidak kenal dengan Tri Rismaharini, Walikota Surabaya
dengan segudang prestasi dan penghargaan baik tingkat nasional maupun
dunia?
Ya,
Ibu Risma adalah sebuah fenomena yang luar biasa. Beliau hadir di
tenggah kerinduan rakyat Indonesia untuk mempunyai pemimpin yang tegas,
berani berkorban demi rakyat, berani memberantas korupsi dan
kemaksiatan. Meskipun hanya seorang arsitek dan mantan Kepala Dinas
Petanaman dan Kebersihan Kota Surabaya, beliau adalah contoh konkret
dari pemimpin yang mempunyai satunya kata dan perbuatan. Dia tahu betul
apa yang dilakukan dan dikatakannya serta bisa mempertanggung jawabkan
setiap kata dan perbuatannya.
Saya
sangat terkesan dengan wawancara Ibu Risma dengan Najwa Shihab dalam
acara “Mata Najwa” yang ditayangkan pada 12 Februari 2014. Perasaan
keibuan saya terkoyak ketika beliau menuturkan kisah anak-anak yang
menjadi pekerja seks komersial di kawasan Dolly, Surabaya. Banyak dari
mereka yang merupakan korban dari perdagangan manusia (human
trafficking) yang terjerumus ke lokalisasi. Keberadaan mereka di
lokalisasi tentu saja bukan kehendak sendiri.
Selanjutnya,
dengan tetesan air mata beliau menuturkan pertemuannya dengan pelacur
tua yang berusia 62 tahun yang masih menjajakan tubuhnya di lokalisasi
itu. Jika dinalar dengan akal sehat, siapa yang akan tertarik dengan
tubuh renta seorang nenek-nenek? Dan, jawabannya sungguh membuat hati
saya kembali terkoyak dengan tetesan darah. Pelanggannya kebanyakan
anak-anak SD dan SMP yang biasanya memberinya uang Rp.1000,-2000,-
Sungguh tak terbayangkan! Uang receh yang mungkin saja diberikan untuk
bekal mereka ke sekolah telah dipakai untuk melampiaskan keingintahuan
dan pemuasan libidonya kepada seorang nenek-nenek…
Apalah
jadinya negeri ini jika anak-anak mudanya bisa dengan bebas menikmati
prostitusi di lokalisasi? Tidak takutkah mereka akan HIV, AIDS,
kerusakan moral dan hancurnya masa depan mereka?
Siapa
yang patut disalahkan dan bertanggung jawab? Pelacur tua yang tinggal
di sebuah “gubuk” sempit tidak layak huni yang menjajakan dirinya dengan
imbalan uang receh dari anak-anak untuk menyambung hidup dan makan
sehari-hari? Orang tua anak yang tidak tahu apa yang sudah dilakukan
anak-anaknya? Ataukah pemimpin yang mempunyai kekuasan tetapi tidak mau
untuk menggunakannya?
Dolly
merupakan salah satu kompleks pelacuran tertua di Indonesia dan
terbesar di Asia. Pelacuran sudah merupakan industri. Ada perusahaan
yang menyediakan pelacur yang memiliki sindikasi jaringan skala nasional
dan internasional. Jaringan pelanggan juga sangat luas.Industri ini
melibatkan pejabat, politisi dan bahkan penegak hukum. Tidak heran
memberantas praktek pelacuran begitu sangatlah sulit.
Sekali
lagi, Bu Risma telah menunjukkan sikapnya sebagai seorang pemimpin yang
berani dan memberi suri tauladan yang baik. Beliau telah bersumpah,
pada hari pahlawan 10 November, di Taman Bungkul, Surabaya, bahwa pada
tahun 2014 kota Surabaya akan bebas pelacur dan praktek pelacuran. Risma
mengatakan, penutupan lokalisasi itu ditujukan agar menyelamatkan
generasi muda supaya tidak terjerumus ke lingkaran hitam.
Empat
lokalisasi besar di Surabaya sudah di tutup. Pemkot Surabaya bahkan
telah menyiapkan dana lebih dari Rp.27 miliar untuk empat eks
lokalisasi. Untuk Dolly dan Jarak ditargetkan sebelum puasa bulan Juni
sudah bisa ditutup. Sekarang masih ada sekitar 1.080 PSK dan lebih dari
300 mucikari. Risma memang tidak sembarang menutup lokalisasi. PSK dan
mucikari harus dibina dan diberdayakan supaya mempunyai sumber
pendapatan lain.
Bila
kelak Dolly tutup, dan kehidupan berubah, Walikota Surabaya, Sri
Rismaharani layak akan dikenang sepanjang sejarah kehidupan manusia atas
usaha yang menutup tempat maksiat Dolly dan menyelamatkan anak-anak
muda dari pelacur tua. (yayuk srirahayu/sosbud.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar